Rabu, 30 September 2015

Filsafat Progresivisme

BAB I
PENDAHULUAN

Progressivisme mempunyai konsep yang didasari oleh pengetahuan dan kepercayaan bahwa manusia itu mempunyai kemampuan-kemampuan yang wajar dan dapat menghadapi masalah yang menekan atau mengecam adanya manusia itu sendiri. Aliran Progressivisme mengakui dan berusaha mengembangakan asas Progressivisme dalam semua realitas, terutama dalam kehidupan adalah tetap survive terhadap semua tantangan hidup manusia, harus praktis dalam melihat segala sesuatu dari segi keagungannya. Berhubungan dengan itu progressivisme kurang menyetujui adanya pendidikan yang bercorak otoriter, baik yang timbul pada zaman dahulu maupun pada zaman sekarang.
Progresivisme yang lahir sekitar abad ke-20 merupakan filsafat yang bermuara pada aliran filsafat pragmatisme yang diperkenalkan oleh William James (1842-1910) dan John Dewey (1859- 1952), yang menitikberatkan pada segi manfaat bagi hidup praktis.
Filsafat progressivisme dipengaruhi oleh ide-ide dasar filsafat pragmatisme dimana telah memberikan konsep dasar dengan azas yang utama yaitu manusia dalam hidupnya untuk tetap berpetualang/ menghadapi terhadap semua tantangan, harus pragmatis memandang sesuatu dari segi manfaatnya.

Makalah ini akan membahas mengenai fisafat pendidikan progresivisme dari segi definisi, tokoh-tokoh filosof pendidikan progresivisme, dan konsep aliran ini mengenai realita dan kenyataan.

BAB II
PEMBAHASAN

     A.    Aliran Progresivisme

Progresivisme adalah suatu gerakan dan perkumpulan yang didirikan pada tahun 1918. Aliran ini berpendapat bahwa pengetahuan yang benar pada masa kini mungkin tidak benar di masa mendatang. Pendidikan harus terpusat pada anak bukannya memfokuskan pada guru atau bidang muatan. Progravisme mempunyai konsep yang didasari oleh pengetahuan dan kepercayaan bahwa manusia itu mempunyai kemampuan-kemampuan yang wajar dan dapat menghadapi dan mengatasi maslah-masalah yang bersifat menekan atau mengancam adanya manusia itu sendiri.[1] Oleh karena kemajuan atau progres ini menjadi suatu statemen progrevisme, maka beberapa ilmu pengetahuan yang mampu menumbuhkan kemajuan dipandang merupakan bagian utama dari kebudayaan yang meliputi ilmu-ilmu hayat, antropologi, psikologi dan ilmu alam.
Aliran progresivisme mengakui dan berusaha mengembangkan asas progresivisme dalam semua realita, terutama dalam kehidupan adalah tetap survive terhadap semua tantangan hidup manusia, harus praktis dalam melihat segala sesuatu dari segi keagungannya.
Progresivisme dinamakan instrumentalisme, karena aliran ini beranggapan bahwa kemampuan intelegensi manusia sebagai alat untuk hidup, untuk kesejahteraan, untuk mengembangkan kepribadian manusia. Dinamakan eksperimentalisme, karena aliran tersebut menyadari dan mempraktekkan asas eksperimen yang merupakan untuk menguji kebenaran suatu teori. Progressivisme dinamakan environmentalisme karena aliran ini menganggap lingkungan hidup itu mempengaruhi pembinaan kepribadian.
Aliran progresivisme memiliki kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan yang meliputi: Ilmu Hayat, bahwa manusia untuk mengetahui kehidupan semua masalah. Antropologi yaitu bahwa manusia mempunyai pengalaman, pencipta budaya, dengan demikian dapat mencari hal baru. Psikologi yaitu manusia akan berpikir tentang dirinya sendiri, lingkungan, dan pengalaman-pengalamannya, sifat-sifat alam, dapat menguasai dan mengaturnya.[2]
Filsafat progressivisme telah memberikan kontribusi yang besar di dunia pendidikan, dimana telah meletakkan dasar-dasar kemerdekaan dan kebebasan kepada peserta didik. Anak didik diberikan kebebasan secara fisik maupun cara berfikir, guna mengembangakan bakat, kreatifitas dan kemampuan yang terpendam dalam dirinya tanpa terhambat oleh rintangan yang dibuat oleh orang lain. Berdasarkan pandangan di atas maka sangat jelas sekali bahwa filsafat progressivisme bermaksud menjadikan anak didik yang memiliki kualitas dan terus maju sebagai generasi yang akan menjawab tantangan zaman peradaban baru.

     B.     Tokoh-tokoh Progresivisme

Progressivisme merupakan aliran filsafat yang lahir di Amerika Serikat sekitar abad ke-20. John S. Brubaeher, mengatakan bahwa filsafat progressivisme bermuara pada aliran filsafat pragmatisme yang di perkenalkan oleh William James (1842-1910) dan John Dewey (1885 1952), yang menitikberatkan pada segi manfaat bagi hidup praktis. Didalam banyak hal progressivisme identik dengan pragmatisme. Oleh karena itu apabila orang menyebut pragmatisme, maka berarti sama dengan.
Filsafat progressivisme sama dengan pragmatisme. Pertama, filsafat progressivisme atau pragmatisme ini merupakan perwujudan dan ide asal wataknya. Artinya filsafat progresivisme dipengaruhi oleh ide-ide dasar filsafat pragmatisme di mana telah memberikan konsep dasar dengan azas yang utama yaitu manusia dalam hidupnya untuk terus survive (mempertahankan hidupnya) terhadap semua tantangan, dan pragmatis memandang sesuatu dari segi manfaatnya.
Oleh karena itu filsafat progresivisme tidak mengakui kemutlakan kehidupan, menolak absolutisme dan otoriterisme dalam segala bentuknya.  Filsafat pendidikan Progresivisme dikembangkan oleh para ahli pendidikan seperti: John Dewey, William Kilpatrick, George Count, dan Harold Rugg diawal abad 20. Progresvisme merupakan pendidikan yang berpusat pada siswa dan memberi penekanan lebih besar pada kreativitas, aktivitas, belajar “naturalistik”, hasil belajar “dunia nyata” dan juga pengalaman teman sebaya. Berikut penjelasan menurut para tokoh:[3]
1.      William James (11 Januari 1842 – 26 Agustus 1910)
Seorang psychologist dan seorang filosuf Amerika yang sangat terkenal. Paham dan ajarannya demikian pula kepribadiannya sangat berpengaruh diberbagai negara Eropa dan Amerika. Meskipun demikian dia sangat terkenal dikalangan umum Amerika sebagai penulis yang sangat brilian, dosen serta penceramah dibidang filsafat, juga terkenal sebagai pendiri Pragmatisme. James berkeyakinan bahwa otak atau pikiran, seperti juga aspek dari eksistensi organik, harus mempunyai fungsi biologis dan nilai kelanjutan hidup. Dan dia menegaskan agar fungsi otak atau pikiran itu dipelajari sebagai bagian dari mata pelajaran pokok dari ilmu pengetahuan alam. Jadi James menolong untuk membebaskan ilmu jiwa dari prakonsepsi teologis, dan menempatkannya di atas dasar ilmu perilaku. Buku karangannya yang berjudul Principles of Psychology yang terbit tahun 1890 yang membahas dan mengembangkan ide-ide tersebut, dengan cepat menjadi buku klasik dalam bidang itu, hal inilah yang mengantar William James terkenal sebagai ahli filsafat Pragmatisme dan Empirisme radikal.

2.      John Dewey (1859 – 1952)
John Dewey adalah seorang profesor di universitas Chicago dan Columbia (Amerika). Teori Dewey tentang sekolah adalah “Progressivism” yang lebih menekankan pada anak didik dan minatnya daripada mata pelajarannya sendiri. Maka muncullah “Child Centered Curiculum”, dan “Child Centered School”. Progresivisme mempersiapkan anak masa kini dibanding masa depan yang belum jelas, seperti yang diungkapkan Dewey dalam bukunya “My Pedagogical Creed”, bahwa pendidikan adalah proses dari kehidupan dan bukan persiapan masa yang akan datang. Aplikasi ide Dewey, anak-anak banyak berpartisipasi dalam kegiatan fisik, baru peminatan.
Salah seorang bapak pendiri filsafat pragmatisme. Dewey mengembangkan pragmatisme dalam bentuknya yang orisinil, tapi meskipun demikian, namanya sering pula dihubungkan terutama sekali dengan versi pemikiran yang disebut instrumentalisme. Adapun ide filsafatnya yang utama, berkisar dalam hubungan dengan problema pendidikan yang konkrit, baik teori maupun praktek. Dan reputasi (nama baik) internasionalnya terletak dalam sumbangan pikirannya terhadap filsafat pendidikan Prugressivisme Amerika. Dewey tidak hanya berpengaruh dalam kalangan ahli filsafat profesional, akan tetapi juga karena perkembangan idenya yang fundamental dalam bidang ekonomi, hukum, antropologi, teori politik dan ilmu jiwa. Dia adalah juru bicara yang sangat terkenal di Amerika Serikat dari cara-cara kehidupan demokratis.
Pada tahun 1875, Dewey masuk kuliah di University of Vermont dengan spesifikasi bidang filsafat dan ilmu-ilmu sosial. Setelah tamat, ia mengajar sastra klasik, sains, dan aljabar di sebuah sekolah menengah atas di Oil City, Pensylvania tahun 1879-1881. Bersama gurunya, H.A.P. Torrey, Dewey juga menjadi tutor pribadi di bidang filsafat. Selain itu, Dewey juga belajar logika kepada Charles S. Pierce dan C.S. Hall, salah seorang psikolog eksperimental Amerika. Selanjutnya, Dewey melanjutkan studinya dan meraih gelar doktor dari John Hopkins University tahun 1884 dengan disertasi tentang filsafat Kant.
Dewey kemudian mengajar di University of Michigan (1884-1894), menjadi kepala jurusan filsafat, psikologi dan pendidikan di University of Chicago tahun 1894. Pada tahun 1899, Dewey menulis buku The School and Society, yang memformulasikan metode dan kurikulum sekolah yang membahas tentang pertumbuhan anak. Dewey banyak menulis masalah-masalah sosial dan mengkritik konfrontasi demokrasi Amerika, ikut serta dalam aktifitas organisasi sosial dan membantu mendirikan sekolah baru bagi Social Reseach tahun 1919 di New York.
Sebagian besar kehidupan Dewey dihabiskan dalam dunia pendidikan. Lembaga-lembaga pendidikan yang disinggahi Dewey adalah University of Michigan, University of Colombia dan University of Chicago. Tahun 1894 Dewey memperoleh gelar Professor of Philosophy dari Chicago University. Dewey akhirnya meninggal dunia tanggal 1 Juni 1952 di New York dengan meninggalkan tidak kurang dari 700 artikel dan 42 buku dalam bidang filsafat, pendidikan, seni, sains, politik dan pembaharuan sosial.
Diantara karya-karya Dewey yang dianggap penting adalah Freedom and Cultural, Art and Experience, The Quest of Certainty Human Nature and Conduct (1922), Experience and Nature (1925), dan yang paling fenomenal Democracy and Education (1916).
Gagasan filosofis Dewey yang terutama adalah problem pendidikan yang kongkrit, baik yang bersifat teoritis maupun praktis. Reputasinya terletak pada sumbangan pemikirannya dalam filsafat pendidikan progresif di Amerika. Pengaruh Dewey di kalangan ahli filsafat pendidikan dan filsafat umumnya tentu sangat besar. Namun demikian, Dewey juga memiliki sumbangan di bidang ekonomi, hukum, antropologi, politik serta ilmu jiwa.
3.      Hans Vaihinger (1852 – 1933)
Menurutnya tahu itu hanya mempunyai arti praktis. Persesuaian dengan obyeknya tidak mungkin dibuktikan; satu-satunya ukuran bagi berpikir ialah gunanya (dalam bahasa Yunani Pragma) untuk mempengaruhi kejadian-kejadian di dunia. Segala pengertian itu sebenarnya buatan semata-mata; jika pengertian itu berguna. untuk menguasai dunia, bolehlah dianggap benar, asal orang tahu saja bahwa kebenaran ini tidak lain kecuali kekeliruan yang berguna saja.
4.      Georges Santayana
Georges digolongkan pada penganut pragmatisme ini. Tapi amat sukar untuk memberikan sifat bagi hasil pemikiran mereka, karena amat banyak pengaruh yang bertentangan dengan apa yang dialaminya.
Nilai-nilai yang dianut bersifat dinamis dan selalu mengalami perubahan, sebagaimana dikembangkan oleh lmanuel Kant, salah seorang penyumbang pemikir pragmatisme-progresivisme yang meletakkan dasar dengan penghormatan yang bebas atas martabat manusia dan martabat pribadi. Dengan demikian filsafat progresivisme menjunjung tinggi hak asasi individu dan menjunjung tinggi akan nilai demokratis.

     C.    Konsep  Progresivisme tentang Realita dan Kenyataan

Progresivisme berpendapat tidak ada teori realita yang umum. Pengalaman menurut progresivisme bersifat dinamis dan temporal; menyala, tidak pernah sampai pada yang paling ekstrem, serta pluralistis. Menurut progresivisme, nilai berkembang terus karena adanya pengalaman-pengalaman baru antara individu dengan nilai yang telah disimpan dalam kehudayaan. Belajar berfungsi untuk; mempertinggi taraf kehidupan sosial yang sangat kompleks. Kurikulum yang baik adalah kurikulum yang eksperimental, yaitu kurikulum yang setiap waktu dapat disesuaikan dengan kebutuhan.
1.      Pandangan secara Ontologi[4]
Adanya kehidupan realita yang amat luas tidak terbatas, sebab kenyataan alam semesta adalah kenyataan dalam kehidupan manusia. Pengalaman adalah kunci pengertian manusia atas segala sesuatu, pengalaman manusia tentang penderitaan, kesedihan, kegembiraan, keindahan dan lain-lain adalah realita manusia hidup sampai mati, Pengalaman adalah suatu sumber evolusi, yang berarti perkembangan, maju setapak demi setapak mulai dari yang mudah-mudah menerobos kepada yang sulit-sulit (proses perkembangan yang lama).
Pengalaman adalah perjuangan, sebab hidup adalah tindakan dan perubahan-perubahan. Manusia akan tetap hidup berkembang, jika ia mampu mengatasi perjuangan, perubahan dan berani bertindak.
2.      Pandangan secara Epistemologi[5]
Pengetahuan adalah informasi, fakta, hukum prinsip, proses, kekuasaan yang terakumulasi dalam pribadi sebagai hasil proses interaksi pengalaman. Pengetahuan diperoleh manusia baik seeara langsung melalui pengalaman dan kontak dengan segala realita dalam lingkun hidupnya, ataupun pengetahuan diperoleh langsung melalui catatan (buku-buku, kepustakaan). Pengetahuan adalah hasil aktivitas tertentu. Makin sering kita menghadapi tuntutan lingkungan dan makin banyak pengalaman kita dalam praktek, maka makin besar persiapan menghadapi tuntutan masa depan. Pengetahuan harus disesuaikan dimodifikasi dengan realita baru di dalam lingkungan. Kebenaran dan kemampuan suatu ide memecahkan masalah, kebenaran adalah (sekuen dan pada sesuatu ide, realita pengetahuan dan daya guna.
3.      Pandangan secara Aksiologi[6]
Nilai timbul karena manusia mempunyai bahasa, dengan demikian adanya pergaulan. Masyarakat menjadi wadah timbulnya nilai-nilai. Bahasa adalah sarana ekspresi yang berasal dari dorongan, kehendak, perasaan, kecerdasan dari individu-individu. Nilai itu benar atau salah, baik atau buruk dapat dikatakan adalah menunjukkan kecocokan dengan hasil pengujian yang dialami manusia dalam pergaulan manusia.
Filsafat progresivisme yang memiliki konsep manusia memiliki kemampuan-kemampuan sesuai dengan fitrah kejadiannya, yang dapat memecahkan problematika hidupnya, telah mempengaruhi pendidikan, di mana dengan pembaharuan-pembaharuan pendidikan telah dapat mempengaruhi manusia untuk maju (progress). Sehingga semakin tinggi tingkat berpikirnya manusia maka semakin tinggi pula tingkat budaya dan peradaban manusia. Hasilnya, anak-anak tumbuh menjadi dewasa, masyarakat yang sederhana dan terbelakang menjadi masyarakat yang komplek dan maju.

BAB III
PENUTUP

Progressivisme mempunyai konsep yang didasari oleh pengetahuan dan kepercayaan bahwa manusia itu mempunyai kemampuan-kemampuan yang wajar dan dapat menghadapi masalah yang menekan atau mengecam adanya manusia itu sendiri. Aliran Progressivisme mengakui dan berusaha mengembangakan asas Progressivisme dalam semua realitas, terutama dalam kehidupan adalah tetap survive terhadap semua tantangan hidup manusia, harus praktis dalam melihat segala sesuatu dari segi keagungannya. Berhubungan dengan itu progressivisme kurang menyetujui adanya pendidikan yang bercorak otoriter, baik yang timbul pada zaman dahulu maupun pada zaman sekarang.
Progresivisme adalah suatu gerakan dan perkumpulan yang didirikan pada tahun 1918. Aliran ini berpendapat bahwa pengetahuan yang benar pada masa kini mungkin tidak benar di masa mendatang. Pendidikan harus terpusat pada anak bukannya memfokuskan pada guru atau bidang muatan. Tokoh-tokoh filsafat progresivieme antara lain: John Dewey, William Kilpatrick, George Count, dan Harold Rugg.
Progresivisme berpendapat tidak ada teori realita yang umum. Pengalaman menurut progresivisme bersifat dinamis dan temporal; menyala. tidak pernah sampai pada yang paling ekstrem, serta pluralistis. Menurut progresivisme, nilai berkembang terus karena adanya pengalaman-pengalaman baru antara individu dengan nilai yang telah disimpan dalam kebudayaan. Belajar berfungsi untuk :mempertinggi taraf kehidupan sosial yang sangat kompleks. Kurikulum yang baik adalah kurikulum yang eksperimental, yaitu kurikulum yang setiap waktu dapat disesuaikan dengan kebutuhan.



DAFTAR PUSTAKA
Hasbullah Bakry, Sitematik Filsafat, Yogyakarta: Widjaya, 1970
Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan Sistem & Metode, Cet.9, Yogyakarta: Penerbit Andi, 1997
Jalaluddin dan Abdullah, Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat dan Pendidikan, Cet. III, Jakarta: Arruz Media, 2010
Lisman, dkk, Pengantar Pendidikan, Grasindo, 1992
Uyah Sadullah, Pengantar Filsafat Pendidikan, Yogyakarta: Alfabet, 2004



[1]Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan Sistem & Metode, Cet.9, (Yogyakarta: Penerbit Andi, 1997), hal. 28
[2] Jalaluddin dan Abdullah, Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat dan Pendidikan, Cet. III, (Jakarta: Arruz Media, 2010), hal. 84
[3] Uyah Sadullah, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta: Alfabet, 2004), hal. 57
[4] Hasbullah Bakry, Sitematik Filsafat, (Yogyakarta: Widjaya, 1970), hal. 46
[5] Lisman, dkk, Pengantar Pendidikan (Grasindo, 1992), hal. 56
[6] http://wahyudisy.blogspot.com/2008/01/aliran-progresivisme-aliran.html, diunduh tangga 10 Juni 2015, pukul 12.45 WIB 

Selasa, 29 September 2015

Makalah "Manfaat Penerapan Syari'at Islam di Aceh"

BAB IPENDAHULUAN

Provinsi Aceh atau Nanggroe Aceh Darussalam yang kini lebih dikenal dengan Serambi Mekkah merupakan salah satu wilayah Indonesia yang dihadiahkan pemberlakuan otonomi daerah secara khusus oleh Pemerintah Indonesia. Dalam konteks ilmu Tata Negara, Aceh seperti sebuah negara di dalam lingkup negara Indonesia, dibuktikan dengan adanya UUPA didalam Undang-undang yang berlaku di Indonesia sekarang ini. Hal ini tidak lepas dari secara historis dan politik yang telah terjadi beberapa waktu silang di Indonesia ini.Yang berdampak pada pemberlakuan Syari’at Islam di bumi Aceh.
Syari’at Islam merupakan sebuah sistem hukum Islam layaknya sistem hukum lainnya, yang mencakup; perdata, pidana, dagang, keluarga, peradilan dan sebagainya. Pelaksaan dan pemberlakuan syari’at Islam di Aceh ini sesuai dengan adat kebiasaan yang telah ada dan belaku serta berkembang sejak lama dari masa perjuangan melawan penjajah sampai sekarang ini, melahirkan UU No.18 Tahun 2001 tentang status otonomi khusus untuk Provinsi Aceh yang kemudian pula terhapuskan oleh UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dalam pemahaman masyarakat Muslim Aceh bahwa Syari’at Islam dan adat, Lagee Zat ngoen Sifeut (seperti zat dan sifat).Adat dan agama tidak dapat dipisahkan, malah dulu terkenal dengan tiga keistimewaan Aceh yaitu adat, pendidikan dan agama.
Kini, syari’at Islam telah berlaku di Aceh.Dan telah memasuki tahun ke-14.Beberapa Qanun (hukum) telah disahkan guna merealisasikan pelaksaan syari’at Islam di bumi Serambi Mekkah, dengan tujuan menjadi rahmatan lil alamin.
Makalah ini akan membahas lebih lanjut mengenai manfaat yang telah didapatkan oleh masyarakat Aceh khususnya dan Indonesia umumnya dari penerapan dan pelaksaan Syari’at Islam di Bumi Nanggroe Aceh Darussalam ini.

BAB IIPEMBAHASAN

A.    Pengertian Syari’at Islam

Syari’at islam dari segi bahasa berarti madzhad dan jalan lurus. Kata syir’atul ma’berarti  sumber air yang hendak diminum. Kata syara’a bermakna bahaja (meniti), menerangkan, dan menjelaskan berbagai jalan titian.Kata syara’a juga berarti sanna (menetapkan).Menurut istilah, syari’at berarti agama dan berbagai hukum yang disyari’atkan Allah untuk hamba-hamba-Nya.[1]
Syari’at Islam adalah hukum Allah yang membuat seseorang menjadi Muslim, sebab system hukum tersebut mencakup segala aspek kehidupan sehari-hari.Meliputi, hukum perdata dan pidana Islam, hukum dagang Islam, hukumfiqih siyasi dalam Islamdan sebagainya.[2]
Syari’at Islam dalam pengertian bahasa adalah ‘jalan paling sejahtera menuju Tuhan’ semakna dengan thariq yang sering dipraktekkan oleh para Sufi dalam kegiatan mendekatkan diri kepada Tuhan.Dari sini hendaknya dijelaskan subyek dari syari’at Islam.[3]
Kendatipun ada kecenderungan ulama-ulama yang menggunakan istilah syari’at sebagai hukum atau hukum Islam tetapi jumhur fuqaha memaknai syari’at adalah hukum yang ditetapkan Allah untuk umat manusia dengan perantaraan Rasul-Nya supaya manusia melaksanakannya atas dasar iman.[4]Apalagi kalau dihubungkan dengan istilah Islam.Syari’at Islam itu berasal dari Allah secara murni, belum disentuh oleh pikiran manusia.
Syari’at Islam mempunyai satu unit sumber hukum yang tidak dapat dipisahkan oleh wahyu Ilahi, yaitu al-Qur’an yang merupakan sumber hukum utama syari’at Islam yang mengandung firman-firman Allah SWT yang terakhir, al-Qur’an bebas dari perubahan, pemalsuan, penambahan, dan pengurangan serta tidak dicemari oleh kebatian.[5]
Jadi Syari’at islam adalah hukum dan aturan Islam yang mengatur seluruh sendi kehidupan umat Muslim. Selain berisi hukum dan aturan, syari’at Islam juga berisi penyelesaian masalah seluruh kehidupan ini.Maka oleh sebagian penganut Islam, syari’at Islam merupakan panduan menyeluruh dan sempurna seluruh permasalahan hidup manusia dan kehidupan dunia ini, yang memiliki sumber al-Qur’an al-Kariim.

B.     Syari’at Islam di Aceh

Nanggroe Aceh Darussalam dikenal sebagai sebuah provinsi yang memiliki status istimewa dalam rangkaian provinsi yang berada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Status istimewa tersebut diraih karena beberapa hal, yakni: kondisi sosial budaya masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam yang khas, potensi kekayaan alam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, serta kiprah masyarakat Aceh yang besar serta berharga dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Pada 2001, ketika digulirkan otonomi daerah pada semua daerah di Indonesia, untuk Aceh dikeluarkan UU No. 18 Tahun 2001 tentang Status Otonomi Khusus untuk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dalam UU ini, keumuman yang terdapat pada UU sebelumnya lebih dipersempit, di antaranya dengan menetapkan peraturan daerah di Aceh yang disebut qanun dan pengakuan Mahkamah Syar’iyyah sebagai bagian dari sistem pengadilan di Indonesia.Undang-undang ini kemudian menjadi dasar lahirnya beberapa qanun pelaksanaan syari’at Islam di Aceh.Setelah keluarnya UU No. 18 Tahun 2001, pemerintah Aceh yang pada masa itu di bawah pimpinan Gubernur Abdullah Puteh mendeklarasikan pemberlakuan syari’at Islam di Aceh.Deklarasi ini dilakukan di Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh sebagai simbol dukungan rakyat Aceh pada program tersebut. Setelah keluar UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, UU No. 18 Tahun 2001 tersebut di atas tidak berlaku lagi.[6]
Pemberian status istimewa kepada Aceh diatur dalam UUD 1945, lalu diperkuat dengan adanya Lembaran Negara RI 172/1999 dan UU No11/2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Pada awanya, pemberlakuan syari’at Islam ini ditujukan untuk mencegah agar Aceh tidak memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dari sudut itu, kita bisa melihat bahwa proses pemberlakuan syari’at Islam di Aceh bukanlah suatu proses yang genuine dan alamiah, tapi lebih merupakan suatu move dan kebijakan politik dalam rangka mencegah Aceh dari upaya pemisahan. Penerapan hukumsyari’at Islam di Aceh pada tahap ini, yakni meningkatnya ketidakpuasan di Aceh, lebih merupakan political expediency, langkah politik darurat, untuk menyelamatkan Aceh dalam pangkuan Republik. Dengan penerapan syari’at sekaligus pula romantisme sejarah tadi bisa dipenuhi, dan dengan demikian akan mendatangkan kenyamanan psikologis bagi kenyamanan masyarakat Aceh.[7]
Dengan tersematnya status istimewa tersebut, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam tentunya memiliki sebuah perbedaan dalam mekanisme pemerintahan serta peraturan daerahnya. Sebagai sebuah provinsi yang terdiri dari mayoritas penduduk beragama Islam dan didukung pula oleh adat istiadat masyarakat Aceh yang memegang teguh prinsip Islam secara mengakar dalam kehidupan bermasyarakatnya, maka syari’at Islam menjadi sebuah pertimbangan utama dalam perumusan peraturan daerah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

C.    Provokasi Pelaksaan Syari’at Islam

Pemberlakuan syari’at Islam merupakan salah satu kebijakan yang dihadiahkan oleh pemerintah Indonesia kepada Aceh, demi menenangkan provinsi Aceh dari isu-isu berpisah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).Namun, pada penerapannya ada saja pihak-pihak yang memanfaatkan situasi umat Islam di Aceh menjadi pecah.Pecah dalam arti; menimbulkan pro-kontra di kalangan masyarakat Aceh dan adanya provokasi menanggapi keadaan ini.Para provokator yang identitasnya tidak terungkap ini dapat menimbulkan perpecahan di masyarakat Aceh yang berdampak pada pro-kontra terhadap kebijakan pemberlakuan dan pelaksanaan syari’at Islam di Aceh.[8]
            Dalam setiap keadaan baru yang berlaku pada satu daerah, tentunya ada provokator yang menimbulkan reaksi masyarakat awam memuncak. Hal ini dapat teratasi dengan munculnya para pakar yang mengerti akan situasi tersebut, menjelaskan secara bijak kepada masyarakat dan dari masyarakat pribadi khususnya dapat menerima kebijakan yang telah ditetapkan itu.

D.    Pro-Kontra Penerapan Syari’at Islam di Aceh

Penerapan syari’at Islam di Aceh tidaklah selalu berjalan dengan disiplin dan baik. Bagi mereka yang menanti perberlakuan syari;at Islam ini, tentulah menyambut gembira. Namun, tidak sedikit pula yang menentangnya.Pada pelaksanaan dan penerapan syari’at Islam di Aceh tidak selalu berjalan mulus, telah muncul beberapa protes, diantaranya:
“Masalah pemakaian jilbab.Sebagian kelompok juga mengkritik qanun-qanun yang dihasilkan seakan-akan mendiskreditkan perempuan.Misalnya qanun yang dihasilkan oleh Kota Banda Aceh bahwa diantara syarat yang boleh menjadi kepala desa (geusyik) adalah yang mampu menjadi imam.Hal ini seakan tidak memberi ruang pada perempuan.Kemudian juga hukum (sanksi) untuk pelaku khalwat dan maisir dihukum dengan hukum cambuk.Hukum cambuk dianggap sangat berat, kejam dan primitive.”[9]
Maka dari itu ada beberapa hambatan pada pelaksanaannya.Secara umum hambatan-hambatan yang ada adalah sebagai berikut:
1.      Hambatan eksternal, berupa pihak-pihak yang memang sejak awal memiliki antipati terhadap Islam dan syari’at Islam. Mereka adalah para pengusung agama dan ideologi tertentu diluar Islam, terutama yang memiliki pengalaman pahit melawan Islam. Mereka senantiasa menyebarluaskan image yang negative tentang Islam dan syari’at Islam, misalnya dengan menjelek-jelekkan Islam dengan slogan“Harem dan Pedang” sebagai simbol bagi pengungkungan kaum wanita dan kekerasan .
2.      Hambatan dari pihak-pihak yang sebetulnya tidak terlalu ideologis kecuali bahwa mereka menolak penerapan syari’at Islam karena akan mengekang kesenangan mereka. Mereka itulah yang sering disebut sebagai para hedonis, atau yang dalam bahasa Islam disebut sebagai ahlul ma’aashiy.
3.      Hambatan dari pihak-pihak yang menolak syari’at Islam karena belum memahami syari’at Islam, atau memahaminya dengan pemahaman yang salah. Mereka inilah yang dalam bahasa Islam disebut sebagai ahlul jahl.[10]
Disamping itu, usaha-usaha menuju penerapan syari’at Islam juga berkaitan dengan masalah strategi. Hambatan bisa pula muncul dari pihak-pihak yang sudah sepakat dengan syari’at Islam dan penerapannya, akan tetapi memiliki strategi yang berbeda-beda. Hambatan dari sisi ini akan menjadi semakin signifikan apabila strategi-strategi tersebit saling berseberangan satu sama lain.
Penjelasan di atas merupakan kritik mengenai aspek fikihnya, bukan aspek syari’atnya.Karena fikih itu relative. Kritik ini datang tidak hanya karena kedangkalan ilmu yang mereka miliki, akan tetapi juga selama ini mereka sudah terpengaruh dengan budaya dan bergelut dengan kebiasaan yang salah. Oleh karena itu pada awal pelaksaan syari’at ini orang merasa berat dan aneh, karena belum tahu hikma-hikmah yang terkandung padanya.[11]
Setidaknya ada beberapa hal yang menjadi modal atau kekuatan dalam usaha menuju penerapan syari’at Islam.
1.      Jumlah umat Islam cukup signifikan.
2.      Maraknya gerakan-gerakan Islam yang senantiasa menyuarakan diterapkannya syari’at Islam.
3.      Gagalnya beberapa sistem hukum dan bernegara yang bukan Islam telah memunculkan rasa frustasi umat manusia, sehingga mereka membutuhkan alternatif-alternatif yang lain. Diantara alternatif itu ialah Islam.
4.      Keberhasilan usaha-usaha politik dari kalangan Islam dan partai-partai politik Islam di beberapa negeri muslim.[12]
Sejarah umat Islam yang cemerlang di masa lampau ketika mereka menerapkan syari’at Islam.Sejarah cemerlang ini setidak-tidaknya bisa memunculkan kerinduan-kerinduan pada benak umat Islam atas kembalinya masa kejayaan mereka. Penerapan syari’at Islam yang sesuai dengan situasi, zaman, kondisi masyarakat diharapkan dapat mendatangkan angin segar bagi umat Islam.

E.     Syari’at Islam di Aceh: Apa Manfaatnya?

Penerapan serta pelaksanaan syari’at Islam di Aceh telah hampir lima belas tahun (15 tahun). Pelaksaan ini memunculkan dua kelompok masyarakat, diatara mereka ada yang menolak/ tidak setuju dengan penerapan syari’at Islam ini, dan mereka yang mendukung terus pelaksaan syari’at Islam dengan berbagai argument serta alasan yang mereka miliki. Terlepas dari semua itu, selama ini telah dapat dirasakan manfaat dari keberadaan syari’at Islam di Aceh, diantaranya:[13]
1.   Bagi yang non-Muslim: Keberadaan agama lain selain agama Islam di Aceh tetap diakui dan mereka berhak menjalankan ajaran agamanya. Dianjurkan berpakaian sopan dan patuh pada tata karma aturan Peraturan Pemerintah Daerah (PERDA) Nanggroe Aceh Darussalam (Qanun) tentang Syari’at Islam yang berlaku di Aceh.
2.   Syari’at Islam sangat menghargai toleran, memperhatikan terhadap pemeluk agama lain selain Islam, lebih-lebih lagi di Aceh sekarang masih berlaku dua hukum; Qanun Islam dan hukum positif. Jika orang Muslim membuat pelanggaran, maka diperlakukan dengan syari’at Islam secara bertahap. Seandainga non-Muslim yang membuat pelanggaran tentu dikembalikan kepada hukum negara (hukum positif), tidak berlaku syari’at Islam bagi mereka.
3.   Bagi masyarakat Muslim Aceh, pada umumnya adalah berdirinya sekolah-sekolah formal dan non-formal di masjid-masjid, misalnya di masjid Raya Baiturrahman yang terletak di jantung Ibukota Banda Aceh.
4.   Terhadap kamu perempuan Aceh, mereka bisa terkontrol dengan didorong oleh rasa kemanusiaan, yakni melahirkan budaya islami. Seperti dalam cara berpakaian, memakai kerudung, dapat menuntut ilmu di sekolah-sekolah formal dan non formal, dan apabila ditemukan kasus pelecehan seksual (perzinaan dan pemerkosaan) terhadap kaum wanita maka syari’at Islam memberlakukan hukum cambuk dan rajam.
5.   Pengaruh langsung terhadap fakir miskin, yaitu memperoleh zakat dari si muzakki (yang mengeluarkan zakat) sebagai menunaikan rukun Islam yang keempat, yakni membantu fakir dan orang-orang miskin.[14]
6.   Konsep kerukunan, mencakup tiga kerukunan, yaitu: kerukunanintern umat beragama, kerukunan antar umat beragama, dan kerukunan antar umat beragama dengan pemerintah.Kerukunan seperti ini seriing disebut dengan Trilogi Kerukunan.[15]
Manfaat yang telah disebut di atas merupakan manfaat langsung yang tampak dan langsung terasa di kehidupan bermasyarakat di Aceh khususnya. Masih banyak lagi manfaat lagi yang berdampak pada aspek spiritual dan jiwa individu masyarakat Aceh selain yang tersebut di atas, yakni dengan merapkan syari’at Islam, muslim dan muslimah Aceh menjadi orang yang melaksanakan amr ma’ruf nahi munkar dalam kehidupan bermasyarakat dengan sendirinya.


BAB IIIPENUTUP

A.    Kesimpulan
Syari’at Islam merupakan hukum dan ketentuan yang datangnya langsung dari Allah, mengatur segala aspek kehidupan makhluk-Nya, berdasarkan dalil-dalil-Nya yang tertera dalam al-Qur’an al-Karim.Syari’at Islam sendiri telah menjadi hukum daerah Nanggroe Aceh Darussalam bersama dengan hukum positif Indonesia, yang telah disetujui oleh pemerintah pusat pada tahun 2001.Selama pelaksaan dan penerapan syari’at Islam, terdapat pro-kontra di kalangan masyarak Aceh.Itu semua karena mereka (masyarakat Aceh) masih belum memahami hikmah yang terkandung pada penerapan syari’at Islam ini. Sampai saat ini, beberapa kalangan telah merasakan manfaat dari syari’at Islam di Aceh ini, diantaranya adalah kaum non-muslim, kaum wanita, kaum fakir miskin, dan bidang pendidikan.

B.     Saran
Demikian makalah ini yang dapat saya uraikan, saya berharap makalah ini dapat didiskusikan guna memperluas wawasan pemulis dan menutupi segala kekurangan yang terdapat pada makalah ini.Kepada kawan-kawan, penulis memohon kritik dan saran yang bersifat membangun demi sempurnanya makalah ini.



                                               DAFTAR PUSTAKA
Abdul Karim Zaidan,  Pengantar Studi Syari’ah, Jakarta: Robbani Press, 2008.
Abdul Majid, Syari’at Islam dalam Realitas Sosial Jawaban Islam tehadap Masyarakat di Wilayah Syari’at,Banda Aceh: PeNa & Ar-Raniry Press, 2007.
Azyumardi Azra, Islam Negara & Civil Society: Syari’at Islam dalam Bingkai Nation State, Jakara: Paaramadina, 2005.
Karuniawan Zein dan Sarifuddin HA, Syari’at Islam Yes Syari’at Islam No Dilema Piagam Jakarta dalam UUD 1945,Jakarta: Paramadina, 2001.
M. Hasbi Amiruddin, Menatap Masa Depan Dayah di Aceh,Cet. I,Banda Aceh: Yayasan Pena, 2008.
Marzuki Abubakar, “Syari’at Islam di Aceh: Sebuah Model Kerukunan dan Kebebasan Beragama”, dalam Jurnal MEDIA SYARI’AH (Jurnal Hukum Islam dan Pranata Sosial), Volume XIII no. 1,  2011.
Nasr, Ideals and Realita of Islam Islam dalam Cita dan Fakta, Penterjemah: Abdurrahman Wahid dan Hasyim Wahid, Jakarta: LAPPENAS, 1981.
Sehat Ihsan Shadiqi, “Islam dalam Masyarakat Kosmopolit: Relevankah Syari’at Islam Aceh untuk Masyarakat Modern?”, dalam Jurnal Kontekstualita, Vol.5, No.1, 2010.
T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, Jakarta: Bulan Bintang, 1974.
Yusuf Qardhawi, Membumikan Syari’at Islam, Keluwesan Aturan Ilahi untuk Manusia, Bandung: Mizan, 2003.





[1]Abdul Karim Zaidan,  Pengantar Studi Syari’ah, (Jakarta: Robbani Press,2008), hal. 45
[2]Karuniawan Zein dan Sarifuddin HA, Syari’at Islam Yes Syari’at Islam No Dilema Piagam Jakarta dalam UUD 1945, (Jakarta: Paramadina, 2001), hal 217-219
[3]Nasr, Ideals and Realita of Islam Islam dalam Cita dan Fakta, Penterjemah: Abdurrahman Wahid dan Hasyim Wahid, (Jakarta: LAPPENAS, 1981), hal. 64 
[4]M. Hasbi Amiruddin, Menatap Masa Depan Dayah di Aceh, Editor; Ishak Assa’ad, (Banda Aceh: Yayasan Pena, 2008), Cet. I, hal. 10. Lihat juga T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), hal. 26
[5]Yusuf Qardhawi, Membumikan Syari’at Islam, Keluwesan Aturan Ilahi untuk Manusia, (Bandung: Mizan, 2003), hal. 43
[6]Sehat Ihsan Shadiqi, “Islam dalam Masyarakat Kosmopolit: Relevankah Syari’at Islam Aceh untuk Masyarakat Modern?”, dalam Jurnal Kontekstualita, Vol.5, No.1, 2010, hal. 31
[7] Azyumardi Azra, Islam Negara & Civil Society: Syari’at Islam dalam Bingkai Nation State, (Jakara: Paaramadina, 2005), hal. 35-37
[8]Materi ajar mata kuliah Agama dan Ilmu-ilmu kemanusiaan di kelas Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh yang disampaikan oleh M. Hasbi Amiruddin, pada tanggal 2 Juni 2015
[9]M. Hasbi Amiruddin, Menatap Masa Depan…, hal. 11-12
[10]Sehat Ihsan Shadiqi, “Islam dalam Masyarakat Kosmopolit: Relevankah…, hal. 33
[11]M. Hasbi Amiruddin, Menatap Masa Depan…, hal. 12
[12]Sehat Ihsan Shadiqi, “Islam dalam Masyarakat Kosmopolit: Relevankah…, hal. 35
[13] Abdul Majid, Syari’at Islam dalam Realitas Sosial Jawaban Islam tehadap Masyarakat di Wilayah Syari’at, (Banda Aceh: PeNa & Ar-Raniry Press, 2007), hal. 90-92
[14] Abdul Majid, Syari’at Islam dalam Realitas Sosial Jawaban…, hal. 77
[15]Marzuki Abubakar, “Syari’at Islam di Aceh: Sebuah Model Kerukunan dan Kebebasan Beragama”, dalam Jurnal MEDIA SYARI’AH (Jurnal Hukum Islam dan Pranata Sosial), Volume XIII no. 1, hal. 155