Jumat, 18 September 2015

Fungsi Hadist Terhadap Al-Quran

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Islam merupakan sebuah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada masyarakat manusia melalui Nabi Muhammad SAW. sebagai Rasul.[1] Wahyu Tuhan itu berupa kalam Allah (perkataan Allah) yang diturunkan kepada Muhammad melalui perantaraan Jibril as. yang tertulis dalam lembaran-lembaran yang disampaikan kepada kita secara mutawatir. Semua ayat yang terkandung di dalam Al-Qur’an berisi ajaran-ajaran yang memberi petunjuk kepada umat manusia untuk menempuh jalan kebenaran. Semua ayat-ayat itu bisa sampai kepada kita melalui perantaraan Muhammad sebagai Rasul yang diutus Allah untuk menerangkan ayat-ayatNya. Al-Qur’an sebagai kalam Allah menjadi sumber ajaran pertama dan utama dalam ajaran Islam.
Sementara itu Nabi Muhammad saw. sebagai Rasul yang diutus untuk menerangkan al-Quran, semua yang disandarkan kepada beliau baik perkataan, perbuatan maupun ketetapannya disebut Hadits/Sunnah. Sebagai mana definisi Al-Hadits/Al-Sunnah yang ditulis DR. Sulaiman Abdullah dalam buku Sumber Hukum Islam, yaitu semua perkataan, perbuatan dan pengakuan Rasulullah yang berposisi sebagai petunjuk dan tasyri’.[2] Maka menurut kedudukannya, Hadits/Sunnah dijadikan sebagai sumber kedua ajaran Islam setelah Al-Qur’an. Hal ini sebagaimana yang telah disepakati oleh para ulama.
Hadits memiliki posisi yang penting baik sebagai sumber hukum Islam kedua maupun terhadap al-Qur’an sebagai sumber pertama dan utama. Keduanya memiliki posisi dan fungsi masing-masing yang akan dijelaskan secara lebih terperinci dalam makalah ini.

B.     Rumusan Masalah
Antara al-Qur’an dan al-Hadits yang sama-sama memiliki fungsi dan kedudukan sebagai sumber ajaran Islam tentunya memiliki hubungan keterkaitan antara satu dan lainnya. Terkait dengan hubungan Hadits dengan Al-Quran maka di dalam makalah ini ada tiga rumusan masalah yang akan dibahas oleh penyusun, yaitu;
1.      Bagaimana fungsi hadits/sunnah terhadap al-Qur’an?
2.      Mana yang lebih membutuhkan apakah al-Qur’an lebih membutuhkan hadits/sunnah atau sebaliknya?
3.      Jenis-jenis Hadits/Sunnah Qauliyah, Fi’liyah dan seterusnya?

C.      Tujuan Penulisan Makalah
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka makalah ini disusun dengan tujuan sebagai berikut:
1.      Mengetahui dan membahas lebih dalam mengenai fungsi Hadits/Sunnah terhadap al-Quran
2.      Mengetahui mana yang lebih membutuhkan apakah al-Quran lebih membutuhkan Hadits/Sunnah atau sebaliknya
3.      Mengetahui jenis-jenis Hadits/Sunnah Qauliyah, Fi’liyah dan seterusnya.

D.     Metode Penulisan
Makalah ini disusun dengan mengumpulkan dan menelaah beberapa buku atau literatur kepustakaan yang berkaitan dengan judul makalah ini.

E.     Tehnik Penulisan
Makalah ini disusun dengan berpedoman pada buku Panduan Penulisan Thesis dan Disertasi yang diterbitkan oleh Program Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh tahun 2013.
 

BAB II

PEMBAHASAN

A.      Fungsi Hadits/Sunnah terhadap Al-Quran

Allah swt menurunkan al-Quran bagi umat manusia untuk dapat dipahami dan diamalkan, maka untuk memahaminya diutuslah Muhammad sebagai rasul yang menjelaskan kandungannya dan mencontohkan cara-cara melaksanakan ajarannya kepada mereka melalui hadits-hadits. Hal ini senada dengan al-Quran surat an-Nahl ayat 44;
وَأَنْزَلْنَا إلَيْكَ الذِّكرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَانُزِّلَ إلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ.  )النحل: 44 (
“Dan kami turunkan kepadamu al-Quran, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.”(QS. an-Nahl : 44)
Mengkaji fungsi Hadits/Sunnah terhadap al-Quran tidak terlepas dari pemahaman dan keyakinan kita terhadap kedudukan hadits/sunnah itu sendiri. Jumhur ulama sepakat bahwa Hadits/Sunnah menempati urutan kedua setelah al-Quran.[3]  Kesepakatan itu tentunya merujuk kepada sumber utama yaitu al-Quran.  Banyak ayat-ayat al-Quran yang dijadikan landasan untuk menetapkan kedudukan Hadits sebagai sumber ajaran Islam, beberapa diantaranya yaitu; QS. Al-Nahl ayat 44 sebagaimana telah disebutkan di atas, QS.al-Nisa ayat 59, QS.al-Nisa ayat 80 dan QS. Ali Imran ayat 164.
Fungsi utama Hadits/Sunnah adalah penjelasan  terhadap ayat-ayat alquran yang memerlukannya. Setelah mengutip dari beberapa rujukan buku Ulumul Hadits penyusun merangkumkan beberapa bentuk penjelasan tersebut yaitu: bayan al-ta’kid, bayan al-tafsir, bayan al-takhshis, bayan al-ta’yin, bayan al-tasyri’ dan bayan nasakh  yang masih diperselisihkan oleh para ulama.[4] Berikut ini akan dijabarkan masing-masing bayan  tersebut.

1.        Bayan al-Ta’kid

Secara bahasa bayan berarti statement (pernyataan), tipe (syle) dan penjelasan. Sedangkan ta’kid berarti penetapan atau penegasan.[5] Maksud dari Hadits/Sunnah sebagai bayan al-ta’kid adalah Hadits /Sunnah berfungsi menetapkan atau menegaskan hukum yang terdapat di dalam al-Quran. [6] Hal ini menunjukkan bahwa masalah-masalah yang terdapat dalam al-Quran dan Hadits/Sunnah sangat penting untuk diimani dan dijalankan oleh setiap muslim.
Di antara masalah-masalah yang ada dalam al-Quran dan disampaikan pula oleh Rasulullah di dalam Hadits/Sunnah ialah tentang ketentuan awal puasa Ramadhan, di antaranya terdapat dalam al-Quran surat al-Baqarah ayat 185;
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمْ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ .(البقرة: 185)
“Barang siapa yang menyaksikan bulan maka berpuasalah.”(QS.Al-Baqarah: 185).

Hal ini ditegaskan dalam Hadits:
إذَا رَأيتُمُوهُ فَصُومُوا وَإذَا رَأيتُمُوهُ فَأفْطِرُوا فَإنْ أُعْمِيَ عَلَيْكُمْ فَعُدُّوْا ثَلَاثِيْنَ.  (رواه مسلم)
“Jika kalian melihatnya (bulan) maka berpuasalah, dan jika kalian melihatnya (bulan) maka berbukalah (hari Raya Fitri), namun jika bulan tertutup mendung yang menyulitkan kalian untuk melihatnya, maka sempurnakanlah sampai 30 hari.”(HR. Muslim)

2.    Bayan al-Tafsir
Tafsir secara bahasa berarti penjelasan, interpretasi atau keterangan.[7]  Maksud dari Hadits/Sunnah sebagai bayan al-tafsir adalah Hadits/Sunnah berfungsi sebagai penjelasan atau interpretasi kepada ayat-ayat yang tidak mudah dipahami.[8] Hal ini dikarenakan ayat-ayat tersebut bersifat mujmal (umum) sehingga perlu penjelasan yang bisa menjelaskannya lebih terperinci. Sebagai contoh ayat al-Quran kewajiban shalat dalam surat al-Baqarah ayat 43;
وَأَقِيْمُوا الصَّلَاةَ وَاتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوْا مَعَ الرَّاكِعِيْنَ. (البقرة:43)
“Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’.”(QS.Al-Baqarah: 43)
Hal ini dirincikan tata cara pelaksanannya dalam Hadits berikut;
صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِي أُصَلِّي. (رواه البخاري)
“Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat.” (HR.al-Bukhari)
Dalam ayat diatas hanya ada perintah melaksanakan shalat, namun tidak dijelaskan secara rinci bagaimana cara melaksanakan shalat. Sehingga datanglah Hadits yang menjelaskan bahwa cara melaksanan shalat adalah sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah.

3.    Bayan al-Takhshish al-‘Amm
Takhshis berarti pengkhususan, pembatasan atau spesifikasi.[9] Dalam hal ini Hadits/Sunnah berfungsi mengkhususkan keumuman makna yang sebutkan al-Quran. Prof. Ramli Abdul Wahid dalam buku Studi Ilmu Hadits menyatakan bahwa maksud takhshish disini adalah sebagai keterangan yang mengeluarkan atau mengecualikan suatu masalah dari makna umum ayat.[10] Contohnya ayat al-Quran tentang hukum warisan, yaitu;
يُوْصِيْكُمُ اللهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِ. (النساء:11)
“Allah telah mewasiatkan kepadamu tentang bagian anak-anakmu, yakni laki-laki sama dengan dua orang anak perempuan”.  (QS.an-Nisa:11)
Ayat tersebut bersifat umum bahwa semua anak mewarisi harta orang tuannya. Selanjutnya datang hadits yang mengecualikan anak atau seseorang yang tidak  bisa mewarisi, yaitu:
لَا يَرِثُ الْمُسْلِمُ الكَافِرُ وَلَاالْكَافِرُ الْمُسْلِمُ. (رواه الجماعة)
“Seorang muslim tidak boleh mewarisi harta si kafir dan si kafir pun tidak boleh mewarisi harta si muslim”. (HR.Jama’ah)
Berdasarkan ayat di atas diketahui bahwa semua anak baik laki-laki maupun perempuan berhak mewarisi harta orang tuanya. Selanjutnya datang Hadits yang mengecualikan bahwa jika anak itu kafir atau berbeda keyakinan dengan orang tuanya maka ia tidak bisa mewarisi harta orang tuanya, demikian juga sebaliknya.

4.    Bayan al-Ta’yin
Ta’yin berarti penentu atau pembatasan.[11] Yang dimaksud dengan bayan ta’yin adalah bahwa Hadits/Sunnah berfungsi menentukan mana yang dimaksud di antara dua atau tiga perkara yang mungkin dimaksud oleh al-Quran.[12] Dalam al-Quran ada banyak ayat yang terkadang bisa memiliki beberapa kemungkinan makna. Sehingga memungkinkan para penafsir untuk mengartikannya dalam beberapa makna yang berbeda, contohnya lafadz quru’ dalam ayat yang membahas tentang masa iddah wanita yang dicerai.
وَالْمُطَلَّقتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ... )البقرة: 228(
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’ ”. (QS. Al-Baqarah: 228)
Quru’ disini bisa berarti haidh dan bisa juga berarti suci. Namun quru’ yang dimaksudkan ayat tersebut adalah masa haidh. Adapun Hadits yang mendukung masalah tersebut yaitu;
عَنْ ابْنِ رَضِيَ الله عَنْهُمَا )إنَّهُ طَلَّقَ إمْرَأَتَهُ -هِيَ حَائِضٌ -فِي عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صلي الله عَلَيْهِ وسلم( سَئَلَ عُمَرُ رَسُوْلِ اللهِ صلي الله عَلَيْهِ وسلم عَنْ ذَلِكَ؟ قال : مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا, ثُمَّ ليُمْسِكْهَا حَتَّي تَطْهُرَ, ثُمَّ حَائِض, ثُمَّ تَطْهُرَ, ثُمَّ إنْ شَاءَ امْسَكَ بَعْدُ, وَ إنْ شَاءَ طَلَّقَ بَعْدُ أنْ يَمَسَّ, فَتِلْكَ الْعِدَّةُ الَّتِي أَمَرَ الله أنْ تَطَلَّقَ نِسَاء. )متفق عليه(
“Dari Ibnu Umar bahwa ia menceraikan istrinya ketika sedang haidh pada zaman Rasulullah SAW lalu Umar menanyakan hal itu kepada Rasulullah SAW dan beliau bersabda: “Perintahkan agar ia kembali padanya, kemudian menahannya hingga masa suci, lalu masa haid dan masa suci lagi. Setelah itu bila ia menghendaki, ia boleh menahannya terus menjadi isterinya atau menceraikannya. Itu adalah masa iddah yang diperintahkan Allah untuk menceraikan istri.” 
Berdasarkan penjelasan Hadits di atas dapatlah diketahui bahwa maksud kata quru’ dalam QS. al-Baqarah: 228 adalah masa haidh bukan masa suci, karena masa iddah wanita yang dijelaskan  dalam Hadits tersebut dihitung dari berapakali masa haidh wanita itu datang.

5.    Bayan al-Tasyri’
Hadits/Sunnah sebagai bayan tasyri’ berarti sunnah dijadikan sebagai dasar penetapan hukum yang belum ada ketetapannya secara eksplisit di dalam al-Quran.[13] Hal ini tidak berarti bahwa hukum dalam al-quran belum lengkap, melainkan al-Quran telah menunjukkan secara garis besar segala masalah keagamaan. Namun hadirnya Hadits/Sunnah untuk menetapkan hukum yang lebih eksplisit sesuai dengan perintah yang ada dalam al-Quran surat an-Nahl ayat 44. Salah satu contoh di antaranya tentang haramnya memadukan antara seorang perempuan dengan bibinya. Sementara al-Quran hanya menyatakan tentang kebolehan berpoligami, yaitu;
...فَانْكِحُوْا مَاطَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَي وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ... )النساء:3(
“...Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat...”. (QS.al-Nisa’: 3)
Hadits berikut ini menetapkan haramnya berpoligami bagi seseorang terhadap seorang wanita dengan bibinya.
لَا يَجْمَعُ بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَ عَمَّتِها وَلَا بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَ خَالَتِهَا. )متفق عليه(
“Tidak boleh seseorang mengumpulkan (memadu) seorang wanita dengan bibinya (saudari bapaknya) dan seorang wanita dengan bibinya (saudari ibunya).” (HR. Bukhari Muslim).[14]
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Hadits di atas menetapkan hukum syari’at yang melarang berpoligami dengan bibi dari wanita yang telah dinikahi.

6.    Bayan Nasakh
Nasakh berarti penghapusan atau pembatalan.[15] Maksudnya adalah mengganti suatu hukum atau menghapuskannya. Hadits/Sunnah juga berfungsi menjelaskan mana ayat yang menasakh (menghapus) dan mana ayat yang dimansukh (dihapus).
Contohnya QS. al-Baqarah: 180
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إذَا حَضَرَ أحَدَكُمُ الْمَوْةُ اَنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةَ لِلْوَالِدَيْنِ وَ الْأَقْرَبِيْنَ بِالْمَعْرُوْفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِيْنَ.
“Diwajibkan atas kamu, apabila maut hendak menjemput seseorang di antara kamu, jika dia meninggalkan harta, berwasiat untuk kedua orang tua dan karib kerabat dengan cara yang baik, (sebagai) kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.”
Ayat di atas menjelaskan tentang berlakunya wasiat terhadap ahli waris. Namun selanjutnya datang Hadits yang memansukhkan hukum tersebut, yaitu;
...لَا وَصِيَّةَ لِلْوَارِثِيْنَ...
“...Tidak ada wasiat bagi ahli waris...”
Para ulama berbeda pendapat tentang bayan nasakh ini. Sebahagian diantara mereka ada yang membenarkannya dengan alasan bahwa hal itu pernah terjadi. Mereka juga sepakat bahwa Hadits/Sunnah yang menjelaskan nasakh salah satu hukum dalam al-Quran itu haruslah mutawatir. Bahkan Ibn Hazmin berpendapat bahwa Hadits Ahad pun boleh menasakh al-Quran. Ini sejalan dengan pendiriannya bahwa setiap Hadits adalah qath’y.[16]
Salah seorang ulama yang menolak adanya bayan nasakh ini adalah Imam Syafi’i. Beliau berpendapat bahwa al-Quran hanya boleh dinasakh dengan al-Quran. Tidak ada nasakh Hadits terhadap al-Quran karena Allah mewajibkan kepada Nabi-Nya agar mengikuti apa yang diwahyukan kepadanya, dan bukan mengganti menurut kehendak sendiri.[17]
Meskipun terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang keberadaan nasakh Hadits terhadap al-Qur’an, namun tidak dapat dipungkiri bahwa memang ada salah satu syari’at dalam al-Qur’an yang dimansukhkan oleh Hadits, salah satunya adalah Hadits yang menghapus hukum wasiat bagi ahli waris sebagaimana yang telah disebutkan di atas.

B.       Al-Quran Lebih Membutuhkan Hadits/Sunnah

Untuk menjawab pertanyaan mana yang lebih membutuhkan apakah al-Qur’an lebih membutuhkan Hadits/Sunnah ataukah Hadits/Sunnah lebih membutuhkan al-Qur’an, kita harus merujuk kembali kepada al-Qur’an surat an-Nahl ayat 44, yaitu;
وَأَنْزَلْنَا إلَيْكَ الذِّكرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَانُزِّلَ إلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ.  )النحل: 44 (
“Dan kami turunkan kepadamu al-Quran, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.”(QS. an-Nahl : 44)
Dalam ayat tersebut Allah SWT telah mengutus Rasulullah saw untuk menjelaskan isi al-Qur’an. Penjelasan itu disampaikan Rasulullah kepada umatnya melalui Hadits/Sunnah. Karena al-Quran adalah kalam Allah bersifat global, muthlak dan umum. Maka Allah mengutus rasul untuk membacakan dan menerangkan ayat-ayatNya kepada umat manusia agar mereka bisa mengerti dan mengikuti Rasulullah sebagai tauladan. Allah juga memerintahkan kepada orang-orang yang beriman kepadanya untuk patuh pada perintah RasulNya.
Terlepas dari berbagai alasan atau dalil yang menunjukkan bahwa kedudukan Hadits/Sunnah menempati posisi kedua setelah al-Quran dalam tertib sumber hukum Islam, yang jelas di dalam al-Quran banyak ayat yang tidak dapat dijelaskan jika tidak ada penjelasan yang dapat mengungkapkan makna yang dimaksud oleh ayat tersebut. Dan yang bisa menjelaskan itu adalah Rasul.[18]
Pandangan klasik (ulama terdahulu) mengenai hubungan antara al-Quran dan Sunnah secara ringkas dinyatakan dalam peribahasa, “Kebutuhan al-Quran terhadap Sunnah lebih besar daripada Sunnah terhadap al-Quran.” Menurut mereka al-Quran tidak dapat berdiri sendiri. Tanpa Sunnah yang bisa menjamin maknanya, yang memperjelas maksudnya, dan yang melengkapi perintah-perintahnya, kitab ini tidak bisa dipahami.[19] Dengan demikian jelaslah bahwa al-Quran lebih membutuhkan Hadits/Sunnah daripada sebaliknya.
Meskipun demikian beberapa ulama juga berpendapat bahwa antara al-Quran dan Sunnah adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan, dan keduanya juga saling membutuhkan. Sebagaimana yang ditulis Nuraini M.Ag dalam buku Otentitas Sunnah, bahwa sebagian ulama mengatakan bahwa pada dasarnya Nabi tidak pernah menetapkan Sunnah tanpa sandaran al-Qur’an. Dalam buku tersebut juga tertulis pendapat al-Syafi’i yang menyatakan bahwa Sunnah Nabi baik yang berfungsi menjelaskan makna perintah Allah atau yang berfungsi legislasi tanpa nash al-Qur’an, keduanya sama-sama mengikat dalam segala keadaan.[20] Oleh karena itu, antara al-Qur’an dan Sunnah memiliki hubungan yang saling membutuhkan dan saling mengikat antara satu dengan lainnya sebagai sumber hukum pertama dan kedua dalam Islam.

C.      Jenis-jenis Hadits/Sunnah

Berdasarkan bentuknya Hadits/Sunnah dibagi kepada Hadits Qauliyah, Hadits Fi’liyah dan Hadits Taqririyah.  Sebagian ulama menyebutkan Hadits Ahwali dan Hadits Hammi sebagai bagian dari bentuk Hadits. Berikut ini akan dijelaskan bentuk-bentuk Hadits/Sunnah tersebut.
1.    Hadits/Sunnah Qauliyah
Hadits/Sunnah Qauliyah adalah perkataan atau ucapan-ucapan Rasul yang pernah beliau utarakan dalam berbagai kesempatan semasa ia masih hidup.[21] Hadits/Sunnah ini diucapkan langsung oleh Rasulullah dan didengar oleh para sahabat. Contohnya;
عَنْ ابْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ الله عَنْهُ قَالَ : قَالَ النَّبِيُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْجَنَّةُ أَقْرَبُ إلَى أَحَدِكُمْ مِنْ شَرَاكِ نَعْلِهِ, وَالنَّارُ مِثْلُ ذَلِكَ. )رواه البخاري(
Dari Ibnu Mas ’ud ra., ia berkata: bahwa Nabi saw. Bersabda: “Surga itu lebih dekat kepada salah seorang di antara  kalian dari sandal yang dipakainya, begitu juga neraka.”(HR. Bukhari)[22]
2.    Hadits/Sunnah Fi’liyah
Hadits/Sunnah Fi’liyah adalah perbuatan atau tindakan Rasul yang merupakan penjelasan praktis ajaran agama, seperti tata cara salat, wuduk dan haji.[23] Contohnya;
عَنْ أَوْسِ ابْنِ أَوْسِ الثَّقَفِى رَضِيَ الله عَنْهُ قَالَ: رَأَيْتُ رَسُوْلُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ فَاسْتَوْكَفَ ثَلَاثًا أَيْ غَسَلَ كَفَّيْهِ.
Dari Aus Al-Tsaqafy ra., berkata: “Saya melihat Rasulullah saw. Berwudhu, beliau mulai dengan membasuh telapak tangannya tiga kali.”(HR. Ahmad dan An-Nasai, Al-Muntaqa 1: 85).[24]

3.    Hadits/Sunnah Taqririyah
Hadits/Sunnah Taqririyah adalah pengakuan atau persetujuan Rasul atas perbuatan atau perkataan sahabat yang diketahuinya.[25] Dalam hal ini rasul tidak melarang ataupun berkomentar ketika melihat atau mendengar perkataan maupun perbuatan sahabat-sahabatnya. Contohnya sikap rasulullah membiarkan para sahabat dalam memberi penafsiran sabdanya tentang shalat pada waktu peperangan, yaitu;
لَا يُصَلِّيَنَّ أَحَدُ الْعَصْرَ إلَّا فى بَنِي قُرَيْضَة. (رواه البخاري)
“Janganlah seorangpun shalat Ashar kecuali nanti di bani Quraidhah.” (HR. Bukhari).[26]
Ada dua golongan sahabat yang berbeda memahami perintah tersebut. Golongan yang pertama memahaminya dengan perlunya bersegera menuju bani Quraidhah dan serius dalam peperangan dan perjalanan, sehingga mereka bisa shalat tepat pada waktunya. Sedangkan golongan yang lain memahami sebagaimana hakikat perintah tersebut, maka mereka terlambat dalam melaksanakan shalat Ashar. Melihat sikap kedua golongan sahabat ini  Rasulullah membiarkannya tanpa menyalahkan ataupun mengingkarinya.[27]
Contoh lainnya adalah diriwayatkan bahwa Khalid Ibnu al-Walid pernah makan dhabb (sejenis biawak) yang dihidangkan dalam suatu jamuan bersama Rasul. Tetapi Rasul sendiri tidak memakannya dan tidak mencegah sahabat tersebut untuk memakannya. Diamnya Rasul melihat hal tersebut sebagai bukti persetujuannya.[28] Maka Hadits/Sunnah Taqririyah ini bisa menjadi dasar hukum kebolehan sesuatu yang tidak dilarang untuk melakukannya.

4.    Hadits/Sunnah Ahwali
Hadits/Sunnah Ahwali adalah Hadits/Sunnah yang menerangkan tentang keadaan fisik dan sifat-sifat kepribadian Rasulullah saw.[29] Contohnya;
كَانَ رَسُوْلُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحسَنَ النَّاسِ وَجْهًا وَ أَحسَنَهُ خَلْقًا لَيْسَ بِالطَّوِيْلِ الْبَائِنِ وَلَا بِالْقَصِيْرِ.[30]
“Rasulullah saw. Adalah sebaik-baik wajah dan bentuk manusia, tidak tinggi dan tidak pendek.”

5.    Hadits/Sunnah Hammi
Hadits/Sunnah Hammi adalah Hadits/Sunnah yang berupa  hasrat Nabi saw. yang belum terealisasikan.[31] Contohnya keinginan Rasulullah melaksanakan puasa pada tanggal 9 ‘Asyura. Sebagai mana tergambar dalam riwayat Ibn Abbas berikut;
حِيْنَ صَامَ رَسُوْلُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ وَأمَرَ بِصِيَامِهِ, قَالُوا يَا رَسُوْلُ الله إنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ اليَهُوْدُ وَالنَّصَارَى فَقَالَ فَإذَا كَانَ الَامُ الْمُقْبِلُ إنْشَاءَ الله صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ. (رواه مسلم)
“Ketika Rasulullah saw. berpuasa pada hari ‘Asyura dan memerintahkan para sahabat untuk berpuasa, mereka berkata: Ya Rasulullah ini adalah hari yang diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan Nashrani. Rasulullah bersabda: tahun yang akan datang  insya Allah aku akan berpuasa pada hari yang kesembilan.”(HR. Muslim)
Menurut Imam Syafi’i mengamalkan Hadits Hammi adalah sunnah sebagaimana mengamalkan sunnah-sunnah yang lain.[32]
Terkait dengan Hadits/Sunnah Ahwali dan Hammi ada sebagian ulama Hadits tidak menganggap kedua bentuk Hadits/Sunnah ini berdiri sendiri. Menurut mereka Hadits/Sunnah Ahwali masuk ke dalam katagori Hadits/Sunnah Qauli dan Hadits/Sunnah Hammi masuk ke dalam katagori Hadits/Sunnah Fi’li. Namun di dalam makalah ini penyusun memisahkan pengertian bentuk-bentuk Hadits/Sunnah ini agar kita bisa membedakan maknanya secara lebih jelas.



BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Al-Quran dan Hadits/Sunnah merupakan dua sumber utama ajaran Islam yang memiliki hubungan yang tidak mungkin terpisahkan antara keduanya. Hal ini ditunjukkan oleh beberapa fungsi yang diperankan oleh Hadits/Sunnah terhadap al-Quran, di antaranya: bayan al-ta’kid (menegaskan), bayan al-tafsir (menjelaskan), bayan al-takhshis (mengkhususkan), bayan al-ta’yin (menentukan), bayan al-tasyri’ (menetapkan syari’at) dan bayan nasakh (menghapus/mengganti).
Berdasarkan semua fungsi-fungsi Hadits/Sunnah tersebut menunjukkan bahwa al-Quran lebih membutuhkan Hadits/Sunnah dari pada sebaliknya.
Ditinjau dari bentuknya, Hadits/Sunnah dapat dibedakan menjadi lima bentuk, yaitu: Hadits/Sunnah Qauliyyah, Hadits/Sunnah Fi’liyyah,  Hadits/Sunnah Taqririyyah, Hadits/Sunnah Ahwali dan Hadits/Sunnah Hammi.

B.       Saran
Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karenanya makalah ini masih perlu perbaikan dan penyempurnaan melalui kritikan dan masukan bermanfaat dari para pembaca sekalian. Semoga makalah yang sederhana ini dapat memberi manfaat bagi kita semua. Amin.











[1] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Cet. V, (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada, 2000), hal. 64.
[2] Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam, Cet.II, (Permasalahan dan Fleksibilitasnya, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hal. 20
[3] Abuddin Nata, Al-Quran dan Hadits, Cet.VII (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2000), hal. 203
[4] Mohammad Gufran dan rahmawati, Ulumul Hadits: Praktis dan Mudah  (Yogyakarta: Penerbit Teras, 2013), hal.13
[5] Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia (Yogyakarta: Multi Kaya Grafika, t.t.), hal. 370 &387
[6] Abuddin Nata, Al-Quran dan Hadits ... ,  hal. 207
[7] Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab ... , hal.533
[8] Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadits, cet.III  (Medan: Citapustaka Media Perintis,2011), hal.32
[9]Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab ... , hal. 436
[10] Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadits ... , hal. 32
[11] Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab ... , hal. 523
[12] Abuddin Nata,  Al-Quran dan Hadits ... , hal. 213
[13] Abuddin Nata,  Al-Quran dan Hadits ... , hal. 216
[14] Mohammad Gufran dan Rahmawati, Ulumul Hadits: Praktis... ,  hal.15
[15] Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab ... , hal. 1908
[16] Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam: Permasalahan dan Fleksibilitasnya, Cet.II (Jakarta: Sinar Grafika,2004) , hal.184
[17] Abuddin Nata, Al-Quran dan Hadits ... , hal. 215
[18] Abuddin Nata, Al-Quran dan Hadits ... , hal. 205
[19] Daniel W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, terj. Jaziar Radianti dan Entin Sriani Muslim  (Bandung: Penerbit Mizan,2000),  hal.62
[20] Nuraini, S.ag, M.Ag, Otentitas Sunnah: Analisis Pemikiran Fazlur Rahman (Yogyakarta: AK Group dan Ar-Raniry Press, 2006), hal. 36-37
[21]Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadits ... , hal. 9
[22] Imam Nawawi, Terjemah Riyadhus Shalihin,  Jilid I,  Cet. IV  (Jakarta: Pustaka Amani, 1999), hal.131
[23] Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadits... , hal.10
[24] Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pedoman Shalat, Cet.VIII  (Semarang: PT Pustaka Riski Putra, 2008),  hal.90
[25] Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadits ... , hal.11
[26]Muhammad  Kholiq, “Hadits Qauliyah, Fi’liyah dan Taqririyah”, Mcholieq.blogsspot.com/2014/05/hadits-qouliyah-filiyah-dan-taqririyah.html?m=1(diakse 12 Oktober 2014)
Hadits ini dikutip dari kitab al-Sunnah al-Nabawiyah wa Makhatukha fi al-Yasyri’ karya Abas Mutawali Hamadah (Kairo: Dar alnasyi’, 1965), hal.21 dan 22
[27]Muhammad  Kholiq, “Hadits Qauliyah, Fi’liyah ...
[28] Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadits ... , hal.11
[29] Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadits ... , hal.11
[30] Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Juz IV  (Beirut-Libanon: Dar al-Fikr, 1981),  hal. 165
[31] Munzier Suparta, Ilmu Hadits  (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010), hal.21
[32] Munzier Suparta, Ilmu Hadits ... ,  hal.21 dan 22 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar