BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Membicarakan tentang pembagian hadis dari segi
kualitasnya ini tidak dapat dipisahkan dari pembagian hadis menurut
kuantitasnya. Sebagaimana dipahami bahwa dari segi kuantitas, hadis dapat
dibedakan menjadi hadis mutawatir dan hadis ahad.
Untuk yang disebut pertama memberikan
pengertian bahwa hadis itu diterima secara yaqin bi-al-qat’i, yaitu Nabi Muhammad
saw. Memang benar-benar bersabda, berbuat, atau menyatakan dihadapan para
sahabat, berdasarkan sumber-sumber yang banyak dan mustahil mereka bersama-sama
sepakat untuk berbuat dusta. Oleh karena kebenaran sumber-sumbernya telah
menyakinkan, maka ia harus diterima dan diamalkan dengan tanpa mengadakan
penelitian, baik terhadap sanad maupun matannya.
Sedangkan tipe hadis yang
disebut kedua, hanya memberikan faedah zanny, (prasangka) dan karenanya harus
diadakan penyelidikan lebih lanjut, baik yang berhubungan dengan sanad maupun
matannya, sehingga status hadis tersebut menjadi jelas “apakah diterima sebagai
hujjah atau ditolak”.
Atas dasar inilah, kemudian para ulama hadis
membagi hadis secara kualitas, menjadi dua bagian, yaitu hadis maqbul dan
hadis mardud. Yang dimaksud dengan hadis maqbul adalah “ hadis yang telah
memenuhi syarat-syarat penerimaan (qabul) yaitu apabila sanadnya bersambung,
diriwayatkan oleh rawi yang adil dhabith, dan matannya tidak syaz dan tidak
ber’ilat. Hadis maqbul dapat dimaksud dengan hadis shahih dan hasan. Sedangkan
yang dimaksud dengan hadis mardud adalah hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat
hadis maqbul, baik yang berhubungan dengan sanad maupun matan. Hadis mardud ini
juga disebut dengan hadis dhaif.
B. Rumusan Masalah
Adapun Rumusan masalah
dalam makalah ini adalah :
1. Apa pengertian Hadis
Sahih, hasan, dan dhaif serta bagaimana cara penetapannya?
2. Bagaimana kedududkan hadis
sahih, hasan dan dhaif ?
3. Apa saja persyaratan hadis
dhaif menjadi hasan li ghairih ?
BAB II
A.
Hadis Sahih,
Hasan dan Dhaif Serta Cara Penetapannya
Dari segi kualitasnya para Ulama ilmu hadis
membagi hadis dalam dua golongan yaitu hadis ditinjau dari segi kuantitasnya
dan dari segi kualitasnya. Dari segi
kualitas, hadis dikelompokkan menjadi hadis maqbul dan hadis mardud. Hadis
maqbul yaitu hadis yang telah sempurna padanya syarat-syarat penerimaan seperti
hadis sahih dan hasan, sedangkan hadis mardud adalah hadis yang ditolak karena
hadis tersebut tidak tidak memenuhi syarat-syarat atau sebagian syaratnya tidak
maqbul, contohnya hadis dhaif.
1.
Hadis Sahih
Kata sahih secara bahasa berrti sehat, selamat, benar, sah dan sempurna.
Para Ulama biasa menyebut kata sahih itu sebagai lawan dari kata saqim (sakit).
Maka, hadis sahih secara bahasa adalah hadis yang sehat, selamat, benar, sah,
dan sempurna, dan tidak sakit. Secara
terminologi, hadis sahih adalah hadis yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh
periwayat yang ‘Adil dan Dhabit hingga bersambung kepada Rasulullah atau pada sanad terakhir berasal dari kalangan sahabat tanpa mengandung
syadz (kejanggalan) ataupun ‘illat (cacat).[1]
pengertian
hadis sahih secara definitive eksplisit belum dinyatakan oleh ahli hadis dari
kalangan al-muttaqaddimin (sampai abad III H). mereka pada umumnya hanya
memberikan penjelasan mengenai kriteria penerimaan hadis yang dapat dipegangi.
Di antara pernyataan-pernyataan mereka adalah, tidak diterima periwayatan suatu
hadis kecuali yang bersumber dari orang-orang yang tsiqqah, tidak diterima
periwayatan suatu hadis yang bersumber dari orang-orang yang tidak dikenal
memiliki pengetahuan hadis, dusta, mengkuti hawa nafsu, orang-orang yang
ditolak kesaksiannya”.[2]
Bukhari dan Muslim, sebagai tokoh ahli hadis
dan hadis-hadis yang diriwayatkannya sebagai hadis yang sahih, ternyata juga
belum membuat definisi sahih secara tegas. Namun setelah para ulama mengadakan
penelitian mengenai cara-cara dijadikan hujjah, diperoleh suatu gambaran
mengenai kriteria sahih menurut keduanya. kriteria-kriteria dimaksud adalah:
rangkaian perawinya dalam sanad itu harus sampai perawi terakhir, para
perawinya harus terdiri dari orang-orang yang dikenal tsiqqat, dalam
arti ‘adil dan dhabit,
hadisnya terhindar dari ‘illat (cacat) dan syadz
(janggal), dan para perawinya yang terdekat dalam sanad harus sezama. Hanya saja antara keduanya terjadi perbedaan pendapat
mengenai persambungan sanad. Menurut
Bukhari, sanad hadis dikatakan bersambung apabila antara perawi yang terdekat
itu pernah bertemu, sekalipun hanya satu kali. Jadi tidak cukup hanya sezaman
(al-mu’asharah). Sedangkan menurut muslim, apabila antara perawi yang terdekat
hidup sezaman sudah dikategorikan bersambung.[3]
Ibnu Al-Shalah
(w. 643 H) memberikan pengertian hadis sahih sebagai berikut :
الحديث
الصحيح هو الحديث المسند الذي يتصل إسناده بنقل العدل الضابط عن العدل الضابط إلى
منتهاه ولا يكون شاذا ولا معللا.
“ Hadis sahih yaitu musnad yang bersambung sanadnya dengan periwanyatan
oleh oaring yang adil-dhabith dari orang yang adil lagi dhabith juga
hingga akhir sanad, serta tidak ada yang kejanggalan dan cacat”.[4]
Definisi yang lebih ringkas dinyatakan oleh
Al-Suyuthi :
ما إتصل سنده
بالعدول الضابطين من غير شذوذ ولا علة
“Hadis yang
bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi dhabith, tidak
syaz dan tidak ber’illat”.[5]
a.
Syarat-syarat
Hadis Sahih
Dari beberapa definisi tentang hadis sahih
sebagaimana tersebut di atas, dapat dinyatakan bahwa syarat-syarat hadis sahih
adalah :
1. Sanadnya
Bersambung
Maksudnya adalah
bahwa tiap-tiap perawi dalam sanad hadis menerima riwayat hadis dari perawi
terdekat sebelumnya, keadaaan itu
berlangsung demikian sampai akhir sanad dari hadis itu.[6]
Artinya, seluruh rangkaian para perawi hadis, sejak perawi terakhir sampai
kepada para sahabat yang menerima hadis langsung dari Nabi SAW, bersambung
dalam periwayatan.
Untuk mengetahui bersambung dan tidaknya suatu
sanad, biasanya ulama hadis menempuh tata kerja penelitian sebagai berikut :
-
Mencatat semua nama periwayat dalam sanad yang diteliti
-
Mempelajari sejarah hidup masing-masing periwayat.
-
Meneliti kata-kata yang berhubungan antara para periwayat dengan periwayat
yang terdekat dalam sanad, yakni apakah kata-kata yang terpakai berupa haddasani,
haddasana, akhbarana, ‘an, anna atau kata-kata lainnya. [7]
2. Perawinya
Bersifat Adil
Kata ‘adil menurut bahasa berarti lurus,
tidak berat sebelah, tidak dzalim, tidak menyimpang, tulus dan jujur. Para Ulama berbeda pendapat tentang kriteria periwayat hadis disebut Adil,
Al-hakim berpendapat bahwa seorang disebut ‘Adil apabila beragama Islam, tidak
berbuat bid’ah dan tidak berbuat maksiat. Dengan demikian, perawi yang adil adalah perawi
yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
-
Senantiasa
melaksanakan segala perintah agama dan meninggalkan semua larangannya.
-
Senantiasa
menjauhi semua dosa-dosa kecil.
-
Senantiasa
memelihara ucapan dan perbuatan yang dapat menodai marwah, yakni suatu sikap ke
hati-hatian dari melakukan perbuatan yang sia-sia atau perbuatan dosa.[8]
Sifat-sifat adil para perawi sebagaimana
dimaksud sudah dapat
diketahui melalui :
-
Popularitas perawi dikalangan ulama ahi hadis;
perawi yang terkenal keutamaan pribadinya.
-
Penilaian dari
para kritikus perawi hadis tentang kelebihan dan kekurangan yang ada pada diri
perawi.
-
Penerapan kaidah al-jarh wa al-ta’dil,
bila tidak ada kesepakatan di antara para kritikus perawi hadis mengenai
kualitas pribadi para perawi tertentu.[9]
3. Perawinya
Bersifat Dhabith
Secara bahasa, dhabith berarti, “ yang
kokoh, yang kuat, yang tepat, yang hafal dengan sempurna”. Sedangkan secara
istilah, dhabith dimaknai sebagai orang yang kuat hafalannya tentang apa yang
telah didengarnya dan mampu menyampaikan hafalannya itu kapan saja bila menghendaki.[10]
Dengan demikian, dhabith dapat dibedakan
menjadi dua kategori, yaitu dhabith shadran dan dhabith kitaban. Dhabith
shadran ialah terpeliharanya periwanyatan dalam ingatan, sejak ia menerima
hadis sampai meriwayatkannya kepada orang lain. Sedangkan
dhabith kitaban ialah terpeliharanya kebenaran suatu periwayatan melalui
tulisan.[11]
Orang dikatakan dhabith, bukan berarti
ia terhindar sama sekali dari kekeliruan atau kesalahan. Sebagai manusia,
kemungkinan berbuat salah dan keliru sangatlah wajar. Namun,
kekeliruan ini tidak terjadi berulang kali. Oleh karenanya, yang demikian itu
tidak dianggap sebagai orang yang kurang kuat ingatannya.[12]
4. Tidak Syadz
(Janggal)
Maksud dari syadz di
sini adalah suatu hadis yang bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh
perawi lain yang lebih kuat atau lebih tsiqah. Berdasarkan
pengertian ini, maka dapat dipahami bahwa hadis yang tidak syadz adalah
hadis yang matannya tidak bertentangan dengan hadis lain yang lebih kuat atau
lebih tsiqah.[13]
5. Tidak berillat
(Gair Mu’allal)
Secara etimologis, term ‘illat (jamaknya ‘ilal
atau al-‘ilal) berarti cacat,
kesalahan baca, penyakit dan keburukan. Dengan makna ini, maka disebut hadis
ber’illat adalah hadis-hadis yang ada cacat atau penyakitnya. Sedangkan
secara terminologis, ‘illat
berarti sebab yang tersembunyi yang merusakkan kualitas hadis. Keberadaannya menyebabkan hadis yang pada lahirnya tampak berkualitas
sahih menjadi tidak sahih. Dengan demikian, maka
yang dimaksud hadis yang tidak ber’illat, adalah hadis-hadis yang
didalamnya tidak terdapat kecacatan, kesamaran atau keragu-raguan.[14]
b.
Pembagian
dan Contoh Hadis Shahih
Para ulama ahli hadis
membagi hadis sahih kepada dua bagian, yaitu sahih li dhatihi dan
sahih li gharihihi. Perbedaan keduanya terletak pada segi hafalan atau
ingatan perawinya. Pada sahih li dzatihi, ingatan perawinya sempurna, sedang
pada hadis sahih li ghairihi, ingatan perawinya kurang sempurna.
1.
Hadis Sahih li Dzatihi
Hadis sahih li dzatihi,
ialah hadis yang dirinya sendiri telah memenuhi kriteria kesahihan sebagaimana
disebutkan, dan tidak memerlukan penguat dari yang lainnya. Ini berarti
bahwa hadis sahih li dzatihi, adalah hadis sebagaimana dimaksudkan
dalam pengertian sahih di atas.
Contoh :
لولا أن أشق
على أمتى أو على الناس لأمرتهم باسواك مع كل صلاة (رواه البخارى)
“Andaikan tidak
memberatkan pada umatku, niscaya akan kuperintahkan bersiwak pada setiap kali
hendak melaksanakan salat.”(HR. Bukhori).
2.
Hadis Sahih li Ghairihi,
Hadis sahih li
ghairihi, adalah hadis yang kesahihannya dibantu oleh adanya hadis
lain. Pada mulanya hadis katagori ini memiliki kelemahan berupa periwayatan
yang kurang dhabit, sehingga dinilai tidak memenuhi syarat untuk dikatagorikan
sebagai hadis sahih. Tetapi setelah diketahui ada hadis lain dengen kandungan
matan yang sama dan berkualitas sahih, maka hadis tersebut naik derajatnya
menjadi sahih. Dengan kata lain, hadis sahih li ghairihi pada asalnya adalah
hadis hasan yang karena ada hadis sahih dengan matan yang sama, maka hadis
hasan tersebut naik menjadi hadis sahih.[16]
Berikut
contoh hadis shahih li ghairihi yang diriwayatkan oleh
at-Tirmidzi :
حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ ،
حَدَّثَنَا عَبْدَةُ بْنُ سُلَيْمَانَ ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو ، عَنْ أَبِي
سَلَمَةَ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَوْلا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لأَمَرْتُهُمْ
بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلاة. ٍ
Hadis
tersebut dinilai oleh muhaddisin sebagai hadis shahih
li ghairihi sebagaimana dijelaskan diatas. Pada sanad hadis tersebut,
terdapat Muhammad bin ‘Amr yang dikenal orang jujur, akan tetapi kedhabitannya
kurang sempurna, sehingga hadis riwayatnya hanya sampai ke tingkat hasan. Namun
keshahihan hadis tersebut didukung oleh adanya hadis lain, yang lebih tinggi
derajatnya sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari A’raj dari
Abu Hurairah (pada contoh hadis shahih li dzatihi).
2.
Hadis Hasan
Menurut bahasa hasan artinya
sesuatu yang disenang dan disenangi oleh nafsu. Menurut istilah, para ulama
berbeda pendapat dalam mendefinisikannya. Perbedaan pendapat ini terjadi
disebabkan di antara mereka ada yang menggolongkan hadis hasan sebagai hadis
yang menduduki posisi di antara hadis shahih dan hadis dha’if. Tetapi
ada juga yang memasukkannya sebagai bagian dari hadis dha’if yang dapat dijadikan hujjah. Menurut
sejarah yang mula-mula memunculkan istilah hasan bagi suatu jenis hadis
yang berdiri sendiri adalah Abu ‘Isa al-turmudzi. Sebelum Al-Turmudzi
istilah hadis hasan belum pernah dikenal. Al-Turmudzi sangat
sering menyebutkan istilah hasan dalam kitab Sunan-nya, sehingga ulama
hadis menganggap Kitab al-Sunan sebagai sumber utama dalam
mengetahui hadis hasan.[17]
Adapun pengertian lain dari para ulama-ulama
tentang hadis hasan ini, antara lain:
a) At-Turmudzi
mendefinisikan hadis hasan sebagai “Tiap-tiap hadis yang pada sanadnya
tidak terdapat perawi yang tertuduh dusta. (pada matannya) tidak ada kejanggalan
(syadz) dan hadis tersebut di riwayatkan pula melalui jalan lain.
b)
Ibnu Hajar mendefinisikan hadis hasan sebagai “Khabar ahad yang di
nukilkan melalui perawi yang adil, sempurna ingatannya,khabar ahad yang di
nukilkan melalui perawi yang adil, sempurna ingatannya, bersambung sanadnya
dengan tanpa berilat dan syadz di sebut hadis shahih, namun bila kekuatan
ingatannya kurang kokoh (sempurna) disebut hasan li dzatih.”
c)
Ath-Thibi mengemukakan definisi hadis hasan sebagai “Hadis musnad
(muttashil dan marfu’) yang sanad-sanadnya mendekati derajat tsiqah atau hadis
mursal yang (sanadnya) tsiqah , akan tetapi pada keduanya ada perawi lain:
Hadis itu terhindar dari syudzudz dan illat).
d)
Ibnu Hajar al- Asqalani mendefinisikan hadis hasan sebagai “Hadis
yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, kurang kuat hafalannya, bersambung
sanadnya, tidak mengandung illat dan tidak syadz.”
Jadi dari definisi-definsi di atas, dapat
dikatakan bahwa hadis hasan hampir sama dengan hadis sahih, hanya saja terdapat
perbedaan dalam soal ingatan perawi. Pada hadis sahih, ingatan atau daya
hafalannya sempurna, sedangkan hadis hasan kurang sempurna.
Contoh
hadis hasan:
حَدَّثَنَا عَفَّانُ ، حَدَّثَنَا
شُعْبَةُ ، قَالَ أَنْبَأَنِي سَعْدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ ، عَنْ مَعْبَدٍ
الْجُهَنِيِّ ، قَالَ : كَانَ مُعَاوِيَةُ قَلَّمَا يُحَدِّثُ عَنْ رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا وَيَقُولُ هَؤُلاءِ
الْكَلِمَاتِ قَلَّمَا يَدَعُهُنَّ ، أَوْ يُحَدِّثُ بِهِنَّ فِي الْجُمَعِ عَنِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ
خَيْرًا يُفَقِّهُّ فِي الدِّينِ ، وَإِنَّ هَذَا الْمَال حُلْوٌ خَضِرٌ فَمَنْ
يَأْخُذْهُ بِحَقِّهِ يُبَارَكْ لَهُ فِيهِ ، وَإِيَّاكُمْ وَالتَّمَادُحَ
فَإِنَّهُ الذَّبْحُ.(رواه أحمد)
Hadis
tersebut diatas bersambung sanadnya dan semua perawinya termasuk orang-orang
terpercaya kecuali Ma’bad al-Juhany menurut adz-Zahaby,
Ma’bad termasuk orang yang kurang ke-‘adilan-nya.[18]
a.
Syarat-syarat
Hadis Hasan
Secara rinci
syarat-syarat hadis hasan sebagai berikut:
-
Sanadnya bersambung.
-
Perawinya adil.
-
Perawinya dhabith, tetapi kualitas kedhabitannya di bawah kedhabitan perawi hadis sahih.
-
Tidak terdapat kejanggalan atau syadz.
-
Tidak ber’illat.
b.
Pembagian dan Contoh Hadis Hasan
1.
Hasan Li Dzatihi
Yang dimaksud dengan hadis Hasan Li Dzatihi ialah hadis yang
sanadnya bersambung dengan periwayatan yang adil, dhabit meskipun tidak
sempurna, dari awal sanad hingga akhir sanad tanpa ada keganjilan (syadz)
dan cacat (‘illat) yang merusak.[19]
2.
Hasan Li Ghairihi
Secara singkat, hasan li
ghairihi itu terjadi dari hadis dha’if jika banyak periwayatannya,
sementara para perawinya tidak di ketahui keahliannya dalam meriwayatkan hadis.
Akan tetapi mereka tidak sampai kepada derajat fasik atau tertuduh suka
berbohong atau sifat-sifat jelek lainnya. Begitulah para ulama memberikan batasan hadis
jenis ini, termasuk Ibnu Al-Shalah.[20]
Jadi, sistem
periwayatannya terutama syarat-syarat kesahihannya banyak yang tidak terpenuhi,
akan tetapi para perawinya dikenal sebagai orang yang tidak banyak berbuat
kesalahan atau banyak berbuat dosa. Dan periwayatan hadis tersebut banyak
riwayat, baik dengan redaksi yang serupa (mitslahu) maupun mirip (nahwahu).
Contoh hadis shahih li ghairihi:
حَدَّثَنَا شُعْبَةُ ، عَنْ عَاصِمِ
بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ ، قَال سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَامِرِ بْنِ
رَبِيعَةَ ، عَنْ أَبِيهِ : أَنَّ امْرَأَةً مِنْ بَنِي فَزَارَةَ تَزَوَّجَتْ
عَلَى نَعْلَيْنِ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
:" أَرَضِيتِ مِنْ نَفْسِكِ وَمَالِكِ بِنَعْلَيْنِ ؟" قَالَتْ : نَعَمْ
. قَالَ : فَأَجَازَهُ .(رواه
الترمذي)
Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dari jalur
Syu’bah dari ‘ashim bin ‘Ubaidillah,dari Abdillah bin Amir bin Rabi’ah, dari
ayahnya bahwasanya seorang wanita dari bani Fazarah menikah dengan mahar
sepasang sandal.
Kemudian at-Tirmidzi berkata,”pada bab ini juga
diriwayatkan (hadis yang sama) dari ‘Umar, Abi Hurairah,Aisyah dan Abi
Hadrad.”Jalur ‘Ashim didha’ifkan karena buruk hafalannya, kemudian hadis ini
dihasankan oleh at-Tirmidzy melalui jalur riwayat yang lain.[21]
3.
Hadis Dhaif
Secara etimologis, dhaif berarti lemah, lawan dari kuat. Maka yang
dimaksud dengan hadis dha’if adalah hadis yang lemah atau hadis yang tidak
kuat.[22]
Secara terminologis, para
ulama berbeda pendapat, menurut Imam al-Nawawi hadis dha’if adalah “hadis
yang didalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadis shahih dan syarat-syarat
hadis hasan. Menurut Nur al-Din ‘Itr, merumuskan
hadis dha’if sebagai “Hadis yang hilang salah satu syaratnya dari
syarat-syarat hadis maqbul.[23]
Adapun kriteria Hadis
dhaif adalah : Sanadnya terputus, periwayatnya tidak adil, periwayatnya tidak dhabit, mengandung syadz, dan mengandung illat.[24]
a.
Sebab-sebab
hadis dhaif ditolak, dilihat
dari dua jurusan:
1. Sanad Hadis.
Dari sisi sanad
Hadis ini diperinci ke dalam dua bagian:
1)
Ada kecacatan pada perawinya baik berupa
keadilannya maupun kedhabitannya, ada 10 macam:
a)
Dusta
b)
Tertuduh dusta
c)
Fasiq
d)
Banyak salah
e)
Lengah dalam menghafal
f)
Banyak wahamnya
g)
Menyalahi
riwayat yang lebih tsiqqah atau dipercaya
h)
Tdak diketahui identitasnya
i)
Penganut bidah
2) Sanadya tidak
bersambung
a) Gugur pada
sanadnya
b) Gugur pada
sanad terakhir (sahabat)
c) Gugur dua
orang rawi atau lebih secara berurutan
d) Rawinya yang
digugurkan tidak berturut-turut.
2.
Matan Hadis
a) Hadis Mauquf
b) Hadis Maqthu’[26]
b.
Macam-macam Hadis Dhaif
Ø Dhaif dari segi sanad
1.
Dhaif
karena tidak bersambungnya sanad
a)
Hadis
Munqathi’
Hadis yang gugur sanadnya dari satu
tempat atau lebih, atau pada sanadnya disebutkan nama orang yang tidak dikenal
namanya.
Contoh
hadits ini adalah;
ما رواه عبد الرزاق عن الثورى عن أبى
إسحاق عن زيد بن يثيع عن حذيفه مرفوعا إن وليتموها أبا بكر فقوى أمين
Riwayat yang
sebenarnya adalah Abdul Razak meriwayatkan hadis dari Nukman bin Abi Saybah
al-Jundi bukan dari Syauri. Sedangkan Syauri tidak meriwayatkan hadis dari Abi
Ishak, akan tetapi ia meriwayatkan hadits dari Zaid. Dari riwayat yang
sesungguhnya kita dapat mengetahui bahwa hadits di atas adalah termasuk hadis
yang munqthi’.[27]
b)
Hadis
Mu’allaq
Hadis yang rawinya digugurkan
seorang atau lebih diawal sanadnya secara berturut-turut. Sebagai contoh,
Bukhari meriwayatkan Hadis dari Bahz ibn Hakim dari bapaknya dan daru kakeknya.
Nabi bersabda :
الله
احق أن يستحي من الناس
Artinya : “Allah itu lebih berhak dijadikan tempat mengadu malu daripada
manusia”.
Hadis diatas dalam sanad Abu daud ialah ia menerima dari Abdullah ibn
Maslamah, dari Ubay, dari Bahz ibn Hakim dan seterusnya, ini berarti imam
bukhari dalam kitab sahihnya mentaqlidkan kira-kira dua orang perawi.
c)
Hadis
Mursal
Sebuah hadis disebut mursal apabila diriwayatkan oleh tabi’in langsung dari
Nabi, atau hadis yang disandarkan langsung oleh tabi’in kepada Nabi baik
perkataan, perbuatan, maupun taqrir, tanpa menyebut sahabat.
Contoh
hadits ini adalah:
قال مالك عن جعفر بن محمد عن أبيه أن
رسول الله قضى باليمن والشاهد
Disini Muhammad bin Ali Zainul
Abidin tidak menyebutkan sahabat yang menjadi perantara antara nabi dan
bapaknya.
d)
Hadis
Mu’dhal
Hadis yang gugur dua orang sanadnya secara berturut-turut. Contohnya imam
malik berkata dalam kitab al-muwatha’. “telah menyampaikan kepadaku Abu
Hurairah bahwa rasulullah Saw bersabda :
للمملوك طعامه و كسوته
“bagi Budak itu ada hak makanan dan
minuman”.
Hadis seperti ini disebut mu’dal karena tidak mungkin imam malik menerima
hadis dari abu hurairah.
e)
Hadis
Mudallas
Hadis yang diriwayatkan menurut cara yang diperkirakan, bahwa
hadis itu tiada bernoda.
Pada hadis mudallas ini rawi yang menggugurkan pertama bertemu dengan rawi
yang digugurkan. Pengguguran itu dimaksudkan agar aib atau kelemahan suatu
hadis dapat tertutupi.
2.
Dhaif
karena tiadanya syarat adil
a)
Hadis
Al-Maudhu’
Hadits maudhu’ adalah hadits yang
dibuat-buat. Para ulama memberikan batasan, hadits maudhu’ adalah hadits yang
bukan dari hadits Rasulullah SAW. Tetapi disandarkan oleh seseorang secara
dusta dan sengaja kepada Rasulullah.
Contohnya
adalah hadis tentang keutamaan bulan rajab yang diriwayatkan
Ziyad ibn Maimun dari shabat Anas r.a:
قيل يارسول الله لم سمي رجب قال لأنه
يترجب فيه خير كثبر
Menurut
Abu Dawud dan Yazid ibn Burhan, Ziyad ibn Maimun adalah seorang pembohong dan
pembuat hadis palsu.
b)
Hadis
matruk
Hadits matruk adalah hadits yang
diriwayatkan oleh orang yang tertuduh pernah berdusta (baik itu berkenaan
dengan hadits atau masalah yang lain) atau tertuduh pernah berbuat maksiat,
atau lalai, atau banyak ragu.
Contoh hadis
ini adalah hadis tentang qadha' al hajat yang diriwayatkan
oleh Ibn Abi Dunya dari Juwaibir ibn Sa'id al Asdi dari dhahak dari Ibn 'Abbas.
قال النبي عليكم باصطناع المعروف فانه
يمنع مصارع السوء ... الخ
Menurut
an Nasa'i dan Daruqutni, Juwaibir adalah orang yang tidak dianggap hadisnya.
c)
Hadis
Munkar
Hadits mungkar adalah hadits yang
diriwayatkan oleh rowi yang lemah yang menyalahi (berlawanan) dengan rowi yang
lain yang lebih kuat (kepercayaan). perawi itu tidak memenuhi syarat biasa dikatakan
seorang dhabit. Atau
dengan pengetian hadis yang rawinya lemah dan bertentangan dengan riwayat rawi
tsiqah. Munkar sendiri tidak hanya sebatas pada sanad namun juga bisa terdapat
pada matan.
3.
Dha’if
karena tiada Dhabit
a)
Hadis
Mudraj
Yaitu hadits yang menampilkan
(redaksi) tambahan, padahal itu bukan dari bagian hadits, atau yang dimasuki
sisipan. Sisipan itu bisa terjadi pada sanad, atau matan dan atau keduanya. Sebagai contoh hadis mudraj pada awal matan,
adalah hadis yang diriwayatkan oleh khatib al-baghdadi dalam sanadnya abu
hurairah:
اسبغوا الوضوء ويل للاعقاب من النار
pada hadis tersebut kalimat asbighu wa al-wudhu’a adalah kalimat abu
hurairah sendiri.
b)
Hadis
Maqlub
Yaitu hadits yang terjadi
pemutarbalikan pada matannya atau pada nama rowi dalam sanadnya atau juga
penukaran suatu sanad untuk matan yang lain. Tertukarnya hadits ini, bisa
terjadi pada matannya dan juga bisa terjadi pada sanadnya. Dan hadits ini tidak
dibenarkan dalam periwayatan, karena akan mengakibatkan perubahan maksud juga
makna hadits tersebut.
c)
Hadis
Mudhtharib
Yaitu hadits yang diriwayatkan
dengan bentuk yang berbeda, padahal diriwayatkan oleh satu rowi, dua atau
lebih, atau juga dari dua rowi atau lebih yang berdekatan (dan tidak bisa
ditarjih).
d)
Hadis
Mushahhaf dan Muharraf
Hadits mushahhaf adalah terjadinya
perubahan redaksi hadits dan maknanya. Sedangkan muharraf adalah hadits yang
perbedaannya terjadi karena disebabkan oleh perubahan syakal kata dengan masih
tetapnya bentuk tulisannya.
4.
Dhaif
karena kejanggalan dan Kecacatan.
a)
Hadis
Syadz.
Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh orang yang magbul, tetapi
bertentangan (matannya) kepada periwayatan dari orang lain yang kualitasnya
lebih utama.
b)
Hadis
Mu’allal
Yaitu hadits yang diketahui illatnya setelah dilakukan penelitian
serta penyelidikan, walupun pada lahirnya nampak selamat dari kecacatan.
Ø Dhaif dari Segi Matan
1.
Hadis
Mauquf
2.
Hadis
Maqthu’
B.
Kedudukan Hadis Sahih, Hasan dan Dhaif
1.
Kedudukan
hadis Sahih
Para ulama ahli hadis dan sebagian ulama ahli
ushul serta ahli fiqh sepakat menjadikan hadis sahih sebagai
hujjah yang wajib beramal dengannya. Kesepakatan ini terjadi dalam soal-soal
yang berkaitan dengan penetapan halal dan haramnya sesuatu, tidak dalam hal-hal
yang berhubungan dengan aqidah.
Sebagian besar ulama menetapkan dengan
dalil-dalil qat’i yaitu al-Qur’an dan hadis mutawatir. Oleh karena itu,
hadis ahad tidak dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan persoalan-persoalan
yang berhubungan dengan aqidah. Sedang sebagian ulama lainnya dan ibn Hazm
al-Dhahiri menetapkan bahwa hadis sahih memfaedahkan ilmu qat’i
dan wajib diyakini. Dengan demikian sahih dapat dijadikan hujjah untuk
menetapkan suatu aqidah.[28]
2.
Kedudukan Hadis Hasan
Jumhur ulama mengatakan bahwa kehujjahan hadis
hasan seperti halnya hadis sahih, walaupun derajatnya tidak sama. Bahkan ada
segolongan ulama yang memasukan hadis hasan ini, baik hasan li-dzatih maupun
hasan li-ghairih ke dalam kelompok sahih, seperti Hakim, Ibnu Hibban, Ibnu
Khuzaimah meski tanpa memberikan penjelasan terlebih dahulu. Bahkan para fuqaha
dan ulama banyak yang beramal dengan hadis hasan ini. Sepertinya Al-Khattabi
lebih teliti tentang penerimaan mereka terhadap hadis ini. Makanya Al-Khattabi kemudian
menjelaskan bahwa yang mereka maksud dengan hasan disini (yang diterima sebagai
hujjah) adalah hadis hasan li-dzatihi.
Sedangkan terhadap hadis hasan li-ghairihi jika
kekurangan-kekurangannya dapat diminimalisir atau tertutupi
oleh banyaknya riwayat (riwayat lain)
maka sah-lah berhujjah dengannya. Bila tidak demikian maka tidak sah berhujjah
dengannya.
Kitab-kitab yang yang banyak memuat hadis hasan
ini adalah Sunan Al-Thirmidzi, Sunan Abi Daud dan Sunan Al-Daruquthny.[29]
3. Kedudukan Hadis
Dhaif
Dikalangan Ulama terjadi
perbedaan pendapat tentang kehujjahan hadis dhaif, setidaknya terdapat tiga
pendapat berkenaan dengan dapat tidaknya berhujjah dengan hadis jenis ini.
Pertama : menurut yahya
ibn Ma’in, Abu bakar ibn ‘Arabi, al-Bukhari, Muslim dan Ibn Hazm. Hadis Dhaif
tidak dapat diamalkan secara mutlak baik dalam masalah fadhail al ‘amal maupun
hukum.
Kedua : Abu Dawud dan
Ahmad ibn Hanbal berpendapat bahwa Hadis Dhaif dapat diamalkan secara mutlak.
Menurut keduanya, bagaimanapun hadis dhaif itu lebih kuat dari
pendapat manusia (Qiyas).[30]
Ketiga : Menurut Ibn hajar al- ‘asqalani, hadis
dhaif dapat dijadikan hujjah dalam masalah fadhail al-a’mal, mawa’izh,
al-tarhib wa al-targhib, dan sebagainya jika memenuhi syarat-syarat tertentu. Yaitu :
a) Ke-dhaifannya tidak
terlalu. Tidak tercakup didalamnya seorang pendusta atau yang tertuduh
berdusta, atau terlalu sering melakukan kesalahan.
b) Hadis Dhaif itu masuk
dalam cakupan hadis pokok yang bisa diamalkan.
C. Persyaratan Hadis Dhaif
menjadi Hasan Li Ghairih
Hadis Dhaif bisa naik
derajatnya menjadi hadis Hasan li ghairih bila satu riwayat dengan yang lainnya
sama-sama saling menguatkan. Akan tetapi ketentuan ini tidak bersifat mutlaq,
ketentuan ini berlaku hanya bagi para perawi yang lemah hafalannya, akan tetapi
kemudian ada hadis dhaif lain yang diriwayatkan oleh perawi yang sederajat
pula. Hadis tersebut bias naik derajatnya menjadi hasan. Demikian pula hadis yang
lemah karena irsal dan tadlis salah satu perawinya.
Sementara bila kedhaifan sebuah hadis karena
perawinya disifati fasiq dan tertuduh dusta, maka kedhaifan tadi tidak bias
terangkat.[32]
BAB III
PENUTUPAN
A. Kesimpulan
Dari segi kualitas, hadis dikelompokkan menjadi
hadis maqbul dan hadis mardud. Hadis maqbul yaitu hadis yang telah sempurna
padanya syarat-syarat penerimaan seperti hadis sahih dan hasan, sedangkan hadis
mardud adalah hadis yang ditolak karena hadis tersebut tidak tidak memenuhi syarat-syarat
atau sebagian syaratnya tidak maqbul, contohnya hadis dhaif.
Syarat-syarat Hadis Hasan : Sanadnya bersambung, Perawinya adil, Perawinya dhabith, tetapi kualitas
kedhabitannya di bawah kedhabitan perawi hadis sahih, tidak terdapat
kejanggalan atau syadz, Tidak ber’illat.
Sebab-sebab hadis dhaif
ditolak, yaitu Ada kecacatan pada perawinya baik berupa keadilannya maupun
kedhabitannya, Sanadya tidak bersambung, adanya Syadz dab iilat.
DAFTAR PUSTAKA
Badri kaeruman, Ulum Al-Hadis, (Bandung :
Puataka Setia, 2010)
Hasby as-Shiddieqy, Pokok-pokok
Ilmu Dirayah Hadis,(Jakarta: PT.Bulan Bintang,1987)
Idris, Studi Hadis, (Jakarta : Prenada
Media Group, 2010)
Manna’
Khalil al-Qatthan, “Pengantar ilmu Hadis”, (jakarta: Pustaka al-Kautsar cet.II,
2006)
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta : PT.
Raja Grafindo Persada, 1993)
Muhammad
Ahmad, Drs. M. Mudzakir, Ulumul
Hadits, (Bandung: CV. Pustaka
Setia, 2000)
Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadis, (
Jakarta : Gaung Persada Press, 2008)
[1]
Idris, Studi Hadis, (Jakarta : Prenada Media
Group, 2010), hal. 158
[3]Ibid., hal. 128
18 Ibid.
[18] Taufiq Umar Sayyidi, Manhaj
ad-Dirayah wa Mizan ar-Riwayah (t.d),
h. 5
[20] Ibid., 147
[21] Manna’ Khalil al-Qatthan, “Pengantar
ilmu Hadis” , (jakarta: Pustaka al-Kautsar cet.II, 2006) hal.124
[23] Ibid.
[26] Ibid.
[27] Manna’ Khalil al-Qatthan, “Pengantar Ilmu Hadis”,… hal.
138
[28]
Munzier Suparta, Ilmu Hadis,... hal. 136
[29]
Munzier Suparta, Ilmu Hadis,... hal.148
Tidak ada komentar:
Posting Komentar