Minggu, 09 Agustus 2015

Makalah "Hadits Ahad Ditinjau Dari Segi Kualitasnya"

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Membicarakan tentang pembagian hadis dari segi kualitasnya ini tidak dapat dipisahkan dari pembagian hadis menurut kuantitasnya. Sebagaimana dipahami bahwa dari segi kuantitas, hadis dapat dibedakan menjadi hadis mutawatir dan hadis ahad.
Untuk yang disebut pertama memberikan pengertian bahwa hadis itu diterima secara yaqin bi-al-qat’i, yaitu Nabi Muhammad saw. Memang benar-benar bersabda, berbuat, atau menyatakan dihadapan para sahabat, berdasarkan sumber-sumber yang banyak dan mustahil mereka bersama-sama sepakat untuk berbuat dusta. Oleh karena kebenaran sumber-sumbernya telah menyakinkan, maka ia harus diterima dan diamalkan dengan tanpa mengadakan penelitian, baik terhadap sanad maupun matannya.
Sedangkan tipe hadis yang disebut kedua, hanya memberikan faedah zanny, (prasangka) dan karenanya harus diadakan penyelidikan lebih lanjut, baik yang berhubungan dengan sanad maupun matannya, sehingga status hadis tersebut menjadi jelas “apakah diterima sebagai hujjah atau ditolak”.
Atas dasar inilah, kemudian para ulama hadis membagi hadis secara kualitas, menjadi dua bagian, yaitu hadis maqbul dan  hadis mardud. Yang dimaksud dengan hadis maqbul adalah “ hadis yang telah memenuhi syarat-syarat penerimaan (qabul) yaitu apabila sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh rawi yang adil dhabith, dan matannya tidak syaz dan tidak ber’ilat. Hadis maqbul dapat dimaksud dengan hadis shahih dan hasan. Sedangkan yang dimaksud dengan hadis mardud adalah hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat hadis maqbul, baik yang berhubungan dengan sanad maupun matan. Hadis mardud ini juga disebut dengan hadis dhaif.


B.     Rumusan Masalah
Adapun Rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1.      Apa pengertian Hadis Sahih, hasan, dan dhaif serta bagaimana cara penetapannya?
2.      Bagaimana kedududkan hadis sahih, hasan dan dhaif ?
3.      Apa saja persyaratan hadis dhaif menjadi hasan li ghairih ?



BAB II

A.       Hadis Sahih, Hasan dan Dhaif Serta Cara Penetapannya
Dari segi kualitasnya para Ulama ilmu hadis membagi hadis dalam dua golongan yaitu hadis ditinjau dari segi kuantitasnya dan dari segi kualitasnya.  Dari segi kualitas, hadis dikelompokkan menjadi hadis maqbul dan hadis mardud. Hadis maqbul yaitu hadis yang telah sempurna padanya syarat-syarat penerimaan seperti hadis sahih dan hasan, sedangkan hadis mardud adalah hadis yang ditolak karena hadis tersebut tidak tidak memenuhi syarat-syarat atau sebagian syaratnya tidak maqbul, contohnya hadis dhaif.

1.      Hadis Sahih
Kata sahih secara bahasa berrti sehat, selamat, benar, sah dan sempurna. Para Ulama biasa menyebut kata sahih itu sebagai lawan dari kata saqim (sakit). Maka, hadis sahih secara bahasa adalah hadis yang sehat, selamat, benar, sah, dan sempurna, dan tidak sakit. Secara terminologi, hadis sahih adalah hadis yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh periwayat yang ‘Adil dan Dhabit hingga bersambung kepada Rasulullah atau pada sanad terakhir berasal dari kalangan sahabat tanpa mengandung syadz (kejanggalan) ataupun ‘illat (cacat).[1]
pengertian hadis sahih secara definitive eksplisit belum dinyatakan oleh ahli hadis dari kalangan al-muttaqaddimin (sampai abad III H). mereka pada umumnya hanya memberikan penjelasan mengenai kriteria penerimaan hadis yang dapat dipegangi. Di antara pernyataan-pernyataan mereka adalah, tidak diterima periwayatan suatu hadis kecuali yang bersumber dari orang-orang yang tsiqqah, tidak diterima periwayatan suatu hadis yang bersumber dari orang-orang yang tidak dikenal memiliki pengetahuan hadis, dusta, mengkuti hawa nafsu, orang-orang yang ditolak kesaksiannya”.[2]
Bukhari dan Muslim, sebagai tokoh ahli hadis dan hadis-hadis yang diriwayatkannya sebagai hadis yang sahih, ternyata juga belum membuat definisi sahih secara tegas. Namun setelah para ulama mengadakan penelitian mengenai cara-cara dijadikan hujjah, diperoleh suatu gambaran mengenai kriteria sahih menurut keduanya. kriteria-kriteria dimaksud adalah: rangkaian perawinya dalam sanad itu harus sampai perawi terakhir, para perawinya harus terdiri dari orang-orang yang dikenal tsiqqat, dalam arti ‘adil dan dhabit,  hadisnya terhindar dari ‘illat (cacat) dan syadz (janggal), dan para perawinya yang terdekat dalam sanad harus sezama. Hanya saja antara keduanya terjadi perbedaan pendapat mengenai persambungan sanad. Menurut Bukhari, sanad hadis dikatakan bersambung apabila antara perawi yang terdekat itu pernah bertemu, sekalipun hanya satu kali. Jadi tidak cukup hanya sezaman (al-mu’asharah). Sedangkan menurut muslim, apabila antara perawi yang terdekat hidup sezaman sudah dikategorikan bersambung.[3]
Ibnu Al-Shalah (w. 643 H) memberikan pengertian hadis sahih sebagai berikut :
الحديث الصحيح هو الحديث المسند الذي يتصل إسناده بنقل العدل الضابط عن العدل الضابط إلى منتهاه ولا يكون شاذا ولا معللا.
“ Hadis sahih yaitu musnad yang bersambung sanadnya dengan periwanyatan oleh oaring yang adil-dhabith dari orang yang adil lagi dhabith juga hingga akhir sanad, serta tidak ada yang kejanggalan dan cacat”.[4]
Definisi yang lebih ringkas dinyatakan oleh Al-Suyuthi :
ما إتصل سنده بالعدول الضابطين من غير شذوذ ولا علة
“Hadis yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi dhabith, tidak syaz dan tidak ber’illat”.[5]

a.      Syarat-syarat Hadis Sahih
Dari beberapa definisi tentang hadis sahih sebagaimana tersebut di atas, dapat dinyatakan bahwa syarat-syarat hadis sahih adalah :
1.       Sanadnya Bersambung
Maksudnya adalah bahwa tiap-tiap perawi dalam sanad hadis menerima riwayat hadis dari perawi terdekat sebelumnya, keadaaan itu berlangsung demikian sampai akhir sanad dari hadis itu.[6] Artinya, seluruh rangkaian para perawi hadis, sejak perawi terakhir sampai kepada para sahabat yang menerima hadis langsung dari Nabi SAW, bersambung dalam periwayatan.
Untuk mengetahui bersambung dan tidaknya suatu sanad, biasanya ulama hadis menempuh tata kerja penelitian sebagai berikut :
-          Mencatat semua nama periwayat dalam sanad yang diteliti
-          Mempelajari sejarah hidup masing-masing periwayat.
-          Meneliti kata-kata yang berhubungan antara para periwayat dengan periwayat yang terdekat dalam sanad, yakni apakah kata-kata yang terpakai berupa haddasani, haddasana, akhbarana, ‘an, anna atau kata-kata lainnya. [7]

2.      Perawinya Bersifat Adil
Kata ‘adil menurut bahasa berarti lurus, tidak berat sebelah, tidak dzalim, tidak menyimpang, tulus dan jujur. Para Ulama berbeda pendapat tentang kriteria periwayat hadis disebut Adil, Al-hakim berpendapat bahwa seorang disebut ‘Adil apabila beragama Islam, tidak berbuat bid’ah dan tidak berbuat maksiat. Dengan demikian, perawi yang adil adalah perawi yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
-          Senantiasa melaksanakan segala perintah agama dan meninggalkan semua larangannya.
-          Senantiasa menjauhi semua dosa-dosa kecil.
-          Senantiasa memelihara ucapan dan perbuatan yang dapat menodai marwah, yakni suatu sikap ke hati-hatian dari melakukan perbuatan yang sia-sia atau perbuatan dosa.[8]
Sifat-sifat adil para perawi sebagaimana dimaksud sudah dapat diketahui melalui :
-          Popularitas perawi dikalangan ulama ahi hadis; perawi yang terkenal keutamaan pribadinya.
-           Penilaian dari para kritikus perawi hadis tentang kelebihan dan kekurangan yang ada pada diri perawi.
-          Penerapan kaidah al-jarh wa al-ta’dil, bila tidak ada kesepakatan di antara para kritikus perawi hadis mengenai kualitas pribadi para perawi tertentu.[9]

3.      Perawinya Bersifat Dhabith
Secara bahasa, dhabith berarti, “ yang kokoh, yang kuat, yang tepat, yang hafal dengan sempurna”. Sedangkan secara istilah, dhabith dimaknai sebagai orang yang kuat hafalannya tentang apa yang telah didengarnya dan mampu menyampaikan hafalannya itu kapan saja bila menghendaki.[10]
Dengan demikian, dhabith dapat dibedakan menjadi dua kategori, yaitu dhabith shadran dan dhabith kitaban. Dhabith shadran ialah terpeliharanya periwanyatan dalam ingatan, sejak ia menerima hadis sampai meriwayatkannya kepada orang lain. Sedangkan dhabith kitaban ialah terpeliharanya kebenaran suatu periwayatan melalui tulisan.[11]
Orang dikatakan dhabith, bukan berarti ia terhindar sama sekali dari kekeliruan atau kesalahan. Sebagai manusia, kemungkinan berbuat salah dan keliru sangatlah wajar. Namun, kekeliruan ini tidak terjadi berulang kali. Oleh karenanya, yang demikian itu tidak dianggap sebagai orang yang kurang kuat ingatannya.[12]

4.      Tidak Syadz (Janggal)
Maksud dari syadz di sini adalah suatu hadis yang bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh perawi lain yang lebih kuat atau lebih tsiqah. Berdasarkan pengertian ini, maka dapat dipahami bahwa hadis yang tidak syadz adalah hadis yang matannya tidak bertentangan dengan hadis lain yang lebih kuat atau lebih tsiqah.[13]

5.      Tidak berillat (Gair Mu’allal)
Secara etimologis, term ‘illat (jamaknya ‘ilal atau al-‘ilal) berarti cacat, kesalahan baca, penyakit dan keburukan. Dengan makna ini, maka disebut hadis ber’illat adalah hadis-hadis yang ada cacat atau penyakitnya. Sedangkan secara terminologis, ‘illat berarti sebab yang tersembunyi yang  merusakkan kualitas hadis. Keberadaannya menyebabkan hadis yang pada lahirnya tampak berkualitas sahih menjadi tidak sahih. Dengan demikian, maka yang dimaksud hadis yang tidak ber’illat, adalah hadis-hadis yang didalamnya tidak terdapat kecacatan, kesamaran atau keragu-raguan.[14]

b.      Pembagian  dan Contoh Hadis Shahih
Para ulama ahli hadis membagi hadis sahih kepada dua bagian, yaitu sahih li dhatihi dan sahih li gharihihi. Perbedaan keduanya terletak pada segi hafalan atau ingatan perawinya. Pada sahih li dzatihi, ingatan perawinya sempurna, sedang pada hadis sahih li ghairihi, ingatan perawinya kurang sempurna.
1.      Hadis Sahih li Dzatihi
Hadis sahih li dzatihi, ialah hadis yang dirinya sendiri telah memenuhi kriteria kesahihan sebagaimana disebutkan, dan tidak memerlukan penguat dari yang lainnya. Ini berarti bahwa hadis sahih  li dzatihi, adalah hadis sebagaimana dimaksudkan dalam pengertian sahih di atas.
Contoh :
لولا أن أشق على أمتى أو على الناس لأمرتهم باسواك مع كل صلاة (رواه البخارى)
“Andaikan tidak memberatkan pada umatku, niscaya akan kuperintahkan bersiwak pada setiap kali hendak melaksanakan salat.”(HR. Bukhori).
Hadis ini diriwayatkan melalui jalur Al-A’raj dari Abu Hurairah.[15]

2.      Hadis Sahih li Ghairihi,
Hadis sahih li ghairihi, adalah hadis yang kesahihannya dibantu oleh adanya hadis lain. Pada mulanya hadis katagori ini memiliki kelemahan berupa periwayatan yang kurang dhabit, sehingga dinilai tidak memenuhi syarat untuk dikatagorikan sebagai hadis sahih. Tetapi setelah diketahui ada hadis lain dengen kandungan matan yang sama dan berkualitas sahih, maka hadis tersebut naik derajatnya menjadi sahih. Dengan kata lain, hadis sahih li ghairihi pada asalnya adalah hadis hasan yang karena ada hadis sahih dengan matan yang sama, maka hadis hasan tersebut naik menjadi hadis sahih.[16]
Berikut contoh hadis shahih li ghairihi yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi :
حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ ، حَدَّثَنَا عَبْدَةُ بْنُ سُلَيْمَانَ ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَوْلا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلاة.  ٍ
      Hadis tersebut dinilai oleh muhaddisin sebagai hadis shahih li ghairihi sebagaimana dijelaskan diatas. Pada sanad hadis tersebut, terdapat Muhammad bin ‘Amr yang dikenal orang jujur, akan tetapi kedhabitannya kurang sempurna, sehingga hadis riwayatnya hanya sampai ke tingkat hasan. Namun keshahihan hadis tersebut didukung oleh adanya hadis lain, yang lebih tinggi derajatnya sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari A’raj dari Abu Hurairah (pada contoh hadis shahih li dzatihi).

2.      Hadis Hasan
Menurut bahasa hasan artinya sesuatu yang disenang dan disenangi oleh nafsu. Menurut istilah, para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikannya. Perbedaan pendapat ini terjadi disebabkan di antara mereka ada yang menggolongkan hadis hasan sebagai hadis yang menduduki posisi di antara hadis shahih dan hadis dha’if. Tetapi ada juga yang memasukkannya sebagai bagian dari hadis dha’if  yang dapat dijadikan hujjah. Menurut sejarah yang mula-mula memunculkan istilah hasan bagi suatu jenis hadis yang berdiri sendiri adalah Abu ‘Isa al-turmudzi. Sebelum Al-Turmudzi istilah hadis hasan belum pernah dikenal. Al-Turmudzi sangat sering menyebutkan istilah hasan dalam kitab Sunan-nya, sehingga ulama hadis menganggap Kitab al-Sunan sebagai sumber utama dalam mengetahui hadis hasan.[17]
Adapun pengertian lain dari para ulama-ulama tentang hadis hasan ini, antara lain:
a)      At-Turmudzi mendefinisikan hadis hasan sebagai “Tiap-tiap hadis yang pada sanadnya tidak terdapat perawi yang tertuduh dusta. (pada matannya) tidak ada kejanggalan (syadz) dan hadis tersebut di riwayatkan pula melalui jalan lain.
b)      Ibnu Hajar mendefinisikan hadis hasan sebagai “Khabar ahad yang di nukilkan melalui perawi yang adil, sempurna ingatannya,khabar ahad yang di nukilkan melalui perawi yang adil, sempurna ingatannya, bersambung sanadnya dengan tanpa berilat dan syadz di sebut hadis shahih, namun bila kekuatan ingatannya kurang kokoh (sempurna) disebut hasan li dzatih.”
c)      Ath-Thibi mengemukakan definisi hadis hasan sebagai “Hadis musnad (muttashil dan marfu’) yang sanad-sanadnya mendekati derajat tsiqah atau hadis mursal yang (sanadnya) tsiqah , akan tetapi pada keduanya ada perawi lain: Hadis itu terhindar dari syudzudz dan illat).
d)     Ibnu Hajar al- Asqalani mendefinisikan hadis hasan sebagai “Hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, kurang kuat hafalannya, bersambung sanadnya, tidak mengandung illat dan tidak syadz.”

Jadi dari definisi-definsi di atas, dapat dikatakan bahwa hadis hasan hampir sama dengan hadis sahih, hanya saja terdapat perbedaan dalam soal ingatan perawi. Pada hadis sahih, ingatan atau daya hafalannya sempurna, sedangkan hadis hasan kurang sempurna.
Contoh hadis hasan:
حَدَّثَنَا عَفَّانُ ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ ، قَالَ أَنْبَأَنِي سَعْدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ ، عَنْ مَعْبَدٍ الْجُهَنِيِّ ، قَالَ : كَانَ مُعَاوِيَةُ قَلَّمَا يُحَدِّثُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا وَيَقُولُ هَؤُلاءِ الْكَلِمَاتِ قَلَّمَا يَدَعُهُنَّ ، أَوْ يُحَدِّثُ بِهِنَّ فِي الْجُمَعِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهُّ فِي الدِّينِ ، وَإِنَّ هَذَا الْمَال حُلْوٌ خَضِرٌ فَمَنْ يَأْخُذْهُ بِحَقِّهِ يُبَارَكْ لَهُ فِيهِ ، وَإِيَّاكُمْ وَالتَّمَادُحَ فَإِنَّهُ الذَّبْحُ.(رواه أحمد)

      Hadis tersebut diatas bersambung sanadnya dan semua perawinya termasuk orang-orang terpercaya kecuali Ma’bad al-Juhany menurut     adz-Zahaby, Ma’bad termasuk orang yang kurang ke-‘adilan-nya.[18]


a.       Syarat-syarat Hadis Hasan
Secara rinci syarat-syarat hadis hasan sebagai berikut:
-           Sanadnya bersambung.
-          Perawinya adil.
-           Perawinya dhabith, tetapi kualitas kedhabitannya di bawah kedhabitan perawi hadis sahih.
-          Tidak terdapat kejanggalan atau syadz.
-          Tidak ber’illat.

b.      Pembagian dan Contoh Hadis Hasan
1.      Hasan Li Dzatihi
Yang dimaksud dengan hadis Hasan Li Dzatihi ialah hadis yang sanadnya bersambung dengan periwayatan yang adil, dhabit meskipun tidak sempurna, dari awal sanad hingga akhir sanad tanpa ada keganjilan (syadz) dan cacat (‘illat) yang merusak.[19]

2.      Hasan Li Ghairihi
Secara singkat, hasan li ghairihi itu terjadi dari hadis dha’if jika banyak periwayatannya, sementara para perawinya tidak di ketahui keahliannya dalam meriwayatkan hadis. Akan tetapi mereka tidak sampai kepada derajat fasik atau tertuduh suka berbohong atau sifat-sifat jelek lainnya. Begitulah para ulama memberikan batasan hadis jenis ini, termasuk Ibnu Al-Shalah.[20]
Jadi, sistem periwayatannya terutama syarat-syarat kesahihannya banyak yang tidak terpenuhi, akan tetapi para perawinya dikenal sebagai orang yang tidak banyak berbuat kesalahan atau banyak berbuat dosa. Dan periwayatan hadis tersebut banyak riwayat, baik dengan redaksi yang serupa (mitslahu) maupun mirip (nahwahu).



Contoh hadis shahih li ghairihi:
حَدَّثَنَا شُعْبَةُ ، عَنْ عَاصِمِ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ ، قَال سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَامِرِ بْنِ رَبِيعَةَ ، عَنْ أَبِيهِ : أَنَّ امْرَأَةً مِنْ بَنِي فَزَارَةَ تَزَوَّجَتْ عَلَى نَعْلَيْنِ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :" أَرَضِيتِ مِنْ نَفْسِكِ وَمَالِكِ بِنَعْلَيْنِ ؟" قَالَتْ : نَعَمْ . قَالَ : فَأَجَازَهُ .(رواه الترمذي)                                 

Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dari jalur Syu’bah dari ‘ashim bin ‘Ubaidillah,dari Abdillah bin Amir bin Rabi’ah, dari ayahnya bahwasanya seorang wanita dari bani Fazarah menikah dengan mahar sepasang sandal.
Kemudian at-Tirmidzi berkata,”pada bab ini juga diriwayatkan (hadis yang sama) dari ‘Umar, Abi Hurairah,Aisyah dan Abi Hadrad.”Jalur ‘Ashim didha’ifkan karena buruk hafalannya, kemudian hadis ini dihasankan oleh at-Tirmidzy melalui jalur riwayat yang lain.[21]

3.      Hadis Dhaif
Secara etimologis, dhaif  berarti lemah, lawan dari kuat. Maka yang dimaksud dengan hadis dha’if adalah hadis yang lemah atau hadis yang tidak kuat.[22]
Secara terminologis, para ulama berbeda pendapat, menurut Imam al-Nawawi hadis dha’if adalah “hadis yang didalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadis shahih dan syarat-syarat hadis hasan. Menurut Nur al-Din ‘Itr, merumuskan hadis dha’if sebagai “Hadis yang hilang salah satu syaratnya dari syarat-syarat hadis maqbul.[23]
Adapun kriteria Hadis dhaif adalah : Sanadnya terputus, periwayatnya tidak adil, periwayatnya tidak dhabit, mengandung syadz, dan mengandung illat.[24]

a.      Sebab-sebab hadis dhaif ditolak, dilihat dari dua jurusan:
1.       Sanad Hadis.
Dari sisi sanad Hadis ini diperinci ke dalam dua bagian:
1)      Ada kecacatan pada perawinya baik berupa keadilannya maupun kedhabitannya, ada 10 macam:
a)      Dusta
b)       Tertuduh dusta
c)      Fasiq
d)     Banyak salah
e)      Lengah dalam menghafal
f)       Banyak wahamnya
g)       Menyalahi riwayat yang lebih tsiqqah atau dipercaya
h)      Tdak diketahui identitasnya
i)        Penganut bidah
j)        Tidak baik hafalannya[25]

2)      Sanadya tidak bersambung
a)      Gugur pada sanadnya
b)      Gugur pada sanad terakhir (sahabat)
c)      Gugur dua  orang rawi atau lebih secara berurutan
d)     Rawinya yang digugurkan tidak berturut-turut.
2.      Matan Hadis
a)      Hadis Mauquf
b)      Hadis Maqthu’[26]

b.      Macam-macam Hadis Dhaif
Ø  Dhaif dari segi sanad
1.      Dhaif karena tidak bersambungnya sanad
a)      Hadis Munqathi’
Hadis yang gugur sanadnya dari satu tempat atau lebih, atau pada sanadnya disebutkan nama orang yang tidak dikenal namanya.
Contoh hadits ini adalah;
ما رواه عبد الرزاق عن الثورى عن أبى إسحاق عن زيد بن يثيع عن حذيفه مرفوعا إن وليتموها أبا بكر فقوى أمين

Riwayat yang sebenarnya adalah Abdul Razak meriwayatkan hadis dari Nukman bin Abi Saybah al-Jundi bukan dari Syauri. Sedangkan Syauri tidak meriwayatkan hadis dari Abi Ishak, akan tetapi ia meriwayatkan hadits dari Zaid. Dari riwayat yang sesungguhnya kita dapat mengetahui bahwa hadits di atas adalah termasuk hadis yang munqthi’.[27]

b)      Hadis Mu’allaq
Hadis yang rawinya digugurkan seorang atau lebih diawal sanadnya secara berturut-turut. Sebagai contoh, Bukhari meriwayatkan Hadis dari Bahz ibn Hakim dari bapaknya dan daru kakeknya. Nabi bersabda :
الله احق أن يستحي من الناس
Artinya : “Allah itu lebih berhak dijadikan tempat mengadu malu daripada manusia”.
Hadis diatas dalam sanad Abu daud ialah ia menerima dari Abdullah ibn Maslamah, dari Ubay, dari Bahz ibn Hakim dan seterusnya, ini berarti imam bukhari dalam kitab sahihnya mentaqlidkan kira-kira dua orang perawi.


c)      Hadis Mursal
Sebuah hadis disebut mursal apabila diriwayatkan oleh tabi’in langsung dari Nabi, atau hadis yang disandarkan langsung oleh tabi’in kepada Nabi baik perkataan, perbuatan, maupun taqrir, tanpa menyebut sahabat.
Contoh hadits ini adalah:
قال مالك عن جعفر بن محمد عن أبيه أن رسول الله قضى باليمن والشاهد
Disini Muhammad bin Ali Zainul Abidin tidak menyebutkan sahabat yang menjadi perantara antara nabi dan bapaknya.

d)     Hadis Mu’dhal
Hadis yang gugur dua orang sanadnya secara berturut-turut. Contohnya imam malik berkata dalam kitab al-muwatha’. “telah menyampaikan kepadaku Abu Hurairah bahwa rasulullah Saw bersabda :
للمملوك طعامه و كسوته
“bagi Budak itu ada hak makanan dan minuman”.
Hadis seperti ini disebut mu’dal karena tidak mungkin imam malik menerima hadis dari abu hurairah.

e)      Hadis Mudallas
Hadis yang diriwayatkan menurut cara yang diperkirakan, bahwa hadis itu tiada bernoda.
Pada hadis mudallas ini rawi yang menggugurkan pertama bertemu dengan rawi yang digugurkan. Pengguguran itu dimaksudkan agar aib atau kelemahan suatu hadis dapat tertutupi.

2.      Dhaif karena tiadanya syarat adil
a)      Hadis Al-Maudhu’
Hadits maudhu’ adalah hadits yang dibuat-buat. Para ulama memberikan batasan, hadits maudhu’ adalah hadits yang bukan dari hadits Rasulullah SAW. Tetapi disandarkan oleh seseorang secara dusta dan sengaja kepada Rasulullah.
Contohnya adalah hadis tentang keutamaan bulan rajab yang diriwayatkan Ziyad ibn Maimun dari shabat Anas r.a:
قيل يارسول الله لم سمي رجب قال لأنه يترجب فيه خير كثبر
Menurut Abu Dawud dan Yazid ibn Burhan, Ziyad ibn Maimun adalah seorang pembohong dan pembuat hadis palsu.

b)      Hadis matruk
Hadits matruk adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang yang tertuduh pernah berdusta (baik itu berkenaan dengan hadits atau masalah yang lain) atau tertuduh pernah berbuat maksiat, atau lalai, atau banyak ragu.
      Contoh hadis ini adalah hadis tentang qadha' al hajat yang diriwayatkan oleh Ibn Abi Dunya dari Juwaibir ibn Sa'id al Asdi dari dhahak dari Ibn 'Abbas.
قال النبي عليكم باصطناع المعروف فانه يمنع مصارع السوء ... الخ
Menurut an Nasa'i dan Daruqutni, Juwaibir adalah orang yang tidak dianggap hadisnya.

c)      Hadis Munkar
Hadits mungkar adalah hadits yang diriwayatkan oleh rowi yang lemah yang menyalahi (berlawanan) dengan rowi yang lain yang lebih kuat (kepercayaan). perawi itu tidak memenuhi syarat biasa dikatakan seorang dhabit. Atau dengan pengetian hadis yang rawinya lemah dan bertentangan dengan riwayat rawi tsiqah. Munkar sendiri tidak hanya sebatas pada sanad namun juga bisa terdapat pada matan.

3.      Dha’if karena tiada Dhabit
a)      Hadis Mudraj
Yaitu hadits yang menampilkan (redaksi) tambahan, padahal itu bukan dari bagian hadits, atau yang dimasuki sisipan. Sisipan itu bisa terjadi pada sanad, atau matan dan atau keduanya. Sebagai contoh hadis mudraj pada awal matan, adalah hadis yang diriwayatkan oleh khatib al-baghdadi dalam sanadnya abu hurairah:
اسبغوا الوضوء ويل للاعقاب من النار
pada hadis tersebut kalimat asbighu wa al-wudhu’a adalah kalimat abu hurairah sendiri.

b)      Hadis Maqlub
Yaitu hadits yang terjadi pemutarbalikan pada matannya atau pada nama rowi dalam sanadnya atau juga penukaran suatu sanad untuk matan yang lain. Tertukarnya hadits ini, bisa terjadi pada matannya dan juga bisa terjadi pada sanadnya. Dan hadits ini tidak dibenarkan dalam periwayatan, karena akan mengakibatkan perubahan maksud juga makna hadits tersebut.

c)      Hadis Mudhtharib
Yaitu hadits yang diriwayatkan dengan bentuk yang berbeda, padahal diriwayatkan oleh satu rowi, dua atau lebih, atau juga dari dua rowi atau lebih yang berdekatan (dan tidak bisa ditarjih).

d)     Hadis Mushahhaf dan Muharraf
Hadits mushahhaf adalah terjadinya perubahan redaksi hadits dan maknanya. Sedangkan muharraf adalah hadits yang perbedaannya terjadi karena disebabkan oleh perubahan syakal kata dengan masih tetapnya bentuk tulisannya.

4.      Dhaif karena kejanggalan dan Kecacatan.
a)      Hadis Syadz.
Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh orang yang magbul, tetapi bertentangan (matannya) kepada periwayatan dari orang lain yang kualitasnya lebih utama.

b)      Hadis Mu’allal
Yaitu hadits yang diketahui illatnya setelah dilakukan penelitian serta penyelidikan, walupun pada lahirnya nampak selamat dari kecacatan.

Ø  Dhaif dari Segi Matan
1.      Hadis Mauquf
2.      Hadis Maqthu’

B.     Kedudukan Hadis Sahih, Hasan dan Dhaif
1.      Kedudukan hadis Sahih
Para ulama ahli hadis dan sebagian ulama ahli ushul serta ahli fiqh sepakat menjadikan hadis sahih sebagai hujjah yang wajib beramal dengannya. Kesepakatan ini terjadi dalam soal-soal yang berkaitan dengan penetapan halal dan haramnya sesuatu, tidak dalam hal-hal yang berhubungan dengan aqidah.
Sebagian besar ulama menetapkan dengan dalil-dalil qat’i yaitu al-Qur’an dan hadis mutawatir. Oleh karena itu, hadis ahad tidak dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan persoalan-persoalan yang berhubungan dengan aqidah. Sedang sebagian ulama lainnya dan ibn Hazm al-Dhahiri menetapkan bahwa hadis sahih memfaedahkan ilmu qat’i dan wajib diyakini. Dengan demikian sahih dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan suatu aqidah.[28]

2.       Kedudukan Hadis Hasan
Jumhur ulama mengatakan bahwa kehujjahan hadis hasan seperti halnya hadis sahih, walaupun derajatnya tidak sama. Bahkan ada segolongan ulama yang memasukan hadis hasan ini, baik hasan li-dzatih maupun hasan li-ghairih ke dalam kelompok sahih, seperti Hakim, Ibnu Hibban, Ibnu Khuzaimah meski tanpa memberikan penjelasan terlebih dahulu. Bahkan para fuqaha dan ulama banyak yang beramal dengan hadis hasan ini. Sepertinya Al-Khattabi lebih teliti tentang penerimaan mereka terhadap hadis ini. Makanya Al-Khattabi kemudian menjelaskan bahwa yang mereka maksud dengan hasan disini (yang diterima sebagai hujjah) adalah hadis hasan li-dzatihi.
Sedangkan terhadap hadis hasan li-ghairihi jika kekurangan-kekurangannya dapat diminimalisir atau tertutupi oleh banyaknya riwayat (riwayat lain) maka sah-lah berhujjah dengannya. Bila tidak demikian maka tidak sah berhujjah dengannya.
Kitab-kitab yang yang banyak memuat hadis hasan ini adalah Sunan Al-Thirmidzi, Sunan Abi Daud dan Sunan Al-Daruquthny.[29]

3.      Kedudukan Hadis Dhaif
Dikalangan Ulama terjadi perbedaan pendapat tentang kehujjahan hadis dhaif, setidaknya terdapat tiga pendapat berkenaan dengan dapat tidaknya berhujjah dengan hadis jenis ini.
Pertama : menurut yahya ibn Ma’in, Abu bakar ibn ‘Arabi, al-Bukhari, Muslim dan Ibn Hazm. Hadis Dhaif tidak dapat diamalkan secara mutlak baik dalam masalah fadhail al ‘amal maupun hukum.
Kedua : Abu Dawud dan Ahmad ibn Hanbal berpendapat bahwa Hadis Dhaif dapat diamalkan secara mutlak. Menurut keduanya, bagaimanapun hadis dhaif itu lebih kuat dari pendapat manusia (Qiyas).[30]
Ketiga : Menurut Ibn hajar al- ‘asqalani, hadis dhaif dapat dijadikan hujjah dalam masalah fadhail al-a’mal, mawa’izh, al-tarhib wa al-targhib, dan sebagainya jika memenuhi syarat-syarat tertentu. Yaitu :
a)      Ke-dhaifannya tidak terlalu. Tidak tercakup didalamnya seorang pendusta atau yang tertuduh berdusta, atau terlalu sering melakukan kesalahan.
b)      Hadis Dhaif itu masuk dalam cakupan hadis pokok yang bisa diamalkan.
c)      Ketika mengamalkannya tidak meyakini bahwa ia berstatus kuat, tetapi sekedar berhati-hati.[31]

C.    Persyaratan Hadis Dhaif menjadi Hasan Li Ghairih
Hadis Dhaif bisa naik derajatnya menjadi hadis Hasan li ghairih bila satu riwayat dengan yang lainnya sama-sama saling menguatkan. Akan tetapi ketentuan ini tidak bersifat mutlaq, ketentuan ini berlaku hanya bagi para perawi yang lemah hafalannya, akan tetapi kemudian ada hadis dhaif lain yang diriwayatkan oleh perawi yang sederajat pula. Hadis tersebut bias naik derajatnya menjadi hasan. Demikian pula hadis yang lemah karena irsal dan tadlis salah satu perawinya.
Sementara bila kedhaifan sebuah hadis karena perawinya disifati fasiq dan tertuduh dusta, maka kedhaifan tadi tidak bias terangkat.[32]





BAB III
PENUTUPAN

A.    Kesimpulan
Dari segi kualitas, hadis dikelompokkan menjadi hadis maqbul dan hadis mardud. Hadis maqbul yaitu hadis yang telah sempurna padanya syarat-syarat penerimaan seperti hadis sahih dan hasan, sedangkan hadis mardud adalah hadis yang ditolak karena hadis tersebut tidak tidak memenuhi syarat-syarat atau sebagian syaratnya tidak maqbul, contohnya hadis dhaif.
Syarat-syarat Hadis Hasan : Sanadnya bersambung, Perawinya adil, Perawinya dhabith, tetapi kualitas kedhabitannya di bawah kedhabitan perawi hadis sahih, tidak terdapat kejanggalan atau syadz, Tidak ber’illat.
Sebab-sebab hadis dhaif ditolak, yaitu Ada kecacatan pada perawinya baik berupa keadilannya maupun kedhabitannya, Sanadya tidak bersambung, adanya Syadz dab iilat.




DAFTAR PUSTAKA

Badri kaeruman, Ulum Al-Hadis, (Bandung : Puataka Setia, 2010)
Hasby as-Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis,(Jakarta: PT.Bulan Bintang,1987)
Idris, Studi Hadis, (Jakarta : Prenada Media Group, 2010)
Manna’ Khalil al-Qatthan, “Pengantar ilmu Hadis”, (jakarta: Pustaka al-Kautsar cet.II, 2006)
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1993)
Muhammad Ahmad, Drs. M. Mudzakir, Ulumul Hadits, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000)
Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadis, ( Jakarta : Gaung Persada Press, 2008)


[1] Idris, Studi Hadis, (Jakarta : Prenada Media Group, 2010), hal. 158
[2] Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1993), Hal. 126
[3]Ibid., hal. 128
[4] Idris, Studi Hadis,... hal. 158
[5] Idris, Studi Hadis,... hal. 158
[6] Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadis, ( Jakarta : Gaung Persada Press, 2008), hal. 96
[7] Idris, Studi Hadis,... hal. 161
[8] Munzier Suparta, Ilmu Hadis,... hal. 131
[9] Ibid.
[10]M.  Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadis,... hal. 97
[11] Munzier Suparta, Ilmu Hadis,... hal. 133
[12] Ibid.
[13] Ibid.
[14] M.  Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadis,... hal. 98
[15] Munzier Suparta, Ilmu Hadis,... hal. 134
[16] Idris, Studi Hadis,... hal. 173
[17] M.  Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadis,... hal. 102
18 Ibid.
[18] Taufiq Umar Sayyidi, Manhaj ad-Dirayah wa Mizan ar-Riwayah (t.d), h. 5
[19] Munzier Suparta, Ilmu Hadis,... hal. 145
[20] Ibid., 147
[21] Manna’ Khalil al-Qatthan, “Pengantar ilmu Hadis” , (jakarta: Pustaka al-Kautsar cet.II, 2006) hal.124
[22] Munzier Suparta, Ilmu Hadis,... hal. 150
[23] Ibid.
[24] Idris, Studi Hadis,... hal. 179
[25] Munzier Suparta, Ilmu Hadis,... hal. 151
[26] Ibid.
[27] Manna’ Khalil al-Qatthan, “Pengantar Ilmu Hadis”,… hal. 138
[28] Munzier Suparta, Ilmu Hadis,... hal. 136
[29] Munzier Suparta, Ilmu Hadis,... hal.148
[30] Idris, Studi Hadis,... hal. 244
[31] M.  Noor Sulaiman PL,  Antologi Ilmu Hadis,... hal. 113
[32] Munzier Suparta, Ilmu Hadis,... hal.172

Tidak ada komentar:

Posting Komentar