BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada abad ke-19 dunia Islam
mengalami masa suram, Bahkan terus-menerus merosot, terbelakang dan banyak
Negara muslim yang sedang menghadapi pendudukan asing. Dan pada masa itulah
muncul seorang pemimpin yang mengumandangkan seruan untuk membangkitkan umat
Islam kembali, yaitu Jamaluddin al-Afghani. Murid pertamanya yang mengikuti
jejaknya ialah Syaikh Muhammad Abduh. Dia yang mengajar pembaharuan dalam
berbagai prinsip dan pengertian Islam. Ia menghubungkan ajaran-ajaran agama
dengan kehidupan modern, dan membuktikan bahwa Islam sama sekali tidak
bertentangan dengan peradaban, kehidupan modern serta apa yang bernama kemajuan.
Maka dari itulah
lahirlah kitab-kitab tafsir yang tidak memberikan perhatian segi dan
sisi-sisi kajian seperti nahwu, istilah-istilah dalam balaghah, bahasa dan
lain-lain. Perhatian pokok dari kitab-kitab tafsir ini adalah memfungsikan
al-Qur’an sebagai kitab hidayah dengan cara yang sesuai dengan ayat-ayat
al-Qur’an dan makna-maknanya yang bernilai tinggi, yaitu memberi peringatan dan
kabar gembira. Oleh karena tafsir itu yang bermanfaat bagi ummat Islam adalah
tafsir yang menjelaskan al-Qur’an dari segi bahwa ia adalah kitab yang berisi
ajaran-ajaran agama yang menunjukkan kepada manusia cara untuk mencapai
kebahagiaan dunia dan akhirat.
Corak ataupun model penafsiran tersebut
dikenal dengan nama al-Adaby al-Ijtima’i. Dan salah satu kitab tafsir yang
bercorak seperti ini adalah tafsir al-Manar yang merupakan hasil karya dari dua
tokoh yang mempunyai hubungan guru dan murid, yaitu Syaikh Muhammad Abduh dan
Sayyid Muhammad Rasyid Ridha.
Perkembangan tafsir modern dan
kontemporer dengan metode tahlili dari sisi substansi tafsir, baik menyangkut
isi, metode atau corak berdasar karakter perkembangan tafsir tersebut. Maka
menurut aliran atau corak tafsir yang berkembang itu yang dapat kita
klasifikasikan menjadi dua bagian yaitu: aliran/corak tafsir klasik. Dan
aliran/corak tafsir Modern/Kontemporer (al-Adabi al-Ijtima’i).
B. Rumusan masalah
Adapun Rumusan Masalah dalam makalah ini
adalah :
a. Apa pengertian Tafsir Adabi Al-Ijtima’i ?
b. Bagaimana ciri-ciri Tafsir Adabi Al-Ijtima’i ?
c. Bagaimana tafsir Al-manar dan corak pemikiran muhammad Abduh dan Rasyid
Ridha ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian corak tafsir adabi al-ijtima’i
Pengertian
secara makna kebahasaan, istilah corak Al-adabi wa al-ijtima’i itu
tersusun dari dua kata, yaitu al-adabi dan al-ijtima’i, kata al-adaby
merupakan bentuk kata yang diambil dari fi’il madhi aduba, yang
mempunyai arti sopan santun, tata krama dan sastra, sedangkan kata al-ijtima’i
yaitu mempunyai makna banyak berinteraksi dengan masyarakat atau
bisa diterjemahkan hubungan kesosialan, namun secara etimologisnya tafsir al-adaby
al-Ijtima’i adalah tafsir yang berorientasi pada sastra budaya dan
kemasyarakatan.[1]
Corak Adabi
Ijtima’i yaitu sebagai corak penafsiran yang menekankan penjelasan tentang
aspek-aspek yang terkait dengan ketinggian gaya bahasa al-Qur’an (balaghah)
yang menjadi dasar kemukjizatannya. Atas dasar itu mufassir menerangkan
makna-makna ayat-ayat al-Qur’an, menampilkan sunnatullah yang tertuang di alam
raya dan sistem-sistem sosial, sehingga ia dapat memberikan jalan keluar bagi
persoalan kaum muslimin secara khusus, dan persoalan ummat manusia secara
universal sesuai dengan petunjuk yang diberikan oleh al-Qur’an.[2]
Adapun Manna
Al-Qaththan memberikan batasannya, dengan menyatakan bahwa tafsir corak al-ijtima’i
adalah tafsir yang
diperkaya oleh riwayah dan salaf ummah dan uraian tentang sunnatullah yang
harus berlaku pada masyarakat. Disamping itu, menguraikan gaya ungkapan
al-Quran yang pelik dengan menyinggung maknanya melalui ibarat-ibarat yang
mudah dicerna, serta berusaha menerangkan masalah-masalah yang asing dengan
maksud mengembalikan kemuliaan dan kehormatan Islam dan ummatnya, dan mengobati
penyakit-penyakit kemasyarakatan dengan pendekatan petunjuk al-Quran.[3]
Jadi, dapat kira rangkumkan bahwasannya corak
penafsiran al-Adabi al-Ijtima’ adalah corak penafsiran yang berorientasi pada
sastra budaya kemasyarakatan. Dalam artian bahwa suatu corak penafsiran yang
menitik beratkan penjelasan ayat al-Qur’an pada segi-segi ketelitian leksikal
atau redaksinya. Kemudian menyusun kandungan ayat-ayatnya dalam suatu redaksi
yang indah dengan penonjolan tujuan utama turunnya ayat kemudian merangkaikan
pengertian ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat
dan pembangunan dunia serta dapat memberikan pencerahan dan rangsangan
intelektual.
B. Ciri-ciri Tafsir Al-Adabi Al-Ijtima’i
Jika memerhatikan rumusan di atas, ada empat hal yang dianggap sebagai
unsur atau ciri dari tafsir adabi ijtima’i, yaitu:
1. Memerhatikan ketelitian redaksi ayat-ayat adab alquran.
2. Menguraikan makna dan kandungan ayat-ayat dengan susunan kalimat yang
indah.
3. Aksentuasi yang menonjol pada tujuan utama turunnya alquran.
4. Penafsiran ayat dikaitkan dengan hukum-hukum alam (sunnatullah) yang
berlaku dalam masyarakat.
Unsur pertama dan kedua memperhatikan corak adabi, sedangkan unsur ketiga
dan keempat menunjukkan pada corak ijtima’i. Dapat dijelaskan bahwa yang
dimaksud dengan tafsir yang bercorak ijtima’i adalah tafsir yang berorientasi pada
masalah-masalah tersebut kemudian dikaitkan dengan penafsiran suat ayat al-quran
untuk mengetahui bagaimana pandangan alquran terhadap masalah tersebut dan
bagaimana menanggulangi problema kemasyarakatan menurut al-quran. Adapun yang
dimaksud dengan corak adabi dalam tafsir adalah tafsir yang menitikberatkan
orientasi bahasanya atau analisisnya pada masalah-masalah yang berkaitan dengan
sastra dalam pengertiannya yang paling umum dan luas.
Dalam ungkapan Ali Hasan Al-‘Aridh, dinyatakan bahwa tafsir corak ini
bercirikan antara lain, menekankan penelitiannya pada segi keindahan bahasa
al-quran dan susunan redaksinya, yang didalamnya terkandung berbagai hikmah
yang dapat memberikan sentuhan iman dan rangsangan intelektual. Menungkap
banyak peran sunnatullah yang telah berlaku pada masyarakat terdahulu yang
bertujuan mendorong pembangunan kejayaan umat sebagai ibrah bagi masyarakat
kekinian.
Corak tafsir ini, menggunakan pula interpretasi akal, disamping menggunakan
pendekatan alriwayat (atsar), sehingga dapat dikatakan bahwa corak tafsir
ini menggabungkan pendekatan bi al-ma’tsur i dan bi ar-ra’i,
namun angat hati-hati.
Selain itu, perhatian pokok tafsir ini adalah memfungsikan alquran sebagai
kitab hidayah, yaitu memberikan peringatan dan memberi kabar gembira bagi umat
yang ingkar dan taat, sekaligus menunjukkaqn kepada manusia cara yang baik
untuk mnecapai kebahagiaan di [4]dunia
dan di akhirat kelak.
C.
Tafsir Al-Manar dan pemikiran Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.
Al-manar adalah
salah satu kitab tafsir yang berorientasi pada sastra budaya dan masyarakat.
Suatu corak penafsiran yang menitik beratkan penjelasan ayat al-quran pada segi-segi ketelitian redaksionalnya,
kemudian menyusun kandungan ayat-ayatnya dalam suatu redaksi yang indah dengan
penonjolan tujuan utama turunnya al-quran, yakni membawa petunjuk dalam
kehidupan, dan kemudian merangkaikan pengertian ayat
tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan
dunia.[5]
Tokoh utama
corak penafsiran ini serta yang berjasa meletakkan dasar-dasarnya adalah syaikh
Muhammad Abduh, yang kemudian dikembangkan oleh muridnya sekaligus sahabatnya,
sayyid Muhammad Rasyid Ridha, dan dilanjutkan oleh ulama-ulama lain terutama
Muhammad Mustafa Al-Maraghi.[6]
Tafsir Al-Manar
yang bernama Tafsir al-Quran Al-Hakim memperkenalkan
dirinya sebagai kitab tafsir satu-satunya yang menghimpun riwayat-riwayat yang
shahih dan pandangan akal yang tegas, yang menjelaskan hikmah-hikmah syariah,
serta sunnatullah (hukum Allah yang berlaku) terhadap manusia, dan menjelaskan
fungsi Al-Quran sebagai petunjuk untuk seluruh manusia di setiap waktu dan
tempat, serta membandingkan antara petunjuknya dengan keadaan kaum muslimin
dewasa ini yang telah berpaling dari petunjuk itu, serta membandingkan pula
dengan keadaan para salaf yang berpegang teguh dengan tali hidayah itu.[7]
Tafsir Al-Manar
pada dasarnya merupakan hasil karya tiga orang tokoh Islam, yaitu Sayyid Jamaluddin
al-Afgani, Syaikh Muhammad Abduh, dan sayid Muhammad Rasyid Ridha. Tokoh
pertama menanamkan gagasan perbaikan masyarakat kepada sahabat dan muridnya,
Syaikh Muhammad Abduh. Oleh tokoh ke dua ini gagasan-gagasan itu dicerna,
diterima dan diolah, kemudian disampaikan melalui penafsiran ayat-ayat Al-Quran dan di terima
oleh tokoh ketiga yang kemudian menulis semua yang disampaikan oleh sahabat
sekaligus gurunya itu dalam bentuk ringkasan dan penjelasan.[8]
Ringkasan dan
penjelasan itu kemudian dimuat secara berturut-turut dalam majalah Al-Manar yang
dipimpinnya itu dengan judul “tafsir Al-Quran Al-Hakim”, yang disandarkan dari
kuliah Al-Ustadz Al-Imam Muhammad Abduh.[9]
Abduh sempat
menyampaikan kuliah-kuliah tafsirnya dari surat Al-fatihah sampai dengan surat
An-Nisa’ ayat 125. Kemudian tokoh ketiga (Rasyid Ridha) menafsirkan ayat-ayat
al-quran secara sendiri yang pada garis besarnya mengikuti metode dan ciri-ciri pokok yang digunakan oleh gurunya
(Muhammad Abduh) sampai dengan ayat 52 surah yusuf.[10]
Karena itu tafsir al-manar yang terdiri atas 12 jilid itu lebih wajar untuk
dinisbahkan kepada Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, sebab disamping lebih banyak
yang ditulisnya, baik dari segi jumlah ayat maupun dari segi halamannya, juga
karena dalam penafsiran surat-surat Al-Fatihah, surat Al-baqarah dan surat
An-Nisa’ ditemui pula pendapat-pendapat Rasyid Ridha yang ditandai olehnya
dengan menulis kata Aqulu sebelum menguraikan pendapatnya.[11]
Tafsir ini terdiri dari 12 jilid, pertama dari Al-Quran yaitu surat
Al-fatihah sampai dengan surat Yusuf. Penafsirannya sangat kaya dengan riwayat
(al-ma’sur) dari Ulama-ulama generasi pertama dikalangan para sahabat dan para
tabi’in. Tafsir ini menjelaskan ayat-ayat al-quran dengan gaya menakjubkan dan
mengesankan, mengungkap makna ayat dengan mudah dan lugas. Tafsir ini juga
mengilustrasikan banyak problem sosial dan menuntaskan dengan perspektif
Al-Quran.[12]
1.
Biografi dan Corak pemikiran Muhammad Abduh
Syaikh Muhammad
Abduh, yang nama lengkapnya Muhammad bin Abduh bin ‘Abduh bin Hasan Khairullah, dilahirkan di desa
Mahallat Nashr, kabupaten Al-buhairah, Mesir, pada tahun 1849 M. ia berasal
dari keluarga yang tidak tergolong kaya, tidak juga dari keturunan bangsawan,
namun ayahnya sangat dihormati didesanya.
‘Abduh kecil
pada usia 13 tahun dikirim oleh ayahnya ke Masjid Al-Ahmadi Thantha (sekitar
80km dari Kairo) untuk belajar Al-Quran dan tajwidnya. Tetapi ia tidak betah
disana. Dua tahun kemudia ia memutuskan kembali ke kampong halamannya dan
bertani seperti saudara-saudara dan kerabatnya.
Setelah
dinikahkan dalam usia muda, Abduh kembali dipaksa belajar oleh orang tuanya.
Abduh menolak perintah itu dan minggat ke “syibr Alkhit” dimana bermukim paman-pamannya. Di desa ini ia
bertemu dengan Syaikh Darwisy Khidr yang memiliki pengetahuan tentang Al-Quran
dan mengamalkan ajaran tasawuf ala Asy-Syadziliyah. Pertemuannya dengan Syaikh
tersebut mengalihkan ‘Abduh dari seorang yang enggan belajar menjadi seorang
yang cinta Ilmu.
Selanjutnya
Abduh ke kairo dan menimba Ilmu di Al-Azhar. Namun sistem pengajaran disana
ketika itu tidak berkenan dihatinya, karena pengajaran dilakukan dengan
penekanan pada pendapat-pendapat Ulama terdahulu, tanpa upaya perbandingan atau
pentarjihan pendapat-pendapat yang ada.
Di kairo Abduh
berkenalan dan berguru kepada sekian ulama yang memiliki pandangan maju.
Perkenalan tersebut sangat berbekas dihatinya, sehingga sewaktu Jamaluddin
Al-afqani berkunjung ke Kairo, Abduh merupakan salah seorang yang sangat
mengagumi pandangan-pandangan ulama pejuang itu.
Setelah lulus
dari Al-Azhar, abduh mengabdi diri pada Al-azhar sebagai asisten dosen,
disamping mengajar etika dan sejarah peradaban kerajaan-kerajaan Eropa di
kediamannya. Abduh yang dekat dengan Jamaluddin Al-Afgani dan sangat Aktif
mengembuskan semangat menentang kezaliman dan penjajahan diberhentikan sebagai
tenaga pengajar dan diasingkan ketempat kelahirannya, walaupun kemudian dibebaskan
kembali setelah perubahan kabinet dan
diberi tugas memimpin surat kabar resmi pemerintah. Tetapi Abduh dan
teman-temannya pengagum Al-afgani justru sering sekali mengemukakan
kritik-kritik tajam kepada pemerintah melalui media resmi yang di pimpinnya
itu, sehingga ia harus diasingkan selama tiga tahun ke luar negeri dimana pun
pilihannya. Ia kemudian memilih syiria.
Setelah setahun
berada di syiria, ia menyusul Jamaluddin Al-Afgani ke Paris, dan bersama-sama
menerbitkan majalah Al-‘Urwah Al-Wutsqa yang gaungnya menentang penjajah
melebar sampai ke Asia, termasuk Indonesia. Dari Paris ‘Abduh ke Beirut.
Kemudian abduh kembali ke mesir pada tahun 1888 M dan ditugasi untuk menjadi
hakim di Pengadilan Daerah Banha. Setelah itu ia menjabat hakim di Pengadilan
Abidin, Kairo, dan terakhir menjadi Mufti Mesir dan anggota Majlis Syura
Kerajaan Mesir. Muhammad Abduh Wafat pada 11 Juli 1905, dalam Usia yang relatif
Muda.[13]
a.
Fokus Pemikiran
Muhammad Abduh.
Ada dua persoalan pokok yang menjadi fokus pemikiran Muhammad Abduh,
sebagaimana di akuinya sendiri. Kedua persoalan tersebut adalah :
1)
Membebaskan akal pikiran dari
belenggu-belenggu taqlid yang menghambat perkembangan pengetahuan agama
sebagaimana halnya salaf al-ummah (ulama sebelum abad ketiga hijriah),
sebelum timbulnya perpecahan, yakni memahami langsung dari sumber pokoknya
yaitu Al-Quran.
2)
Memperbaiki gaya bahasa Arab, baik yang
digunakan dalam percakapan resmi di kantor-kantor pemetintahan, maupun dalam
tulisan-tulisan di media massa, penerjemahan atau korespondensi.[14]
Namun para pengamat setelah memperhatikan karya-karya tulis dan sikap-sikap
Muhammad Abduh, menyatakan bahwa dibalik kedua hal tersebut, terdapat sekian
banyak hal yang menjadi tujuan utama pemikiran-pemikirannya. Tujuan-tujuan
tersebut antara lain : menjelaskan hakikat ajaran Islm yang murni dan menghubungkan ajaran-ajaran tersebut (menyesuaikan penafsirannya) dengan
kehidupan masa kini.[15]
Namun apapun tujuannya, Abduh tidak pernah berfikir, apalagi berusaha untuk
mengambil alih secara utuh Segala yang datang dari Barat. Karena disamping hal
ini hanya akan berarti mengubah taqlid yang lama kepada taqlid yang baru, juga
karena hal tersebut tidak akan berguna, disebabkan adanya perbedaan-perbedaan
pemikiran dan struktur sosial masyarakat masing-masing daerah. Islam, menurut
Abduh harus mampu meluruskan kepincangan-kepincangan peradaban barat serta
membersihkan dari segi-segi negatif yang menyertainya. Dengan demikian,
peradaban tersebut akhirnya akan menjadi pendukung terkuat ajaran Islam, sesaat
setelah dia mengenalnya dan dikenal oleh pemeluk-pemeluk Islam.[16]
b. Ciri-ciri penafsiran Muhammad Abduh
1. Memandang setiap surah sebagai satu kesatuan ayat-ayat yang serasi.
Dari pandangan
ini Abduh menjalin hubungan yang serasi antara satu Ayat dengan ayat yang lain
dalam satu surah. Menurut Abduh, pengertian satu kata atau kalimat harus
berkaitan erat dengan surah tadi secara keseluruhan, contohnya : (والفجر
وليال عشر) demi fajar dan malam
yang ke sepuluh.
Kata Layalin ‘asyr (al-fajr:2) misalnya, tidak mungkin terlepas
pengertiannya dari kata wa al-fajr ( al-fajr: 1). Abduh menjelaskan
bahwa kata al-fajr, tidak
dibarengi dengan satu sifat tertentu, sehingga ia harus dipahami secara umum.
Al-quran menurut Abduh, bila bermaksud tentang suatu hari atau waktu tertentu,
maka hari dan waktu itu dijuluki dengan sifat dan cirinya, seperti Yaum
al-Qiyamah, al-Yaum al- Mau’ud, Lailah al-Qadr dan sebagainya. Akan tetapi
bila hari dan waktu tidak ditentukan sifat atau ciri-cirinya, maka yang
dimaksud adalah waktu secara umum. Jadi kata al-Fajr disini demikian itu
halnya, sehingga ia berarti umum terjadi setiap hari dalam arti bahwa fajar
tersebut adalah fajar ketika cahaya siang menjelma ditengah kegelapan malam,
cahaya yang kemudian mengusik kegelapan tersebut. Dengan demikian, demi
keserasian antara ayat pertama dan kedua, maka layalin ’asyr harus ditafsirkan dengaqn malam-malam yang
serasi keadaannya dengan pengertian yang terkandung oleh kata al-fajr, yakni sepuluh malam yang terjadi
pada setiap bulan, yang didalamnya cahaya bulan mengusik kegelapan malam. Atas
dasar keseriusan ini Abduh tetap menolak pendapat-pendapat ulama yang
menafsirkan kata al-Fajr dan layalin
‘asr dengan fajar tertentu seperti
awaltahun hijriyah atau 10 zulhijjah dan lain-lain.[17]
2. Ayat dan Al-Quran bersifat Umum.
Ciri ini berintikan bahwa petunjuk ayat-ayat alquran berkesinambungan,
tidak dibatasi oleh suatu masa atau tidak pula ditujukan kepada orang-orang
tertentu.
Walaupun ini sejalan dengan kaidah tafsir yang berbunyi “ pemahaman arti
suatu ayat berdasarkan kepada redaksinya yang umum bukan kepada sebab yang
khusus”. Namun Abduh sangat memperluas kaidah ini, sehingga selama satu
ayat dapat dinilai bersifat umum, maka keumuman ini dinyatakannya walaupun
kdang-kadang bertentangan dengan kaidah bahasa.
3. Al-Quran adalah sumber Akidah dan Hukum.
Muhammad Abduh menjelaskan apa yang dimaksud dengan ciri ini sebagai
berikut “aku inginkan agar alquran menjadi sumber yang kepadanya disandarkan
segala mazhab dan pandangan keagamaan, bukan mazhab-mazhab tersebut menjadi
pokok dan ayat-ayat alquran dijadikan pendukung untuk mazahb-mazhab tersebut”.
Dari sini, abduh menyatakan bahwa para pemikir islam terdahulu (mujtahid)
telah berjasa dalam usaha mereka, tapi itu bukan berarti bahwa kita harus
mendahulukan pendapat-pendapat mereka ketimbang petunjuk-petunjuk yang kita
pahami dari ayat-ayat Al-quran. Karena itu pula, dia mengecam sementara
mufassir yang menyatakan bahwa ada ayat-ayat Al-quran yang musykil
(sukar dipahami) hanya karena ayat-ayat tersebut tidak sejalan dengan mazhab
mereka. [18]
4. Penggunaan akal secara Luas dalam memahami ayat-ayat Al-Quran.
Bertitik tolak dari pandangan Abduh tentang peranan akal seperti yang
digambarkan di atas, serta keyakinannya bahwa wahyu dan akal tidak mungkin akan
bertentangan, maka Abduh menggunakan akal secara luas untuk memahami
(menafsirkan) ayat-ayat alquran. Penafsiran-penafsirannya menyangkut ayat
aqidah atau syariah.
2. Biografi dan Corak pemikiran Rasyid Ridha
Salah satu tokoh dari Reformis Islam adalah Rasyid Ridha bin Muhammad
Syamsuddin Alkalmuni. Ia tumbuh didesa Kalmon, berasal dari Baghdad, nasabnya
adalah Husaini. Ia termasuk dari penulis, ulama hadis, sastrawan, ahli sejarah
dan tafsir. Ia pemilik majalah al-manar yang sangat populer, majalah yang jadi
menara pemikiran dan reformasi sosial di zaman modern ini.[19]Rasyid
Ridha tumbuh dan berkembang di desa kalmun, bagian dari Trobluss (Syam). Dimasa
mudanya, ia telah akrab dengan syair, tulisannya tersebar di buku-buku dan
majalah.
Setelah menamatkan sekolah ibtidaiyahnya, rasyid ridha kembali ke
kampungnya untuk mengajar nahwu, sharaf, aqidah, fiqh, berhitung dan ilmu bumi.[20]
Pada saat Rasyid
Ridha memulai perjuangan di kampung halamannya, baik melalui
pengajian-pengajian untuk kaum pria dan wanita maupun tulisan-tulisannya di
media massa, muhammad abduh memimpin pula gerakan pembaruan Mesir.
Majalah al-urwah
al-wutsqo yang di terbitkan oleh jamaluddin al-afghani dan muhammad abduh di
paris, yang tersebar ke seluruh dunia islam, ikut juga dibaca oleh muhammad
rasyid ridha dan memberi pengaruh yang sangat besar pada jiwanya, sehingga
memberi pengaruh pada sikap yang berjiwa sufi ini menjadi seorang pemuda yang
penuh semangat.[21]
Pada awalnya
usaha-usaha rasyid ridha hanya terbatas pada usaha perbaikan aqidah dan syariah
masyarakatnya serta menjauhkan mereka dari kemewahan duniawi dengan melakukan
zuhud, maka dengan membaca majalah tersebut ia beralih kepada usaha-usaha
membangkitkan semangat kaum muslimin untuk melaksanakan ajaran agama secara
utuh serta membela dan membangun negara dengan ilmu pengetahuan dan industri.
Kekaguman kepada
muhammad Abduh bertambah mendalam sejak abduh kembali ke bairut untuk kedua
kalinya pada tahun 1885 dan mengajar sambil mengarang. Pertemuan antara
keduanya terjadi ketika syaikh muhammad abduh berkunjung ke tripoli untuk
menemui temannya syaikh abdullah al-barakah yang mengajar di sekolah
al-khanutiyah.
Pertemuan kedua
terjadi Pada tahun 1312 H/1894 m, juga di tripoli. Kali ini Rasyid Ridha
menemani Abduh sepanjang hari, sehingga banyak kesempatan bagi Rasyid Ridha
untuk menanyakan segala sesuatu yang masih kabur baginya.
Setelah lima tahun
dari pertemuan kedua, maka baru pada tanggal 23 Rajab 1315H/ 18 Januari 1898M
terjadi pertemuan ketiga di Kairo, Mesir. Sebulan setelah pertemuan ketiga ini
Rasyid Ridha mengemukakan keinginannya untuk menerbitkan suatu surat kabar yang
memuat masalah-masalah sosial, budaya, dan agama.
Pada mulanya abduh tidak menyetujui
gagasan ini, karena pada saat itu di mesir sudah cukup banyak media massa,
apalagi persoalan yang akan diolah diduga kurang menarik perhatian umum. Namun
rasyid ridha menyatakan tekadnya, walaupun harus menanggung kerugian material
selama satu sampai dua tahun setelah penerbitan itu. Akhirnya abduh merestui
dan memilih al-manar dari sekian banyak nama yang di usulkan oleh rasyid ridha.
Al-manar terbit pertama kali pada 22 syawal 1315 H/17 Maret 1898 M berupa
mingguan sebanyak delapan halaman dan mendapat sambutan hangat, bukan hanya di
mesir atau negara-negara arab sekitarnya saja, tetapi sampai ke eropa bahkan ke
Indonesia.[22]
a. Ciri-ciri pokok
tafsir Rasyid Ridha
Telah dikemukakan
di atas, bahwa pada dasarnya Sayyid Muhammad Rasyid Ridha mengikuti metode dan
ciri-ciri pokok yang digunakan oleh gurunya, Syaikh Muhammad Abduh. Namun
seperti yang diakui sendiri oleh Rasyid Ridha, terdapat beberapa perbedaan
antara keduanya setelah Rasyid Ridha menulis al-Manar atas ushanya
sendiri. Perbedaan tersebut menyangkut:
1.
Keluasan pembahasan tentang ayat-ayat yang
ditafsirkan dengan hadist-hadist Nabi saw.
2.
Keluasan pembahasan tentang penafsiran ayat dengan
ayat lain.
3.
Penyisipan pembahasan-pembahasan yang luas tentang
hal-hal yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat pada masanya, dengan tujuan
mengantar kepada penjelasan tentang petunjuk agama, baik yang menyangkut
argumentasi keyakinan maupun pemecahan problem-problem yang berkembang.
4.
Keluasan pembahasan tentang arti mufradat
(kosakata), susunan redaksi, serta pengungkapan pendapat-pendapat ulama-ulama
terdahulu terhadapnya.[23]
Perbedaan-perbedaan
ini menunjukkan karakter ilmiah Sayyid Muhammad Rasyid Ridha serta pengaruh
yang ditinggalkan oleh ulama-ulama terdahulu terhadapnya.
Perbedaan pertama,
menyangkut keluasan pembahasan di bidang hadist, menunjukkan kemantapannya
dalam bidang ini, sekaligus menghindari apa yang dikemukakannya menyangkut
kekurangan Syaikh Muhammad Abduh, yakni “kekurangan di bidang ilmu-ilmu hadist,
riwayat, hafalan, dan al-Jarh wa at-Ta’dil.”
Perbedaan kedua,
tentang penafsiran ayat dengan ayat, adalah pengaruh Ibnu Katsir yang sangat dikaguminya,
kekaguman yang mendorongnya untuk mencetak Tafsir Ibnu Katsir dan
menyebarluaskannya ke seluruh negara Arab, bahkan dunia Islam.
Perbedaan ketiga,
menyangkut penyisipan pembahasan-pembahasan yang luas tentang bebrbagai
masalah, menurut Az-Dzahabi, adalah “gambaran dari profesi Rasyid Ridha sebagai
wartawan yang mempunyai hubungan dengan seluruh lapisan masyarakat dan dengan
aneka ragam aliran maupun tingkat kepercayaan.”
Kemudian, ketiga
perbedaan tadi mengharuskan pembahasannya untuk mengemukakan secara luas arti
kosakata, susunan redaksi ayat, serta pendapat-pendapat ulama. Hal ini yang
merupakan perbedaaan keempat antara Rasyid Ridha dengan Abduh.[24]
Sebelum
melangkahkan lebih lanjut melihat perbedaan-perbedaan antara kedua tokoh tafsir
ini, terlebih dahulu akan dikemukakan contoh-contoh persamaan antara keduanya.
1.
Menganggap satu surah sebagai satu kesatuan
ayat-ayat yang serasi
2.
Ayat-ayat al-Quran bersifat umum
3.
Al-Quran adalah sumber akidah dan hukum
4.
Penggunaan akal secara luas dalam memahami
ayat-ayat
5.
Bersikap hati-hati terhadap hadits Nabi saw
6.
Bersikap hati-hati terhadap pendapat sahabat.[25]
b. Perbedaan-perbedaan
antara Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh
Sebagaimana dikemukakanse
belumnya, bahwa Rasyid Ridha dalam penafsirannya mempunyai sekian banyak
perbedaan dengan Syaikh Abduh. Di bawah ini akan dikemukakan contoh
perbedaan-perbedaan tersebut :
1.
Keluasan pembahasan menyangkut ayat-ayat yang
ditafsirkan dengan hadits-hadits Nabi saw.
Rasyid Ridha
dikenal sebagai seorang ulama yang amat dalam pengetahuannya tentang Sunnah
Nabi saw. Dia menilai banayak riwayat, baik dari Nabi saw, sahabat, maupun
tabi’in yang dapat membantu menjelaskan kandungan al-Qur’an, walaupun pada saat
yang sama dia mengakui bahwa tidak sedikit riwayat tersebut, khususnya yang
berkaitan dengan kisah para nabi serta persoalan dan tanda-tanda kiamat yang
telah bercampur dengan pandangan dan mitos orang-orang Yahudi, Nasrani, Persia,
dan lain-lain.
Dalam menafsirkan
al-Qur’an, Rasyid Ridha banyak sekali memaparkan hadits-hadits-hadits Nabi saw,
riwayat para sahabat dab tabi’in, yang dinilainya Shahih.
Penilainnya lebih ketat dari sekian banyak tokoh tafsir dan hadits, dan
penilaian tersebut tidak hanya terbatas pada sisi kandungan riwayat, tetapi
juga sisi transmisi perawi-perawinya.[26]
2.
Penyisipan pembahasan yang luas menyangkut permasalahan
yang dibutuhka masyarakat
a.
Bidang hukum
b.
Bidang perbandingan agama
c.
Bidang Sunnatullah (hukum-hukum Allah dalam
Masyarakat)
d.
Perkembangan ilmu pengetahuan
3.
Keluasan pembahasan tentang penafsiran ayat dengan
ayat
Salah satu
pengaruh Tafsir Ibnu Katsir terhadap Muhammad Rasyid Ridha adalah usahanya
mengikuti jejak Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran dengan
ayat-ayat lainnya, suatu cara penafsiran yang dinilai oleh ulama paling tepat
untuk memahami arti ayat-ayat Al-Quran .
4.
Keluasan pembahasan kosakata dn ketelitian susunan
redaksi
Dalam banyak ayat,
Rasyid Ridha berusaha untuk menjelaskan pengertian-pengertian yang dikandung
oleh suatu kata atau rahasia-rahasia yang dapat ditarik dari susunan suatu redaksi,
khususnya yang berbeda dengan redaksi ayat lain yang juga berbucara tentang
persoalan yang sama.
Apa yang ditempuh
Rasyid Ridha ini dan ulama-ulama Tafsir sebelumnya dikenal dengan istilah Tafsir
Muqaran, yang salah satu bagiannya adalah membandingkan ayat-ayat al-Quran
yang berbeda redaksinya padahal masing-masing ayat tersebut berbicara tentang
masalah yang sama, atau membandingkan ayat-ayat al-Quran yang redaksinya sama
atau mirip sedangkan konteks masing-masing berbeda.[27]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Corak Adabi Ijtima’i yaitu sebagai corak
penafsiran yang menekankan penjelasan tentang aspek-aspek yang terkait dengan
ketinggian gaya bahasa al-Qur’an (balaghah) yang menjadi dasar
kemukjizatannya. Atas dasar itu mufassir menerangkan makna-makna ayat-ayat
al-Qur’an, menampilkan sunnatullah yang tertuang di alam raya dan sistem-sistem
sosial, sehingga ia dapat memberikan jalan keluar bagi persoalan kaum muslimin
secara khusus, dan persoalan ummat manusia secara universal sesuai dengan petunjuk
yang diberikan oleh al-Qur’an.
Ciri-ciri tafsir Al-Adabi al-ijtima’i adalah Memerhatikan ketelitian redaksi ayat-ayat adab alquran. Menguraikan
makna dan kandungan ayat-ayat dengan susunan kalimat yang indah. Aksentuasi
yang menonjol pada tujuan utama turunnya alquran. Penafsiran ayat dikaitkan
dengan hukum-hukum alam (sunnatullah) yang berlaku dalam masyarakat.
Ciri-ciri penafsiran
Muhammad Abduh yaitu, Memandang setiap surah sebagai satu kesatuan ayat-ayat
yang serasi. Ayat dan Al-Quran bersifat Umum. Al-Quran adalah sumber akidah dan hukum,Penggunaan
akal secara luas dalam memahami ayat-ayat. Bersikap hati-hati terhadap hadits
Nabi saw. Bersikap hati-hati terhadap pendapat sahabat.
DAFTAR PUSTAKA
Badri Khaeruman, Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Quran (Bandung : CV.
Pustaka Setia, 2004)
M. Quraish Shihab, Rasionalisasi Al-Quran : Studi Kritis
atas tafsir Al-Manar, (Jakarta: Lentera hati, 2006)
Mani’ Abd Halim Mahmud, “Metodelogi Tafsir : kajian
Konprehensif Metode para ahli Tafsir”, (Jakarta : PT. Grafindo Persada,
2006)
Muhammad
‘Abduh, Tafsir Juz’amma, (Kairo: Dar Mathabi’ Asy- Sya’b, tt)
Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an (Bandung: PT. Mizan
Pustaka, 2007)
Supiana, M. Karman, Ulumul Qur’an (Bandung: Pustaka
Islamika, 2002)
Thameem Ushama, Metodelogi Tafsir Al-Quran : kajian kritis objektif dan
komprehensif. (Jakarta : Rioca Cipta, 2000)
[12] Thameem Ushama, Metodelogi Tafsir Al-Quran ; kajian kritis objektif dan
komprehensif. (Jakarta : Rioca Cipta, 2000) hal. 80
[13] Muhammad
‘Abduh, Tafsir Juz’amma, (Kairo: Dar Mathabi’ Asy- Sya’b, tt), hal. v-vii
[14] M. Quraish Shihab, Rasionalisasi Al-Quran : Studi Kritis atas tafsir
Al-Manar, (Jakarta: Lentera hati, 2006), hal.16
[26] Ibid., 118
izin ambil makalahnya ya, makasih mba, makalahnya sangat membantu
BalasHapussama-sama... semoga bermanfaat..
Hapus
BalasHapusApakah kamu sudah tau prediksi togel mbah jambrong yang jitu? bila belum baca Prediksi jitu mbah jambrong