Sabtu, 15 Agustus 2015

Filsafat Pendidikan Kontemporer (Konservatif, Liberal, Kritisme)


BAB IPENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Dalam sejarah perkembangan filsafat sejak zaman pra-Yunani kuno hingga abad XX sekarang ini, telah banyak aliran filsafat bermunculan. Setiap aliran filsafat memiliki kekhasan masing-masing sesuai dengan metode yang dijalankan dalam rangka memperoleh kebenaran.
Filsafat zaman modern berfokus pada manusia, bukan kosmos (seperti pada zaman kuno), atau Tuhan (pada abad pertengahan). Dalam zaman modern ada periode yang disebut Renaissance (kelahiran kembali). Kebudayaan klasik warisan Yunani-Romawi dicermati dan dihidupkan kembali; seni dan filsafat mencari inspirasi dari sana.
Para filsuf zaman modern menegaskan bahwa pengetahuan tidak berasal dari kitab suci atau ajaran agama, tidak juga dari para penguasa, tetapi dari diri manusia sendiri. Namun tentang aspek mana yang berperan ada Perbedaan pendapat. Aliran rasionalisme beranggapan bahwa sumber pengetahuan adalah rasio: kebenaran pasti berasal dari rasio (akal). Aliran empirisme, sebaliknya, meyakini pengalamanlah sumber pengetahuan itu, baik yang batin, maupun yang inderawi. Lalu muncul aliran kritisisme, yang mencoba memadukan kedua pendapat berbeda itu.


BAB IIPEMBAHASAN


A.    Konservatis

Konservatisme merupakan paham politik yang ingin mempertahankan tradisi dan stabilitas sosial, melestarikan pranata yang sudah ada, menghendaki perkembangan setapak demi setapak, serta menentang perubahan yang radikal. Definisi lain mengatakan, konservatisme adalah sebuah filsafat politik yang mendukung nilai-nilai tradisional. Istilah ini berasal dari bahasa Latin, conservare, yang berarti melestarikan, menjaga, memelihara, mengamalkan. Di lain sumber, konservatisme diartikan sebagai ideologi dan filsafat yang menjunjung tinggi nilai-nilai tradisional. Samuel Francis mendefinisikan konservatisme yang otentik sebagai “bertahannya dan penguatan orang-orang tertentu dan ungkapan-ungkapan kebudayaannya yang dilembagakan”. Dari beberapa pengertian, dapat disimpulkan bahwa konservatisme merupakan salah satu ideologi politik, yang menghendaki tradisi atau budaya tetap dilestarikan, terjaga, dan terpelihara.
Inti pemikiran konservatisme adalah memelihara kondisi yang ada, mempertahankan kestabilan, baik berupa kestabilan yang dinamis maupun berupa kestabilan yang statis, tidak jarang pula bahwa pola pemikiran ini dilandasi oleh kenangan manis mengenai kondisi kini dan masa lampau (romantic nostalgia, a earning for the good old time). Menurut filsafat konservatisme, perubahan tidak selalu berarti kemajuan. Oleh karena itu, perubahan sebaiknya berlangsung tahap demi tahap, tanpa menggoncang suatu struktur politik dalam negara atau masyarakat yang bersangkutan.
Biasanya ideologi ini, hanya diterapkan sebagai dasar golongan tertentu, tidak sebagai dasar negara. Politik konservatif dinilai cenderung "kolot" oleh para liberalis, karena konservatif selalu menjunjung tinggi nilai-nilai tradisional tanpa satupun dilewatkan, akibatnya banyak ketidakseragamnya dengan hukum di zaman sekarang. Bagi kaum konservatif, konservatisme merupakan bentuk skeptis dari kritik atas pemerintahan.

1.      Konservatisme Pendidikan
Konservatisme pada dasarnya adalah posisi yang mendukung ketaatan terhadap lembaga-lembaga dan proses-proses budaya yang sudah teruji oleh waktu (sudah cukup tua dan mapan), didampingi dengan rasa hormat mendalam terhadap hukum dan tatanan, sebagai landasan perubahan sosial yang konstruktif. Sejalan dengan itu ditingkat politisi, orang-orang konservatif cukup mewakili dalam tulisan-tulisan para tokoh seperti Edmund Burke, james medison, dan para penulis The Federalis Paper.[1]
Dalam Dunia Pendidikan, seorang konservatif beranggapan bahwa sasaran utama sekolah adalah pelestarian dan penerusan pola-pola sosial serta tradisi-tradisi yang sudah mapan. Ada dua ungkapan dasar Konservatif pendidikan. Yang pertama adalah konservatisme pendidikan religius, yang menekankan pada sentral pelatihan rohaniyah sebagai landasan pembangunan karakter moral yang tepat. Yang kedua adalah konservatisme pendidikan sekuler, yang memusatkan perhatiannya pada perlunya melestarikan dan meluruskan keyakinan-keyakinan dan praktik-praktik yang sudah ada, sebagai cara untuk menjamin pertahanan hidup secara sosial serta efektifitas secara kuat oleh orientasi pendidikan yang bersifat Al-kitabiah dan Evangelis (mendakwahkan agama).[2]
Faham ideology Konservatisme ini memandang, bahwa ketidak sederajatan masyarakat merupakan suatu hukum keharusan alami, suatu hal yang mustahil bisa dihindari serta sudah merupakan ketentuan sejarah. Perubahan sosial bagi penganut faham ini bukanlah sesuatu yang harus diperjuangkan, karena perubahan hanya akan membuat manusia lebih sengsara saja. Dalam bentuknya yang paling klasik, kaum konservatif berkeyakinan bahwa masyarakat pada dasarnya tidak bisa merencanakan perubahan atau paling tidak mempengaruhi perubahan sosial, hanya Tuhanlah yang merencanakan keadaan masyarakat dan hanya Dia yang tahu makna dibalik semua itu. Dengan demikian, kaum konservatif tidak menganggap rakyat memiliki kekuatan atau kekuasaan untuk merubah kondisi mereka. Dalam pandangan kaum ini, mereka yang menderitasepe rti mereka yang termasuk kelompok miskin, buta huruf, tertindas, gelandangan menjadi demikian disebabkan karena kurang beruntung. Kaum miskin dan kurang beruntung tadi haruslah bersabar dan belajar untuk menunggu sampai giliran mereka datang, karena pada akhirnya kelak semua orang akan mencapai kebebasan dan kebahagiaan. Kaum konservatif sangat menjunjung tinggi harmoni serta menghindari konflik.
Adapun dua ungkapan dasar konservatisme dalam pendidikan yaitu:
a)      Konservatisme pendidikan religius, yaitu menekankan peran sentral pelatihan rohaniah sebagai landasan pembangunan karakter moral yang tepat.
b)      Konservatisme pendidikan sekuler, yaitu memusatkan perhatiannya pada perlunya melestarikan dan meneruskan keyakinan-keyakinan dan praktek-praktek yang sudah ada, sebagai cara untuk menjamin pertahanan hidup secara sosial serta efektifitas secara kuat oleh orientasi pendidikan yang bersifat lebih religius yang secara teologis jelas kurang liberal. Sedangan konservatisme sekuler cenderung terwakili oleh para kritisi yang tajam oleh kalangan progesifisme pendidikan.[3]

2.      Ciri- ciri umum Konservatisme Pendidikan
Ciri-ciri konservatisme pendidikan secara umum, antara lain:
a)      Menganggap bahwa nilai dasar pengetahuan ada pada kegunaan sosialnya, bahwa pengetahuan adalah sebuah cara untuk mengajukan nila-nilai sosial yang mapan.
b)      Menekankan peran manusia sebagai warganegara; manusia dalam perannya sebagai anggota sebuah negara yang mapan.
c)      Menekankan penyesuaian diri bernalar; menyandarkan diri pada jawaban-jawaban terbaik dari masa silam sebagai tuntunan yang paling bisa dipercaya untuk memandu tindakan di masa kini.
d)     Memandang pendidikan sebagai sebuah pembelajaran (sosialsasi) nilai-nilai sistem yang mapan.
e)      Menganggap bahwa wewenang intelektual tertinggi adalah budaya dominan dengan  segenap sistem keyakinan dan perilaku yang mapan.
f)       Memusatkan perhatian kepada tradidi-tradisi dan lembaga-lembaga sosial yang ada, menekankan situasi sekarang (yang dipandang melalui sudut pandang kesejarahan yang relatif dangkal dan berpusat pada etnisnya sendiri).
g)      Menekankan stabilitas budaya melebihi kebutuhan akal pembaharuan atau perombakan budaya, hanya menerima perubahan-perubahan yang pada dasarnya cocok dengan tatanan sosial yang sudah mapan.
h)      Berdasarkan sebuah sistem budaya tertutup(etnosentrime), menekankan tradisi-tradisi sosial yang dominan, dan menekankan perubahan secara bertahap di dalam situasi sosial yang secara umum stabil.
i)        Mengakar pada kepastian-kepastian yang sudah teruji oleh waktu, dan meyakini bahwa gagasan-gagasan serta praktik-praktik kemapanan lebih sahih dan handal ketimbang gagasan serta praktik yang lahir dari spekulasi yang relatif tak terkendali.
j)        Menganggap bahwa wewenang intelektual tertinggi adalah budaya yang dominan dengan segenap sistem keyakinan dan prilakunya yang mapan.[4]



B.     Liberalisme
Secara etimologi liberalisme pendidikan terdiri dari dua suku kata yaitu “liberalisme” dan “pendidikan”. Kedua kata tersebut memiliki definisi yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia liberalisme adalah usaha perjuangan menuju kebebasan. Dan dalam istilah asing liberalisme diambil dari bahasa Inggris, yang berarti kebebasan. Kata ini kembali kepada kata “liberty” dalam bahasa Inggrisnya , atau “liberte” menurut bahasa Perancis, yang bermakna bebas.
Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al Barry mendefinisikan liberalisme sebagai paham yang menekankan kebebasan individu atau partikelir, filsafat sosial politik, dan ekonomi yang menekankan atau mengutamakan kebebasan individu untuk mengadakan perjanjian, produksi, konsumsi, tukar-menukar, dan bersaing serta hak milik partikelir (swasta) terhadap semua macam barang.[5]

1.      Liberalisme Pendidikan
Bagi seorang pendidik liberal, tujuan jangka panjang pendidikan adalah untuk melestarikan dan memperbaiki tatanan sosial yang ada dengan cara mengajar setiap siswa bagaimana caranya menghadapi persoalan-persoalan dalam kehidupannya sendiri secara efektif.[6] Dalam arti yang lebih rinci, seorang pendidik liberalis menganggap bahwa sekolah sebagai suatu lembaga pendidikan yang khususnya mesti berupaya untuk:
a)      Menyediakan informasi dan keterampilan yang diperlukan siswa untuk belajar sendiri secara efektif.
b)      Mengajar para siswa bagaimana cara memecahkan persoalan-persoalan praktis melalui penerapan proses-proses penyelesaian masalah secara individual maupun berkelompok, dengan berdasar kepada tatacara-tatacara ilmiah-rasional bagi pengujian dari pembuktian gagasan.[7]

2.      Corak Liberalisme Pendidikan
Liberalisme pendidikan memiliki tiga corak utama, yaitu :
a)      Liberalisme metodis, yaitu bersifat non ideologis dan memusatkan diri pada cara-cara baru dan cara-cara yang telah diperbaiki untuk melancarkan pencapaian sasaran-sasaran pendidikan yang ada sekarang. Penganut kaum liberalisme metodis, mengambil sikap bahwa metode-metode pengajaran (cara-cara belajar-mengajar) harus disesuaikan dengan zaman supaya mencakup renungan-renungan psikologis baru dan hakikat belajar manusia.
b)      Liberalisme direktif (liberalisme terstruktur), pada dasarnya kaum liberal direktif menginginkan pembaharuan mendasar dalam tujuan sekaligus dalam hal cara kerja sekolah-sekolah sebagaimana ada sekarang. Mereka menganggap bahwa wajib belajar adalah perlu. Kemudian juga diperlukan kepiawaian memilih beberapa keperluan mendasar tertentu serta mengajukan penetapan lebih dulu tentang isi pelajaran-pelajaran yang akan diberikan pada siswa.
c)      Liberalisme non-direktif (libealisasi pasar bebas). Kaum liberalisme non-direktif sepakat dengan pandangan bahwa tujuan dan cara-cara pelaksanaan pendidikan perlu diarahkan kembali secara radikal dari orientasi orotiratian tradisional ke arah sasaran pendidikan yang mengajar siswa untuk memecahkan masalah-masalah sendiri secara efektif.[8]
      Penganut ideologi ini berangkat dari keyakinan bahwa dalam masyarakat terjadi banyak masalah termasuk urusan pendidikan, namun masalah dalam pendidikan tidak ada kaitannya dengan persoalan politik dan ekonomi masyarakat. Sehingga tugas pendidikan tidak ada sangkut pautnya persoalan politik dan ekonomi. Namun demikian, proses pendidikan tidak boleh lepas sama sekali dengan kondisi-kondisi eksternal, dalam hal ini ekonomi dan politik. Pendidikan harus bisa menyesuaikan diri terhadap kondisi-kondisi external tersebut, dengan cara memecahkan berbagai masalah internal melalui mereformasi diri secara “kosmeti”.

3.      Ciri-ciri Umum Liberalisme pendidikan
Adapun ciri-ciri umum liberalisme pandidikan adalah sebagai berikut:
a)      Menganggap bahwa pengetahuan terutama berfungsi sebagai sebuah alat untuk digunakan dalam pemecahan masalah secara praktis, bahwa pengetahuan adalah sebuah jalan kearah tujuan berupa prilaku efektif dalam menangani situasi-situasi sehari-hari.
b)      Menekankan kepribadian unik dalam diri tiap individu, atau ketunggalaan (singularitas) setiap pribadi sebagai sebuah pribadi.
c)      Menekankan pemikiran efektif (kecerdasan praktis), mengarahkan perhatian utamanya kepada kemampuan setiap individu untuk menyelesaikan persoalan-persoalan personalnya sendiri secara efektif.
d)     Memandang pendidikan sebagai perkembangan dari keefektifan personal.
e)      Memusatkan perhatian kepada tatacara pemecahan masalah secara individu maupun berkelompok, menekankan situasi sekarang dan masa depan  yang dekat sebagaimana dipahami berdasarkan kebutuhan-kebutuhan serta problema-problema individu yang ada.
f)       Menekankan perubahan sosial secara tak langsung, melalui perkembangan kemampuan tiap orang berprilaku praktis dan efektif dalam mengejar sasaran-sasaran personalnya sendiri.
g)      Didirikan diatas tatacara-tatacara pembuktian secara ilmiah-rasional.[9]


C.    Kritisme
Secara harfiah, kata kritik berarti pemisahan. Filsafat Kant berusaha membeda-bedakan antara pengenalan yang murni dan yang tidak murni, yang tiada kepastiannya. Ia ingin membersihkan pengenalan dari keterikatan kepada segala penampakan yang bersifat sementara. Jadi filsafatnya dimaksud sebagai penyadaran atas kemampuan-kemampuan rasio secara obyektif dan menentukan batas-batas kemampuannya untuk memberi tempat iman dan kepercayaan.
Filsafat Kant merupakan titik tolak periode baru bagi filsafat barat. Ia menyimpulkan dan mengatasi aliran rasionalisme dan empirisme.[10] Pada awalnya, Kant mengikuti rasionalisme, tetapi kemudian tepengaruh oleh empirisnya (Hume). Walaupun demikian, Kant tidak begitu mudah menerimanya karena ia mengetahui bahwa empirisme terkadang skep-tisisme. Untuk itu, ia tetap mengakui kebenaran ilmu, dan dengan akal manusia akan dapat mencapai kebenaran.[11]
Akhirnya Kant mengakui peranan akal dan keharusan empiri, kemudian dicobanya mengadakan sintesis. Walaupun pengetahuan bersumber dari akal (rasionalisme), tetapi adanya pengertian timbul dari benda (empirisme). Ibarat burung terbang harus mempunyai sayap (rasio) dan udara (empiri).
Jadi, metode berpikirnya disebut kritis. Walaupun ia mendasarkan diri pada nilai yang tinggi dari akal, tetapi ia tidak mengingkari adanya persoalan-persoalan yang melampaui akal. Sehingga akal mengenal batas-batasnya. Karena itu aspek irrasionalitas dari kehidupan dapat diterima kenyataanya.[12]
Adapun ciri-ciri Kritisisme adalah adalah sebagai berikut:
a)      Menganggap obyek pengenalan berpusat pada subyek dan bukan pada obyek.
b)      Manegaskan keterbatasan kemampuan rasio manusia untuk mengetahui realitas atau hakikat sesuatu, rasio hanya mampu menjangkau gejalanya atau fenomenanya saja.
c)      Menjelaskan bahwa pengenalan manusia atas sesuatu itu diperoleh atas perpaduan antara peranan unsur a priori yang berasal dari rasio serta berupa ruang dan waktu dan peranan unsure aposteriori yang berasal dari pengalaman yang berupa materi.[13]




DAFTAR PUSTAKA

Anton Baker, Metode-metode Filsafat, Jakarta:  Ghalia Indonesia,1986
Asmoro Achmadi, Filsafat Umum, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008
Atang Abdul Hakim, Filsafat Umum dari Metologi sampai Teolologi, Bandung: Pustaka Setia, 2008.

Soleh Subagja. Gagasan Liberalisme Pendidikan Islam. Malang: Madani, 2010
William F. O’neil, “Ideologi-ideologi Pendidikan”, Yogyakararta: Pustaka Pelajar, 2001



    [1] William F. O’neil, “ideologi-ideologi Pendidikan”, (Yogyakararta: Pustaka Pelajar, 2001), hal.106
        [2] Ibid.
        [3] Ibid., hal. 335
        [4] Ibid., hal 337
        [5] Soleh Subagja. Gagasan Liberalisme Pendidikan Islam. (Malang: Madani, 2010). Hal. 49.
        [6] William F. O’neil, Ideologi-ideologi..., hal. 108
      [7] Ibid., hal. 412
      [8] Ibid., hal. 444
        [9] Ibid., hal. 456
[10] Anton Baker, Metode-metode Filsafat, (Jakarta:  Ghalia Indonesia,1986), hlm. 88
[11] Asmoro Achmadi, Filsafat Umum, ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 140
[12] Ibid.
[13] Atang Abdul Hakim, Filsafat Umum dari Metologi sampai Teolologi, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 283