Senin, 10 Agustus 2015

Tafsir Adabi Al-Ijtima'i ( Tafsir Almanar)

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

      Pada abad ke-19 dunia Islam mengalami masa suram, Bahkan terus-menerus merosot, terbelakang dan banyak Negara muslim yang sedang menghadapi pendudukan asing. Dan pada masa itulah muncul seorang pemimpin yang mengumandangkan seruan untuk membangkitkan umat Islam kembali, yaitu Jamaluddin al-Afghani. Murid pertamanya yang mengikuti jejaknya ialah Syaikh Muhammad Abduh. Dia yang mengajar pembaharuan dalam berbagai prinsip dan pengertian Islam. Ia menghubungkan ajaran-ajaran agama dengan kehidupan modern, dan membuktikan bahwa Islam sama sekali tidak bertentangan dengan peradaban, kehidupan modern serta apa yang bernama kemajuan.
      Maka dari itulah lahirlah kitab-kitab tafsir yang tidak memberikan perhatian  segi dan sisi-sisi kajian seperti nahwu, istilah-istilah dalam balaghah, bahasa dan lain-lain. Perhatian pokok dari kitab-kitab tafsir ini adalah memfungsikan al-Qur’an sebagai kitab hidayah dengan cara yang sesuai dengan ayat-ayat al-Qur’an dan makna-maknanya yang bernilai tinggi, yaitu memberi peringatan dan kabar gembira. Oleh karena tafsir itu yang bermanfaat bagi ummat Islam adalah tafsir yang menjelaskan al-Qur’an dari segi bahwa ia adalah kitab yang berisi ajaran-ajaran agama yang menunjukkan kepada manusia cara untuk  mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
      Corak ataupun model penafsiran tersebut dikenal dengan nama al-Adaby al-Ijtima’i. Dan salah satu kitab tafsir yang bercorak seperti ini adalah tafsir al-Manar yang merupakan hasil karya dari dua tokoh yang mempunyai hubungan guru dan murid, yaitu Syaikh Muhammad Abduh dan Sayyid Muhammad Rasyid Ridha.
      Perkembangan tafsir modern dan kontemporer dengan metode tahlili dari sisi substansi tafsir, baik menyangkut isi, metode atau corak berdasar karakter perkembangan tafsir tersebut. Maka menurut aliran atau corak tafsir yang berkembang itu yang dapat kita klasifikasikan menjadi dua bagian yaitu: aliran/corak tafsir klasik. Dan aliran/corak tafsir Modern/Kontemporer (al-Adabi al-Ijtima’i).

B.     Rumusan masalah
Adapun Rumusan Masalah dalam makalah ini adalah :
a.       Apa pengertian Tafsir Adabi Al-Ijtima’i ?
b.      Bagaimana ciri-ciri Tafsir Adabi Al-Ijtima’i ?
c.       Bagaimana tafsir Al-manar dan corak pemikiran muhammad Abduh dan Rasyid Ridha ?




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian corak tafsir adabi al-ijtima’i

Pengertian secara makna kebahasaan, istilah corak  Al-adabi wa al-ijtima’i itu tersusun dari dua kata, yaitu al-adabi dan al-ijtima’i, kata al-adaby merupakan bentuk kata yang diambil dari fi’il madhi aduba, yang mempunyai arti sopan santun, tata krama dan sastra, sedangkan kata al-ijtima’i yaitu mempunyai makna banyak berinteraksi dengan masyarakat atau bisa diterjemahkan hubungan kesosialan, namun secara etimologisnya tafsir al-adaby al-Ijtima’i adalah tafsir yang berorientasi pada sastra budaya dan kemasyarakatan.[1]
Corak Adabi Ijtima’i yaitu sebagai corak penafsiran yang menekankan penjelasan tentang aspek-aspek yang terkait dengan ketinggian gaya bahasa al-Qur’an (balaghah) yang menjadi dasar kemukjizatannya. Atas dasar itu mufassir menerangkan makna-makna ayat-ayat al-Qur’an, menampilkan sunnatullah yang tertuang di alam raya dan sistem-sistem sosial, sehingga ia dapat memberikan jalan keluar bagi persoalan kaum muslimin secara khusus, dan persoalan ummat manusia secara universal sesuai dengan petunjuk yang diberikan oleh al-Qur’an.[2]
Adapun Manna Al-Qaththan memberikan batasannya, dengan menyatakan bahwa tafsir corak al-ijtima’i adalah tafsir yang diperkaya oleh riwayah dan salaf ummah dan uraian tentang sunnatullah yang harus berlaku pada masyarakat. Disamping itu, menguraikan gaya ungkapan al-Quran yang pelik dengan menyinggung maknanya melalui ibarat-ibarat yang mudah dicerna, serta berusaha menerangkan masalah-masalah yang asing dengan maksud mengembalikan kemuliaan dan kehormatan Islam dan ummatnya, dan mengobati penyakit-penyakit kemasyarakatan dengan pendekatan petunjuk al-Quran.[3]
Jadi, dapat kira rangkumkan bahwasannya corak penafsiran al-Adabi al-Ijtima’ adalah corak penafsiran yang berorientasi pada sastra budaya kemasyarakatan. Dalam artian bahwa suatu corak penafsiran yang menitik beratkan penjelasan ayat al-Qur’an pada segi-segi ketelitian leksikal atau redaksinya. Kemudian menyusun kandungan ayat-ayatnya dalam suatu redaksi yang indah dengan penonjolan tujuan utama turunnya ayat kemudian merangkaikan pengertian ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia serta dapat memberikan pencerahan dan rangsangan intelektual.

B.     Ciri-ciri Tafsir Al-Adabi Al-Ijtima’i

Jika memerhatikan rumusan di atas, ada empat hal yang dianggap sebagai unsur atau ciri dari tafsir adabi ijtima’i, yaitu:
1.      Memerhatikan ketelitian redaksi ayat-ayat adab alquran.
2.      Menguraikan makna dan kandungan ayat-ayat dengan susunan kalimat yang indah.
3.      Aksentuasi yang menonjol pada tujuan utama turunnya alquran.
4.      Penafsiran ayat dikaitkan dengan hukum-hukum alam (sunnatullah) yang berlaku dalam masyarakat.
Unsur pertama dan kedua memperhatikan corak adabi, sedangkan unsur ketiga dan keempat menunjukkan pada corak ijtima’i. Dapat dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan tafsir yang bercorak ijtima’i  adalah tafsir yang berorientasi pada masalah-masalah tersebut kemudian dikaitkan dengan penafsiran suat ayat al-quran untuk mengetahui bagaimana pandangan alquran terhadap masalah tersebut dan bagaimana menanggulangi problema kemasyarakatan menurut al-quran. Adapun yang dimaksud dengan corak adabi dalam tafsir adalah tafsir yang menitikberatkan orientasi bahasanya atau analisisnya pada masalah-masalah yang berkaitan dengan sastra dalam pengertiannya yang paling umum dan luas.
Dalam ungkapan Ali Hasan Al-‘Aridh, dinyatakan bahwa tafsir corak ini bercirikan antara lain, menekankan penelitiannya pada segi keindahan bahasa al-quran dan susunan redaksinya, yang didalamnya terkandung berbagai hikmah yang dapat memberikan sentuhan iman dan rangsangan intelektual. Menungkap banyak peran sunnatullah yang telah berlaku pada masyarakat terdahulu yang bertujuan mendorong pembangunan kejayaan umat sebagai ibrah bagi masyarakat kekinian.
Corak tafsir ini, menggunakan pula interpretasi akal, disamping menggunakan pendekatan alriwayat (atsar), sehingga dapat dikatakan bahwa corak tafsir ini menggabungkan pendekatan bi al-ma’tsur i dan bi ar-ra’i, namun angat hati-hati.
Selain itu, perhatian pokok tafsir ini adalah memfungsikan alquran sebagai kitab hidayah, yaitu memberikan peringatan dan memberi kabar gembira bagi umat yang ingkar dan taat, sekaligus menunjukkaqn kepada manusia cara yang baik untuk mnecapai kebahagiaan di [4]dunia dan di akhirat kelak.

C.    Tafsir Al-Manar dan pemikiran Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.

Al-manar adalah salah satu kitab tafsir yang berorientasi pada sastra budaya dan masyarakat. Suatu corak penafsiran yang menitik beratkan penjelasan ayat al-quran  pada segi-segi ketelitian redaksionalnya, kemudian menyusun kandungan ayat-ayatnya dalam suatu redaksi yang indah dengan penonjolan tujuan utama turunnya al-quran, yakni membawa petunjuk dalam kehidupan, dan kemudian merangkaikan pengertian ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia.[5]
Tokoh utama corak penafsiran ini serta yang berjasa meletakkan dasar-dasarnya adalah syaikh Muhammad Abduh, yang kemudian dikembangkan oleh muridnya sekaligus sahabatnya, sayyid Muhammad Rasyid Ridha, dan dilanjutkan oleh ulama-ulama lain terutama Muhammad Mustafa Al-Maraghi.[6]
Tafsir Al-Manar yang bernama Tafsir al-Quran Al-Hakim memperkenalkan dirinya sebagai kitab tafsir satu-satunya yang menghimpun riwayat-riwayat yang shahih dan pandangan akal yang tegas, yang menjelaskan hikmah-hikmah syariah, serta sunnatullah (hukum Allah yang berlaku) terhadap manusia, dan menjelaskan fungsi Al-Quran sebagai petunjuk untuk seluruh manusia di setiap waktu dan tempat, serta membandingkan antara petunjuknya dengan keadaan kaum muslimin dewasa ini yang telah berpaling dari petunjuk itu, serta membandingkan pula dengan keadaan para salaf yang berpegang teguh dengan tali hidayah itu.[7]
Tafsir Al-Manar pada dasarnya merupakan hasil karya tiga orang tokoh Islam, yaitu Sayyid Jamaluddin al-Afgani, Syaikh Muhammad Abduh, dan sayid Muhammad Rasyid Ridha. Tokoh pertama menanamkan gagasan perbaikan masyarakat kepada sahabat dan muridnya, Syaikh Muhammad Abduh. Oleh tokoh ke dua ini gagasan-gagasan itu dicerna, diterima dan diolah, kemudian disampaikan melalui penafsiran ayat-ayat Al-Quran dan di terima oleh tokoh ketiga yang kemudian menulis semua yang disampaikan oleh sahabat sekaligus gurunya itu dalam bentuk ringkasan dan penjelasan.[8]
Ringkasan dan penjelasan itu kemudian dimuat secara berturut-turut dalam majalah Al-Manar yang dipimpinnya itu dengan judul “tafsir Al-Quran Al-Hakim”, yang disandarkan dari kuliah Al-Ustadz Al-Imam Muhammad Abduh.[9]
Abduh sempat menyampaikan kuliah-kuliah tafsirnya dari surat Al-fatihah sampai dengan surat An-Nisa’ ayat 125. Kemudian tokoh ketiga (Rasyid Ridha) menafsirkan ayat-ayat al-quran secara sendiri yang pada garis besarnya mengikuti metode dan ciri-ciri pokok yang digunakan oleh gurunya (Muhammad Abduh) sampai dengan ayat 52 surah yusuf.[10]
Karena itu tafsir al-manar yang terdiri atas 12 jilid itu lebih wajar untuk dinisbahkan kepada Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, sebab disamping lebih banyak yang ditulisnya, baik dari segi jumlah ayat maupun dari segi halamannya, juga karena dalam penafsiran surat-surat Al-Fatihah, surat Al-baqarah dan surat An-Nisa’ ditemui pula pendapat-pendapat Rasyid Ridha yang ditandai olehnya dengan menulis kata Aqulu sebelum menguraikan pendapatnya.[11]
Tafsir ini terdiri dari 12 jilid, pertama dari Al-Quran yaitu surat Al-fatihah sampai dengan surat Yusuf. Penafsirannya sangat kaya dengan riwayat (al-ma’sur) dari Ulama-ulama generasi pertama dikalangan para sahabat dan para tabi’in. Tafsir ini menjelaskan ayat-ayat al-quran dengan gaya menakjubkan dan mengesankan, mengungkap makna ayat dengan mudah dan lugas. Tafsir ini juga mengilustrasikan banyak problem sosial dan menuntaskan dengan perspektif Al-Quran.[12]

1.      Biografi dan Corak pemikiran Muhammad Abduh

Syaikh Muhammad Abduh, yang nama lengkapnya Muhammad bin Abduh bin ‘Abduh  bin Hasan Khairullah, dilahirkan di desa Mahallat Nashr, kabupaten Al-buhairah, Mesir, pada tahun 1849 M. ia berasal dari keluarga yang tidak tergolong kaya, tidak juga dari keturunan bangsawan, namun ayahnya sangat dihormati didesanya.
‘Abduh kecil pada usia 13 tahun dikirim oleh ayahnya ke Masjid Al-Ahmadi Thantha (sekitar 80km dari Kairo) untuk belajar Al-Quran dan tajwidnya. Tetapi ia tidak betah disana. Dua tahun kemudia ia memutuskan kembali ke kampong halamannya dan bertani seperti saudara-saudara dan kerabatnya.
Setelah dinikahkan dalam usia muda, Abduh kembali dipaksa belajar oleh orang tuanya. Abduh menolak perintah itu dan minggat ke “syibr Alkhit” dimana  bermukim paman-pamannya. Di desa ini ia bertemu dengan Syaikh Darwisy Khidr yang memiliki pengetahuan tentang Al-Quran dan mengamalkan ajaran tasawuf ala Asy-Syadziliyah. Pertemuannya dengan Syaikh tersebut mengalihkan ‘Abduh dari seorang yang enggan belajar menjadi seorang yang cinta Ilmu.
Selanjutnya Abduh ke kairo dan menimba Ilmu di Al-Azhar. Namun sistem pengajaran disana ketika itu tidak berkenan dihatinya, karena pengajaran dilakukan dengan penekanan pada pendapat-pendapat Ulama terdahulu, tanpa upaya perbandingan atau pentarjihan pendapat-pendapat yang ada.
Di kairo Abduh berkenalan dan berguru kepada sekian ulama yang memiliki pandangan maju. Perkenalan tersebut sangat berbekas dihatinya, sehingga sewaktu Jamaluddin Al-afqani berkunjung ke Kairo, Abduh merupakan salah seorang yang sangat mengagumi pandangan-pandangan ulama pejuang itu.
Setelah lulus dari Al-Azhar, abduh mengabdi diri pada Al-azhar sebagai asisten dosen, disamping mengajar etika dan sejarah peradaban kerajaan-kerajaan Eropa di kediamannya. Abduh yang dekat dengan Jamaluddin Al-Afgani dan sangat Aktif mengembuskan semangat menentang kezaliman dan penjajahan diberhentikan sebagai tenaga pengajar dan diasingkan ketempat kelahirannya, walaupun kemudian dibebaskan kembali setelah perubahan kabinet dan diberi tugas memimpin surat kabar resmi pemerintah. Tetapi Abduh dan teman-temannya pengagum Al-afgani justru sering sekali mengemukakan kritik-kritik tajam kepada pemerintah melalui media resmi yang di pimpinnya itu, sehingga ia harus diasingkan selama tiga tahun ke luar negeri dimana pun pilihannya. Ia kemudian memilih syiria.
Setelah setahun berada di syiria, ia menyusul Jamaluddin Al-Afgani ke Paris, dan bersama-sama menerbitkan majalah Al-‘Urwah Al-Wutsqa yang gaungnya menentang penjajah melebar sampai ke Asia, termasuk Indonesia. Dari Paris ‘Abduh ke Beirut. Kemudian abduh kembali ke mesir pada tahun 1888 M dan ditugasi untuk menjadi hakim di Pengadilan Daerah Banha. Setelah itu ia menjabat hakim di Pengadilan Abidin, Kairo, dan terakhir menjadi Mufti Mesir dan anggota Majlis Syura Kerajaan Mesir. Muhammad Abduh Wafat pada 11 Juli 1905, dalam Usia yang relatif Muda.[13]

a.       Fokus Pemikiran Muhammad Abduh.
Ada dua persoalan pokok yang menjadi fokus pemikiran Muhammad Abduh, sebagaimana di akuinya sendiri. Kedua persoalan tersebut adalah :
1)      Membebaskan akal pikiran dari belenggu-belenggu taqlid yang menghambat perkembangan pengetahuan agama sebagaimana halnya salaf al-ummah (ulama sebelum abad ketiga hijriah), sebelum timbulnya perpecahan, yakni memahami langsung dari sumber pokoknya yaitu Al-Quran.
2)      Memperbaiki gaya bahasa Arab, baik yang digunakan dalam percakapan resmi di kantor-kantor pemetintahan, maupun dalam tulisan-tulisan di media massa, penerjemahan atau korespondensi.[14]
Namun para pengamat setelah memperhatikan karya-karya tulis dan sikap-sikap Muhammad Abduh, menyatakan bahwa dibalik kedua hal tersebut, terdapat sekian banyak hal yang menjadi tujuan utama pemikiran-pemikirannya. Tujuan-tujuan tersebut antara lain : menjelaskan hakikat ajaran Islm yang murni dan menghubungkan ajaran-ajaran tersebut (menyesuaikan penafsirannya) dengan kehidupan masa kini.[15]       
Namun apapun tujuannya, Abduh tidak pernah berfikir, apalagi berusaha untuk mengambil alih secara utuh Segala yang datang dari Barat. Karena disamping hal ini hanya akan berarti mengubah taqlid yang lama kepada taqlid yang baru, juga karena hal tersebut tidak akan berguna, disebabkan adanya perbedaan-perbedaan pemikiran dan struktur sosial masyarakat masing-masing daerah. Islam, menurut Abduh harus mampu meluruskan kepincangan-kepincangan peradaban barat serta membersihkan dari segi-segi negatif yang menyertainya. Dengan demikian, peradaban tersebut akhirnya akan menjadi pendukung terkuat ajaran Islam, sesaat setelah dia mengenalnya dan dikenal oleh pemeluk-pemeluk Islam.[16]

b.      Ciri-ciri penafsiran Muhammad Abduh
1.      Memandang setiap surah sebagai satu kesatuan ayat-ayat yang serasi.
Dari pandangan ini Abduh menjalin hubungan yang serasi antara satu Ayat dengan ayat yang lain dalam satu surah. Menurut Abduh, pengertian satu kata atau kalimat harus berkaitan erat dengan surah tadi secara keseluruhan, contohnya : (والفجر  وليال عشر) demi fajar dan malam yang ke sepuluh.
Kata Layalin ‘asyr (al-fajr:2) misalnya, tidak mungkin terlepas pengertiannya dari kata wa al-fajr ( al-fajr: 1). Abduh menjelaskan bahwa kata al-fajr,  tidak dibarengi dengan satu sifat tertentu, sehingga ia harus dipahami secara umum. Al-quran menurut Abduh, bila bermaksud tentang suatu hari atau waktu tertentu, maka hari dan waktu itu dijuluki dengan sifat dan cirinya, seperti Yaum al-Qiyamah, al-Yaum al- Mau’ud, Lailah al-Qadr dan sebagainya. Akan tetapi bila hari dan waktu tidak ditentukan sifat atau ciri-cirinya, maka yang dimaksud adalah waktu secara umum. Jadi kata al-Fajr disini demikian itu halnya, sehingga ia berarti umum terjadi setiap hari dalam arti bahwa fajar tersebut adalah fajar ketika cahaya siang menjelma ditengah kegelapan malam, cahaya yang kemudian mengusik kegelapan tersebut. Dengan demikian, demi keserasian antara ayat pertama dan kedua, maka  layalin ’asyr  harus ditafsirkan dengaqn malam-malam yang serasi keadaannya dengan pengertian yang terkandung oleh kata  al-fajr, yakni sepuluh malam yang terjadi pada setiap bulan, yang didalamnya cahaya bulan mengusik kegelapan malam. Atas dasar keseriusan ini Abduh tetap menolak pendapat-pendapat ulama yang menafsirkan kata al-Fajr  dan layalin ‘asr  dengan fajar tertentu seperti awaltahun hijriyah atau 10 zulhijjah dan lain-lain.[17]

2.      Ayat dan Al-Quran bersifat Umum.
Ciri ini berintikan bahwa petunjuk ayat-ayat alquran berkesinambungan, tidak dibatasi oleh suatu masa atau tidak pula ditujukan kepada orang-orang tertentu.
Walaupun ini sejalan dengan kaidah tafsir yang berbunyi “ pemahaman arti suatu ayat berdasarkan kepada redaksinya yang umum bukan kepada sebab yang khusus”. Namun Abduh sangat memperluas kaidah ini, sehingga selama satu ayat dapat dinilai bersifat umum, maka keumuman ini dinyatakannya walaupun kdang-kadang bertentangan dengan kaidah bahasa.

3.      Al-Quran adalah sumber Akidah dan Hukum.
Muhammad Abduh menjelaskan apa yang dimaksud dengan ciri ini sebagai berikut “aku inginkan agar alquran menjadi sumber yang kepadanya disandarkan segala mazhab dan pandangan keagamaan, bukan mazhab-mazhab tersebut menjadi pokok dan ayat-ayat alquran dijadikan pendukung untuk mazahb-mazhab tersebut”.
Dari sini, abduh menyatakan bahwa para pemikir islam terdahulu (mujtahid) telah berjasa dalam usaha mereka, tapi itu bukan berarti bahwa kita harus mendahulukan pendapat-pendapat mereka ketimbang petunjuk-petunjuk yang kita pahami dari ayat-ayat Al-quran. Karena itu pula, dia mengecam sementara mufassir yang menyatakan bahwa ada ayat-ayat Al-quran yang musykil (sukar dipahami) hanya karena ayat-ayat tersebut tidak sejalan dengan mazhab mereka. [18]

4.      Penggunaan akal secara Luas dalam memahami ayat-ayat Al-Quran.
Bertitik tolak dari pandangan Abduh tentang peranan akal seperti yang digambarkan di atas, serta keyakinannya bahwa wahyu dan akal tidak mungkin akan bertentangan, maka Abduh menggunakan akal secara luas untuk memahami (menafsirkan) ayat-ayat alquran. Penafsiran-penafsirannya menyangkut ayat aqidah atau syariah.



2.      Biografi dan Corak pemikiran Rasyid Ridha
Salah satu tokoh dari Reformis Islam adalah Rasyid Ridha bin Muhammad Syamsuddin Alkalmuni. Ia tumbuh didesa Kalmon, berasal dari Baghdad, nasabnya adalah Husaini. Ia termasuk dari penulis, ulama hadis, sastrawan, ahli sejarah dan tafsir. Ia pemilik majalah al-manar yang sangat populer, majalah yang jadi menara pemikiran dan reformasi sosial di zaman modern ini.[19]Rasyid Ridha tumbuh dan berkembang di desa kalmun, bagian dari Trobluss (Syam). Dimasa mudanya, ia telah akrab dengan syair, tulisannya tersebar di buku-buku dan majalah.
Setelah menamatkan sekolah ibtidaiyahnya, rasyid ridha kembali ke kampungnya untuk mengajar nahwu, sharaf, aqidah, fiqh, berhitung dan ilmu bumi.[20]
Pada saat Rasyid Ridha memulai perjuangan di kampung halamannya, baik melalui pengajian-pengajian untuk kaum pria dan wanita maupun tulisan-tulisannya di media massa, muhammad abduh memimpin pula gerakan pembaruan Mesir.
Majalah al-urwah al-wutsqo yang di terbitkan oleh jamaluddin al-afghani dan muhammad abduh di paris, yang tersebar ke seluruh dunia islam, ikut juga dibaca oleh muhammad rasyid ridha dan memberi pengaruh yang sangat besar pada jiwanya, sehingga memberi pengaruh pada sikap yang berjiwa sufi ini menjadi seorang pemuda yang penuh semangat.[21]
Pada awalnya usaha-usaha rasyid ridha hanya terbatas pada usaha perbaikan aqidah dan syariah masyarakatnya serta menjauhkan mereka dari kemewahan duniawi dengan melakukan zuhud, maka dengan membaca majalah tersebut ia beralih kepada usaha-usaha membangkitkan semangat kaum muslimin untuk melaksanakan ajaran agama secara utuh serta membela dan membangun negara dengan ilmu pengetahuan dan industri.
Kekaguman kepada muhammad Abduh bertambah mendalam sejak abduh kembali ke bairut untuk kedua kalinya pada tahun 1885 dan mengajar sambil mengarang. Pertemuan antara keduanya terjadi ketika syaikh muhammad abduh berkunjung ke tripoli untuk menemui temannya syaikh abdullah al-barakah yang mengajar di sekolah al-khanutiyah.
Pertemuan kedua terjadi Pada tahun 1312 H/1894 m, juga di tripoli. Kali ini Rasyid Ridha menemani Abduh sepanjang hari, sehingga banyak kesempatan bagi Rasyid Ridha untuk menanyakan segala sesuatu yang masih kabur baginya.
Setelah lima tahun dari pertemuan kedua, maka baru pada tanggal 23 Rajab 1315H/ 18 Januari 1898M terjadi pertemuan ketiga di Kairo, Mesir. Sebulan setelah pertemuan ketiga ini Rasyid Ridha mengemukakan keinginannya untuk menerbitkan suatu surat kabar yang memuat masalah-masalah sosial, budaya, dan agama.
      Pada mulanya abduh tidak menyetujui gagasan ini, karena pada saat itu di mesir sudah cukup banyak media massa, apalagi persoalan yang akan diolah diduga kurang menarik perhatian umum. Namun rasyid ridha menyatakan tekadnya, walaupun harus menanggung kerugian material selama satu sampai dua tahun setelah penerbitan itu. Akhirnya abduh merestui dan memilih al-manar dari sekian banyak nama yang di usulkan oleh rasyid ridha. Al-manar terbit pertama kali pada 22 syawal 1315 H/17 Maret 1898 M berupa mingguan sebanyak delapan halaman dan mendapat sambutan hangat, bukan hanya di mesir atau negara-negara arab sekitarnya saja, tetapi sampai ke eropa bahkan ke Indonesia.[22]

a.      Ciri-ciri pokok tafsir Rasyid Ridha
Telah dikemukakan di atas, bahwa pada dasarnya Sayyid Muhammad Rasyid Ridha mengikuti metode dan ciri-ciri pokok yang digunakan oleh gurunya, Syaikh Muhammad Abduh. Namun seperti yang diakui sendiri oleh Rasyid Ridha, terdapat beberapa perbedaan antara keduanya setelah Rasyid Ridha menulis al-Manar atas ushanya sendiri. Perbedaan tersebut menyangkut:
1.      Keluasan pembahasan tentang ayat-ayat yang ditafsirkan dengan hadist-hadist Nabi saw.
2.      Keluasan pembahasan tentang penafsiran ayat dengan ayat lain.
3.      Penyisipan pembahasan-pembahasan yang luas tentang hal-hal yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat pada masanya, dengan tujuan mengantar kepada penjelasan tentang petunjuk agama, baik yang menyangkut argumentasi keyakinan maupun pemecahan problem-problem yang berkembang.
4.      Keluasan pembahasan tentang arti mufradat (kosakata), susunan redaksi, serta pengungkapan pendapat-pendapat ulama-ulama terdahulu terhadapnya.[23]

Perbedaan-perbedaan ini menunjukkan karakter ilmiah Sayyid Muhammad Rasyid Ridha serta pengaruh yang ditinggalkan oleh ulama-ulama terdahulu terhadapnya.
Perbedaan pertama, menyangkut keluasan pembahasan di bidang hadist, menunjukkan kemantapannya dalam bidang ini, sekaligus menghindari apa yang dikemukakannya menyangkut kekurangan Syaikh Muhammad Abduh, yakni “kekurangan di bidang ilmu-ilmu hadist, riwayat, hafalan, dan al-Jarh wa at-Ta’dil.”
Perbedaan kedua, tentang penafsiran ayat dengan ayat, adalah pengaruh Ibnu Katsir yang sangat dikaguminya­, kekaguman yang mendorongnya untuk mencetak Tafsir Ibnu Katsir dan menyebarluaskannya ke seluruh negara Arab, bahkan dunia Islam.
Perbedaan ketiga, menyangkut penyisipan pembahasan-pembahasan yang luas tentang bebrbagai masalah, menurut Az-Dzahabi, adalah “gambaran dari profesi Rasyid Ridha sebagai wartawan yang mempunyai hubungan dengan seluruh lapisan masyarakat dan dengan aneka ragam aliran maupun tingkat kepercayaan.”
Kemudian, ketiga perbedaan tadi mengharuskan pembahasannya untuk mengemukakan secara luas arti kosakata, susunan redaksi ayat, serta pendapat-pendapat ulama­­­­. Hal ini yang merupakan perbedaaan keempat antara Rasyid Ridha dengan Abduh.[24]
Sebelum melangkahkan lebih lanjut melihat perbedaan-perbedaan antara kedua tokoh tafsir ini, terlebih dahulu akan dikemukakan contoh-contoh persamaan antara keduanya.
1.      Menganggap satu surah sebagai satu kesatuan ayat-ayat yang serasi
2.      Ayat-ayat al-Quran bersifat umum
3.      Al-Quran adalah sumber akidah dan hukum
4.      Penggunaan akal secara luas dalam memahami ayat-ayat
5.      Bersikap hati-hati terhadap hadits Nabi saw
6.      Bersikap hati-hati terhadap pendapat sahabat.[25]

b.      Perbedaan-perbedaan antara Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh
Sebagaimana dikemukakanse belumnya, bahwa Rasyid Ridha dalam penafsirannya mempunyai sekian banyak perbedaan dengan Syaikh Abduh. Di bawah ini akan dikemukakan contoh perbedaan-perbedaan tersebut :
1.      Keluasan pembahasan menyangkut ayat-ayat yang ditafsirkan dengan hadits-hadits Nabi saw.
Rasyid Ridha dikenal sebagai seorang ulama yang amat dalam pengetahuannya tentang Sunnah Nabi saw. Dia menilai banayak riwayat, baik dari Nabi saw, sahabat, maupun tabi’in yang dapat membantu menjelaskan kandungan al-Qur’an, walaupun pada saat yang sama dia mengakui bahwa tidak sedikit riwayat tersebut, khususnya yang berkaitan dengan kisah para nabi serta persoalan dan tanda-tanda kiamat yang telah bercampur dengan pandangan dan mitos orang-orang Yahudi, Nasrani, Persia, dan lain-lain.
Dalam menafsirkan al-Qur’an, Rasyid Ridha banyak sekali memaparkan hadits-hadits-hadits Nabi saw, riwayat para sahabat dab tabi’in, yang dinilainya Shahih. Penilainnya lebih ketat dari sekian banyak tokoh tafsir dan hadits, dan penilaian tersebut tidak hanya terbatas pada sisi kandungan riwayat, tetapi juga sisi transmisi perawi-perawinya.[26]
2.      Penyisipan pembahasan yang luas menyangkut permasalahan yang dibutuhka masyarakat
a.       Bidang hukum
b.      Bidang perbandingan agama
c.       Bidang Sunnatullah (hukum-hukum Allah dalam Masyarakat)
d.      Perkembangan ilmu pengetahuan

3.      Keluasan pembahasan tentang penafsiran ayat dengan ayat
Salah satu pengaruh Tafsir Ibnu Katsir terhadap Muhammad Rasyid Ridha adalah usahanya mengikuti jejak Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran dengan ayat-ayat lainnya, suatu cara penafsiran yang dinilai oleh ulama paling tepat untuk memahami arti ayat-ayat Al-Quran .

4.      Keluasan pembahasan kosakata dn ketelitian susunan redaksi
Dalam banyak ayat, Rasyid Ridha berusaha untuk menjelaskan pengertian-pengertian yang dikandung oleh suatu kata atau rahasia-rahasia yang dapat ditarik dari susunan suatu redaksi, khususnya yang berbeda dengan redaksi ayat lain yang juga berbucara tentang persoalan yang sama.
Apa yang ditempuh Rasyid Ridha ini dan ulama-ulama Tafsir sebelumnya dikenal dengan istilah Tafsir Muqaran, yang salah satu bagiannya adalah membandingkan ayat-ayat al-Quran yang berbeda redaksinya padahal masing-masing ayat tersebut berbicara tentang masalah yang sama, atau membandingkan ayat-ayat al-Quran yang redaksinya sama atau mirip sedangkan konteks masing-masing berbeda.[27]

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Corak Adabi Ijtima’i yaitu sebagai corak penafsiran yang menekankan penjelasan tentang aspek-aspek yang terkait dengan ketinggian gaya bahasa al-Qur’an (balaghah) yang menjadi dasar kemukjizatannya. Atas dasar itu mufassir menerangkan makna-makna ayat-ayat al-Qur’an, menampilkan sunnatullah yang tertuang di alam raya dan sistem-sistem sosial, sehingga ia dapat memberikan jalan keluar bagi persoalan kaum muslimin secara khusus, dan persoalan ummat manusia secara universal sesuai dengan petunjuk yang diberikan oleh al-Qur’an.
Ciri-ciri tafsir Al-Adabi al-ijtima’i adalah Memerhatikan ketelitian redaksi ayat-ayat adab alquran. Menguraikan makna dan kandungan ayat-ayat dengan susunan kalimat yang indah. Aksentuasi yang menonjol pada tujuan utama turunnya alquran. Penafsiran ayat dikaitkan dengan hukum-hukum alam (sunnatullah) yang berlaku dalam masyarakat.
Ciri-ciri penafsiran Muhammad Abduh yaitu, Memandang setiap surah sebagai satu kesatuan ayat-ayat yang serasi. Ayat dan Al-Quran bersifat Umum. Al-Quran adalah sumber akidah dan hukum,Penggunaan akal secara luas dalam memahami ayat-ayat. Bersikap hati-hati terhadap hadits Nabi saw. Bersikap hati-hati terhadap pendapat sahabat.



DAFTAR PUSTAKA

Badri Khaeruman, Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Quran (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2004)

M. Quraish Shihab, Rasionalisasi Al-Quran : Studi Kritis atas tafsir Al-Manar, (Jakarta: Lentera hati, 2006)

Mani’ Abd Halim Mahmud, “Metodelogi Tafsir : kajian Konprehensif Metode para ahli Tafsir”, (Jakarta : PT. Grafindo Persada, 2006)

Muhammad ‘Abduh, Tafsir Juz’amma, (Kairo: Dar Mathabi’ Asy- Sya’b, tt)

Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2007)

Supiana, M. Karman, Ulumul Qur’an (Bandung: Pustaka Islamika, 2002)

Thameem Ushama, Metodelogi Tafsir Al-Quran : kajian kritis objektif dan komprehensif. (Jakarta : Rioca Cipta, 2000)



        [1] Supiana, M. Karman, Ulumul Qur’an (Bandung: Pustaka Islamika, 2002), hlm. 316-317
        [2] Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2007), hlm. 108
        [3] Badri Khaeruman, Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Quran (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2004), Hal. 179
        [4] Badri Khaeruman, Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Quran., 179
        [5] M. Quraish Shihab, Studi kritis Tafsir Al-Manar, karya Muhammad Abduh dan M.  Rasyid Ridha, (Bandung ; Pustaka Hidayah, 1994). Hal. 11
        [6] M. Quraish Shihab, Studi kritis Tafsir Al-Manar,… hal. 11
        [7] Ibid., hal. 67
        [8] Ibid., hal. 67-68
        [9] Ibid.
        [10] Ibid
[11] Ibid
[12] Thameem Ushama, Metodelogi Tafsir Al-Quran ; kajian kritis objektif dan komprehensif. (Jakarta : Rioca Cipta, 2000) hal. 80
[13] Muhammad ‘Abduh, Tafsir Juz’amma, (Kairo: Dar Mathabi’ Asy- Sya’b, tt), hal. v-vii
[14] M. Quraish Shihab, Rasionalisasi Al-Quran : Studi Kritis atas tafsir Al-Manar, (Jakarta: Lentera hati, 2006), hal.16
[15] Ibid.
        [16] Ibid., 17
[17] M. Quraish Shihab, Rasionalisasi Al-Quran,...hal. 27
        [18] M. Quraish Shihab, Rasionalisasi Al-Quran,...hal.30
        [19] Mani’ Abd Halim Mahmud, “Metodelogi Tafsir : kajian Konprehensif Metode para ahli Tafsir”, (Jakarta : PT. Grafindo Persada, 2006), hal. 271
[20] M. Quraish Shihab, Rasionalisasi Al-Quran,...hal.73
[21] Ibid., 77
[22] M. Quraish Shihab, Studi kritis Tafsir Al-Manar,… hal. 63-64
[23] M. Quraish Shihab, Rasionalisasi Al-Quran,...hal. 86
        [24] Ibid., Hal. 87
        [25] Ibid.
[26] Ibid., 118
[27] M. Quraish Shihab, Rasionalisasi Al-Quran,...hal. 138

3 komentar:

  1. izin ambil makalahnya ya, makasih mba, makalahnya sangat membantu

    BalasHapus

  2. Apakah kamu sudah tau prediksi togel mbah jambrong yang jitu? bila belum baca Prediksi jitu mbah jambrong

    BalasHapus