Rabu, 05 Agustus 2015

MAKALAH "Umat Islam Kenapa Dimana-mana Miskin"

Penyebab Umat Islam Miski

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Pada dasarnya setiap manusia menghendaki hidup dalam kehidupan yang tenang, tentram, berkecukupan, mapan, bahagia, dan sejahtera, meskipun tidak selamanya kemauan dan keinginan tersebut tercapai. Salah satu problem yang ada dalam masyarakat adalah masalah kemiskinan. Secara ekonomi kemiskinan dapat diartikan sebagai kekurangan sumber daya yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan seseorang, yang sifatnya sandang, pangan, kesehatan, dan lain-lain.
Masalah kemiskinan dalam problematika ekonomi menyebabkan seseorang tidak melaksanakan kegiatan produktifitasnya secara penuh, karena keterbatasan wawasan, kurangnya keterampilan, kesehatan yang buruk dan etos kerja yang rendah.  Kesehatan masyarakat yang buruk adalah pertanda rendahnya gizi masyarakat. Rendahnya gizi masyarakat adalah akibat dari rendahnya pendapatan dan terbatasnya sumber daya alam. Selanjutnya, rendahnya penguasaan ilmu pengetahuan dan tekhnologi adalah akibat dari kurangnya pendidikan, dan seterusnya berputar dalam proses yang saling terkait.
Kemiskinan merupakan kondisi hidup yang sangat memberatkan bagi yang menanggungnya. Kemiskinan juga dapat mengancam eksistensi manusia, seperti kesehatan, pendidikan dan lain-lain, sehingga apa saja bisa dipertaruhkan, termasuk aqidah sekalipun. Oleh karena itu, Islam sangat menaruh perhatian pada masalah kemiskinan, karena menyangkut keselamatan manusia.
Kemiskinan dapat mempengaruhi akidah umat. Salah satu sebab orang yang keluar dari agama adalah karena kemiskinan dan kefakiran. Islam memerintahkan umatnya untuk menjaga hubungan dengan Allah dan sesama manusia dengan dua tujuan, yaitu kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di dunia serta kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di akhirat. Secara sederhana, hablun minaalah dapat diartikan bahwa seorang muslim harus secara tulus dan ikhlas bahwa seluruh aktivitasnya hanya untuk mengabdi kepada Allah. Sedangkan hablun minannas dapat diartikan bahwa seorang muslim harus mempunyai kepedulian dengan orang lain. Pedulian dengan orang adalah keharusan agar seorang muslim merasa punya tanggungjawab untuk memberikan solusi atas permasalahan umat termasuk kemiskinan.
Pada makalah ini akan dibahas tentang apa pengertian dari kemiskinan, bagaimana islam memandang tentang kemiskinan, kenapa mayoritas umat islam itu miskin, apa bahaya dari kemiskinan itu serta bagaimana mengatasi kemiskinan.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Kemiskinan

Kemiskinan diartikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri dengan taraf kehidupan kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga mental atau fisiknya dalam kelompok tersebut. Seseorang bukan merasa miskin karena kurang sandang, pangan, papan tetapi karena harta miliknya dianggap tidak cukup untuk memenuhi taraf kehidupan yang ada.[1]
Penduduk miskin didefinisikan sebagai penduduk yang pendapatannya (didekati dengan pengeluaran) lebih kecil dari pendapatan yang dibutuhkan untuk hidup secara layak diwilayah tempat tinggalnya. Kebutuhan untuk hidup layak tersebut diterjemahkan sebagai suatu jumlah rupiah yang dapat memenuhi kebutuhan konsumsi makanan setara 2100 kilo kalori sehari, perumahan, pakaian, kesehatan, pendidikan, transportasi, dan lain-lain. Jumlah rupiah tersebut kemudian disebut dengan garis kemiskinan (GK).[2]
Terlepas dari berbagai definisi atau konsep yang dikemukakan oleh para pakar, kondisi kemiskinan dapat digambarkan melalui beberapa indikator yang disajikan melalui Indeks Kemiskinan Manusia (IKM). Menurut BPS, komponen- komponen Indeks Kemiskinan Manusia ada lima, yaitu: persentase penduduk yang meninggal sebelum usia 40 tahun, persentase buta huruf, persentase penduduk yang tidak memiliki akses ke air bersih, persentase penduduk yang jarak ke fasilitas kesehatan lebih dari 5 km, dan persentrase balita berstatus gizi kurang.[3]
Dalam sebuah Hadis Nabi menjelaskan, yang dimaksud dengan miskin yaitu orang yang sudah tercukupi kebutuhannya, tapi suka meminta-minta. Diperkuat lagi dengan berpegang pada arti kata maskanah (kemiskinan jiwa). Sedang yang disebutkan dalam Hadits shahih adalah :
ليس المسكين الذي تمرة و التمران ... و لكن المسكين الذي يتعفف (رواه البخاري)
Yang dikatakan orang miskin itu bukan karena ia menerima sebuah, dua buah kurma, tapi orang miskin itu orang yang meminta-minta.” (HR. Bukhori)
Dan demikian pula apa yang dikatakan Imam Khatabi, hadits ini menunjukkan bahwa arti miskin yang tampak dan dikenal mereka ialah peminta-minta yang berkeliling. Rasulullah SAW menghilangkan sebutan miskin bagi orang yang tidak meminta-minta, karena itu berarti sudah berkecukupan. Maka dengan demikian gugurlah sebutan miskin itu bagi dirinya. Sedang yang meminta-minta mereka berada dalam garis kebutuhan dan kemiskinan, dan mereka itu harus diberi bagian.[4]
Dalam pengertian lain kemiskinan adalah salah satu bentuk ketidak-sejahteraan. Dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang menyebut tentang kemiskinan dan petunjuk-petunjuk untuk mengatasinya. Namun dalam al-Qur’an dan Hadits tidak menetapkan angka tertentu lagi pasti sebagai ukuran kemiskinan, sehingga yang dikemukakan di atas dapat saja berubah. Namun yang pasti al-Qur’an menyebut setiap orang yang memerlukan sesuatu sebagai fakir atau miskin dan harus dibantu. Oleh karena itu pengertian miskin tergantung kepada ijtihad manusia yang selalu berubah dari masa ke masa, karena ukuran-ukuran yang dipergunakan untuk merumuskan suatu makna yang abstrak (seperti kemiskinan, misalnya) selalu berubah-ubah.[5]

B.     Pandangan Islam tentang Kemiskinan
Menurut Yusuf Qardhawi, Sikap Islam terhadap harta adalah bagian dari sikapnya terhadap kehidupan dunia. Dalam memandang dunia, Islam selalu bersikap tengah-tengah dan seimbang. Islam tidak condong kepada paham yang menolak dunia secara mutlak, yang menganggap dunia adalah sumber kejahatan yang harus dilenyapkan. Islam juga tidak condong kepada paham yang menjadikan dunia sebagai tujuan akhir, sesembahan, dan pujaan.[6]
Menurut Islam, kekayaan adalah nikmat dan anugerah Allah SWT yang harus disyukuri. Sebaliknya, dalam pandangan Islam kemiskinan sebagai masalah, bahkan musibah yang harus dilenyapkan. Dalam pandangan Islam, kemiskinan ada kecenderungan bisa mengakibatkan orang menjadi kufur.
Al-quran menyebut kata “fakir miskin” dalam banyak tempat dan pada tiap kesempatan yang berhubungan dengan hal pencaharian, harta benda, keuangan, kebaikan dan amal kebajikan. Tujuan Islam adalah menghapus kemiskinan dan mengikis habis, sehingga tidak terdapat lagi diatas bumi Allah ini orang fakir yang tersia-sia dan orang miskin yang hidup sengsara.[7]
Al-quran menyebut mereka dalam ayat yang berhubungan dengan ketentuan pembagian zakat:

* $yJ¯RÎ) àM»s%y¢Á9$# Ïä!#ts)àÿù=Ï9 ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur ……
Artinya : Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin… (At- Taubah : 60)

Dan dalam yang mengenai cara pembagian ghanimah:

* (#þqßJn=÷æ$#ur $yJ¯Rr& NçGôJÏYxî `ÏiB &äóÓx« ¨br'sù ¬! ¼çm|¡çHè~ ÉAqߧ=Ï9ur Ï%Î!ur 4n1öà)ø9$# 4yJ»tGuŠø9$#ur ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur ÇÆö/$#ur È…..@Î6¡¡9$# ÇÍÊÈ 
 
Artinya :  Ketahuilah, Sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, Maka Sesungguhnya seperlima untuk Allah, rasul, Kerabat rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil… (Al-Anfal : 41)
Islam memandang kemiskinan adalah suatu problem yang memerlukan solusi, bahkan sebagai bahaya yang mesti segera diatasi dan dicarikan jalan keluar. Dalam pengentasan kemiskinan, Islam mendahulukan langkah-langkah positif. Disisi lain Islam menganggap kekayaan sebagai suatu anugerah atau nikmat dari Allah yang perlu disyukuri, sebaliknya Islam menganggap kemiskinan sebagai suatu problem kehidupan, bahkan sebagai suatu musibah yang perlu dihindari.[8]
Begitu banyak ayat yang memuji orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah. Satu hal yang pasti, Allah SWT menegaskan bahwa harta dunia itu dijadikan sebagai ujian bagi manusia. Hal ini disebutkan dalam al-Qur’an, yaitu dalam firmanya: (QS. Al-anfāl: 28).

(#þqßJn=÷æ$#ur !$yJ¯Rr& öNà6ä9ºuqøBr& öNä.ß»s9÷rr&ur ×puZ÷GÏù žcr&ur ©!$# ÿ¼çnyYÏã íô_r& ÒOŠÏàtã ÇËÑÈ  

Artinya : Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan Sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar. (Al-Anfal: 28).
Ayat di atas tidak dapat dijadikan alasan bahwa al-Qur’an mendorong agar menjauhi dunia. Karena ditemukan sekian banyak ayat yang mendorong agar manusia memaksimalkan usahanya untuk mencari karunia Allah SWT, salah satu karunia Allah untuk hidup di dunia ini adalah harta. Diantara ayat yang mengisyaratkan perintah tersebut adalah firman Allah:

#sŒÎ*sù ÏMuŠÅÒè% äo4qn=¢Á9$# (#rãÏ±tFR$$sù Îû ÇÚöF{$# (#qäótGö/$#ur `ÏB È@ôÒsù «!$# (#rãä.øŒ$#ur ©!$# #ZŽÏWx. ö/ä3¯=yè©9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÊÉÈ 

Artinya: “Apabila shalat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di bumi; carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. al-Jumu’ah: 10)
Fadl (karunia) dalam ayat tersebut diartikan berupa rezeki hasil usaha (bisnis). Sekiranya rezeki berupa kekayaan dan kecukupan hidup itu sesuatu yang tercela, tentu Allah SWT tidak akan memerintahkan kepada orang yang beriman untuk mencarinya. Dari sini dapat dipahami mengapa al-Qur’an sejak awal menyebut bahwa salah satu bentuk karunia Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW adalah berupa kecukupan dan dihindarkan dari kekurangan.
Islam menolak kemiskinan, tidak satu pun ayat Al-Qur'an yang memuji kemiskinan dan tak sebaris pun hadits sahih Rasulullah SAW yang memujanya. Hadits-hadits yang memuji sikap zuhud di dunia bukan berarti memuji kemiskinan. Zuhud berarti memiliki sesuatu dan menggunakannya secara sederhana. Orang zahid adalah mereka yang memiliki dunia tetapi meletakkannya di tangan, bukan di dalam hatinya. Menurut Islam, kekayaan adalah nikmat dan anugerah Allah SWT yang harus disyukuri. Sebaliknya, Islam melihat kemiskinan sebagai masalah, bahkan musibah yang harus dilenyapkan.

C.    Sebab-sebab Kemiskinan Umat Islam
Kemiskinan berkaitan erat dengan kualitas sumber daya manusia, kemiskinan muncul karena sumber daya manusia tidak berkualitas. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia tidak mungkin dapat dicapai bila penduduk masih dibelenggu kemiskinan. Secara ekonomi kemiskinan dapat diartikan sebagai kekurangan sumber daya yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan sekelompok orang. Kemiskinan dapat diukur secara langsung dengan menetapkan persediaan sumber daya yang tersedia pada kelompok tertentu dan membandingkannya dengan ukuran-ukuran baku. Sumber daya yang dimaksud dalam pengertian ini mencakup konsep ekonomi yang luas tidak hanya pengertian finansial, tetapi perlu mempertimbangkan semua jenis kekayaan yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.[9]
Banyak faktor yang menyebabkan timbulnya kemiskinan, akan tetapi disini penulis hanya menjelaskan beberapa faktor yang menyebabkan kemiskinan yaitu:

  1.   Meninggalkan perintah Al-Quran dan Hadis

Puncak dari kemiskinan dan ketertinggalan umat islam sekarang dikarnakan mereka meninggalkan perintah al-quran dan hadis. Alquran merupakan kitab segala ilmu pengetahuan dan merupakan kitab suci umat Islam. Tetapi umat islam tidak pernah mengkaji ilmu-ilmu yang ada didalam alquran serta perintah-perintah yang ada didalamnya. Allah memerintahkan umat islam untuk bersedekah, untuk mengeluarkan zakat, untuk menunaikan haji yang artinya umat Islam itu harus kaya, harus memiliki harta dan bisa menolong yang lain dengan hartanya. Alquran memerintahkan umatnya untuk berfikir yang artinya umat Islam harus berilmu dan berpandangan luas, serta firman Allah dalam Al-quran yang bahwasannya “Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman dan memiliki Ilmu...”
Dalam al-quran juga terdapat ilmu pengetahuan teoritis (sains), Allah juga menebarkan Ilmu-ilmu praktis  yaitu teknologi. Hal ini dapat kita ketahui melalui Al-Quran bahwa teknologi merupakan peradaban bangsa-bangsa maju yang telah dikuasai oleh umat-umat terdahulu.[10]

  1.  Tidak ada kesadaran untuk mengeluarkan zakat

Dari semua faktor penyebab bertambah parahnya permasalahan bagi umat Islam adalah keenggangan orang kaya untuk mengeluarkan zakat. Padahal mereka tau bahwasannya zakat merupakan rukun islam. Sampai-sampai Abu Bakar mempersiapkan pasukan untuk memerangi orang yang enggan berzakat.[11]
Kemudian karena pengelolaan zakat yang tidak optimal, lebih kepada pemberian zakat secara konsumtif bukan secara produktif, sehingga masyarakat tidak berkembang ekonominya. Seharusnya zakat dikelola lebih produktif dengan memberikan alat usaha untuk meningkatkan perekonomian sehingga tidak ada lagi umat Islam yang pengangguran, yang meminta-minta dan berada dibawah garis kemiskinan

Malas bekerja
Sikap malas merupakan suatu masalah yang cukup memprihatinkan, karena masalah ini merupakan mentalitas dan kepribadian seseorang. Adanya sikap malas, seseorang bersikap acuh tak acuh dan tidak berkeinginan untuk bekerja atau bersikap pasif dalam hidupnya (sikap bersandar pada nasib). Bersikap malas akan cenderung menggantungkan hidupnya pada orang lain, baik pada keluarga, saudara atau famili yang dipandang mempunyai kemampuan untuk menanggung hidup mereka.

4.      Pendidikan yang terlampau rendah
Negara-negara Islam itu secara kualitas maupun kuantitas masih miskin sumber daya manusia, baik tenaga ahli, tenaga professional, maupun  tenaga kerja kasar sekalipun. Karena itu, Negara-negara Islam yang sedang membangun itu terpaksa harus mendatangkan tenaga ahli dari Negara-negara Barat. Tenaga professional didatangkan dari Negara-negara Islam yang lebih maju tingkat pendidikannya seperti Mesir, Pakistan dan India. Negara-negara Islam yang lebih maju pendidikannya, tetapi juga punya uang minyak seperti Iran, mendatangkan tenaga kasar dari Negara-negara Islam dan Dunia ketiga yang miskin, seperti India (punya populasi Muslim yang cukup besar) dan Bangladesh.[12]
Dewasa ini mayoritas umat Islam hidup di negara-negara dunia ketiga dalam serba keterbelakangan ekonomi dan pendidikan. Pola berpikir semacam ini biasanya sangat dipengaruhi oleh anggapan bahwa sains dan teknologi tinggi yang merupakan lambang kemajuan budaya dan peradaban bangsa dewasa ini tumbuh dan berkembang di dunia Barat yang mayoritas negera non-Muslim. Akibat pemahaman semacam ini, penjajahan Barat atas Timur semakin menguat. Padahal peradaban umat islam terdahulu termasuk maju, banyak ilmuan-ilmuan islam yang mendunia, seperti ibnu khaldun, ibnu sina dan yang lainnya.

5.      Memisahkan Ilmu agama dan Ilmu Umum
Penyebab lain kemiskinan umat Islam dikarnakan umat Islam mencoba untuk memisahkan ilmu agama dengan ilmu umum, atau memisahkan antara dunia dan akhirat yang jelas bertentangan secara diametral dengan ajaran islam yang mengajarkan konsep integrasi, monokotisme, menyatu dan tidak memisahkan kedua ruang tersebut baik umum maupun agama, dunia maupun akhirat.[13]
Dalam Islam pengembangan ilmu umum (IPTEK) bersifat integralistik dengan menjadikan tauhid sebagai landasan tumpunya. Tauhid dalam konteks ini merupakan system ajaran yang merefleksikan adanya kesatuan yaitu kesatuan penciptaan, kesatuan kemanusiaan tuntutan hidup, kesatuan tujuan hidup. Kesemua konsep kesatuan ini merupakan derivasi dari kesatuan ketuhana.[14]

6.      Terbatasnya lapangan kerja
Keterbatasan lapangan kerja akan membawa konsekuensi kemiskinan bagi masyarakat. Secara ideal banyak orang mengatakan bahwa seseorang atau masyarakat harus mampu menciptakan lapangan kerja baru, tetapi secara faktual hal tersebut kecil kemungkinannya, karena adanya keterbatasan kemampuan seseorang baik yang berupa skill maupun modal.

7.      Etos kerja yang rendah
Rendahnya etos kerja seseorang dapat disebabkan oleh berbagai faktor, misalnya kebiasaan hidup santai dan hanya suka menikmati tanpa mau bekerja keras dan faktor-faktor lainnya yang banyak ditemukan di masyarakat.

8.      Salah pemahaman terhadap ajaran agama Islam
Salah pemaaham terhadap ajaran Islam ini meliputi beberapa hal yang dianggap umum terjadi. ada beberapa faktor penyebab rendahnya tingkat ekonomi umat Islam, yang paling menonjol dan paling dasar adalah kesalahan mengamalkan ajaran Islam, yang pada awalnya akan menjadi penyebab terjadinya kemiskinan. Kesalahan ini, terutama di sebabkan oleh kesalah pahaman dalam penafsiran terhadap ajaran Islam. Praktek ajaran yang biasanya diyakini oleh mayoritas umat Islam, dan terlebih lagi mereka yang taat beragama, tidak menyentuh tuntutan kemajuan ekonomi di dunia, yaitu ajaran-ajaran yang pada intinya menjauh dari hiruk pikuk keduniaan dan memfokuskan pada keakheratan berupa ibadah murni.
Salah faham ini otomatis berakibat salah praktek terhadap beberapa ajaran. Praktek yang keliru terhadap beberapa ajaran Islam sering terjadi di tengah-tengah umat. Ini berupa ungkapan-ungkapan atau istilah sehari-hari, seperti istilah sabar, qana’ah, tawakkal, zuhud dan sesamanya. Istilah-istilah ini dalam praktek sehari-hari umat Islam sering di jadikan landasan hidup, seolah memberikan justifikasi terhadap apa yang di lakukan. Namun, sayangnya berkonotasi negatif, lamban, terbelakang, kemalasan, dan semacamnya. Padahal arti yang sebenarnya harus berkonotasi positif, tidak menghambat kemajuan ekonomi dan perkembangannya. Ajaran tersebut yaitu:
a.       Sabar
Sikap Sabar yang terjadi di tengah-tengah masyarakat di anggap sebagai sikap yang tidak cepat-cepat, sehingga identik dengan lamban. Padahal, seharusnya sabar hendaknya di fahami sebagai sikap tangguh, pantang menyerah, teliti, tabah, sehingga tidak mudah putus asa. Sabar berarti poses untuk keberhasilan, yang tidak mengenal kegagalan. Jika sabar di artikan lamban akan tidak sesuai dengan firman Allah SWT: Inna Allāha ma’ashabirīn (Allah bersama orang-orang yang sabar). Mari kita perhatikan salah satu contoh ayat yang menyebutkan sabar, yaitu QS. Ali-Imran: 146
ûÉiïr'x.ur `ÏiB %cÓÉ<¯R Ÿ@tG»s% ¼çmyètB tbqÎn/Í ×ŽÏWx. $yJsù (#qãZydur !$yJÏ9 öNåku5$|¹r& Îû È@Î6y «!$# $tBur (#qàÿãè|Ê $tBur (#qçR%s3tGó$# 3 ª!$#ur =Ïtä tûïÎŽÉ9»¢Á9$# ÇÊÍÏÈ  
Artinya : Dan berapa banyaknya Nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut (nya) yang bertakwa. mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar.

Ungkapan sabar dalam ayat di deskripsikan dengan ‘tidak menjadi lemah’, tidak lesu, tidak menyerah. Ini berarti bahwa sabar kebalikan ungkapan-ungkapan lemah itu, sehingga berupa orang yang teguh, gagah berani, lincah, energic, dan tidak mau cepat menyerah. Sabar yang di ajarkan kepada umat Islam seharusnya uraian seperti yang tersebut di dalam ayat tadi di atas, meskipun ayat itu tidak semata-mata langsung kepada umat Nabi Muhammad. Kaitannya dengan pengembangan ekonomi masyarakat, sabar berarti tidak cepat menyerah dalam berusaha, sabar harus mencakup ulet, tekun, tangguh dan teguh terhadap cobaan dan ujian apa saja dan selalu akan berusaha sampai berhasil.

b.      Tawakal
Tawakal di pahami dengan sikap menyerahkan dirinya dan cita-citanya kepada keadaan, tanpa ada perlu usaha maksimal atau berarti fatalis. Usaha maksimal di anggapnya hanya sia-sia. Pemahaman seperti ini jelas keliru, karena tawakal seharusnya di pahami sebagai sikap akhir setelah bekerja dan berusaha keras secara maksimal yang dilakukan tidak hanya sekali. Setelah usaha seperti ini, maka dengan  bekal iman kepada Allah, keberhasilan akhirnya tidak selalu di tentukan oleh dirinya. Dengan sikap tawakal seperti ini, maka akan terhidar sikap frustasi. Adalah keliru kalau menempatkan sikap tawakal sebelum adanya usaha yang sangat maksimal. Jadi, tawakal bisa untuk menjadi perisai diri dari sikap frustasi, bukan menjadi penangkal usaha maksimal, sekedar mengelabuhi kemalasan. Tawakal yang benar adalah usaha yang maksimal, baru menyerahkan segala sesuatunya kepada Allah.

c.       Zuhud
Penyebab kemiskinan yang di sebabkan karena salah faham terhadap ajaran Islam, salah satunya adalah pemahaman tentang pengertian zuhud dengan maksud membenci kehidupan duniawi secara keseluruhan dan berpaling pada kehidupan ukhrawi, dan dipahami juga sebagai anti-keduniaan atau anti-harta. Pemahaman zuhud seperti ini jelas kurang sesuai dengan Al-Qur’an yang dengan jelas mengajarkan kepada umat manusia agar mencari kebahagiaan di kampung akhirat melalui karunia Allah yang di anugerahkan-Nya kepada mereka di dunia ini. Di samping itu, mereka juga di ingatkan supaya tidak mengabaikan kesejahteraan dan kebahagiaan hidup di dunia, bahkan orang yang tidak mengindahkan kehidupan di muka bumi ini dipandang oleh Tuhan sebagai orang yang berbuat kerusakan di atasnya.[15]
Namun, kalau kita perhatikan dalam sejarah, termasuk sejarah tokoh tasawuf, tidak sedikit mereka yang kaya, termasuk Al- Ghazali. Nabi sendiri menggunakan kuda, unta, dan bahkan juga makanan tergolong yang baik yang berarti termahal. Barang-barang termahal hanyalah dapat diperoleh hanya dengan harta atau kekayaan yang lebih banyak. Oleh karena itu, seharusnya dipahami bahwa zuhud adalah anti keserakahan. Untuk itu zuhud disini diartikan dengan meninggalkan hal-hal yang menyebabkan jauh dari Allah. bukan meninggalkan harta. Dengan demikian, zuhud dapat dipraktekkan oleh mereka yang bekerja keras dan kaya. Namun kekayaannya diperoleh dengan cara yang benar dan etis, demikian pula penggunaannya juga untuk kebaikan, kemaslahatan dan ibadah, bukan kemaksiatan.[16]

D.    Bahaya kemiskinan
Masalah yang dihadapi oleh umat Islam di dunia salah satunya adalah kemiskinan. Kemiskinan membawa pada kehinaan yang dilarang dalam islam, dan menjadi sumber kejahatan dalam seluruh aspek kehidupan sosial-ekonomi.
Kemiskinan menyakiti anak-anak dalam berbagai cara yang halus. Anak-anak miskin mengalami masalah kesehatan yang lebih parah biasanya karena kurangnya perawatan medis. Bahaya dari semua ini, bahwasannya kemiskinan menjadi siklus pengabdian diri. Kondisi ini menempatkan anak-anak pada kelemahan secara langsung. Mereka tunduk pada berbagai kesulitan sekolah (boleh jadi memuncak pada mereke putus sekolah), harga diri yang rendah, prilaku yang bermasalah, peluang kerja terbatas, dan bertemu dengan masalah hukum, serta tidak menentunya pekerjaan.
Kemiskinan dapat berdampak negatif bagi seseorang yang mengalaminya diantaranya yaitu:

1.      Kemiskinan Membahayakan Akidah
Tidak dapat dipungkiri bahwa kemiskinan merupakan penyakit yang amat berbahaya bagi keselamatan dan keutuhan aqidah, terutama jika si miskin hidup di lingkungan orang-orang kaya yang sama sekali tidak peduli dengan nasib mereka. Lebih-lebih jika si miskin termasuk orang yang sudah mati-matian bekerja keras (tetapi nasib tidak juga berubah). Sementara si kaya nampak hanya duduk-duduk saja. Dalam keadaan seperti itu, kemiskinan cenderung merasakan semacam keragu-raguan untuk mempertanyakan kebijaksanaan dan keadilan Tuhan dalam mendistribusikan harta kepada umat manusia.[17]
Rasulullah bersabda, bahwasannya kefakiran itu mendekatkan pada kekufuran. Oleh karena itu, Islam sangat menaruh perhatian pada masalah kemiskinan, karena menyangkut keselamatan manusia.

2.      Kemiskinan Membahayakan Akhlak dan Moral
Kemiskinan bisa berdampak negatif terhadap perilaku dan moral seseorang. Kesengsaraan dan kepedihan hidup yang di derita oleh orang miskin, apalagi orang-orang di sekitarnya hidup dalam serba berkecukupan sering menjadi stimulus negatif untuk melakukan tindakan-tindakan yang tidak terpuji. Wajar kalau kemudian banyak pakar mengatakan: Shaut al-ma’iddah aqwa min shaut al-dhamīr (bunyi perut yang keroncongan karena lapar lebih nyaring/ bisa mengalahkan suara hati nurani). Dan akan lebih berbahaya lagi, apabila frustasi dan kekecewaan mereka sudah tidak bisa di kuasai lagi, maka akan timbul suatu sikap masa bodoh terhadap nilai-nilai etika dan kemantapan sendi-sendinya, dan pada akhirnya akan menjurus untuk mengabaikan nilai-nilai agama.[18]

3.      Kemiskinan Mengancam Kestabilan Pemikiran
Problem kemiskinan tidak hanya berdampak negatif pada aspek moral spiritual saja, melainkan juga akan menggangu dan mempengaruhi pikiran seseorang. Karena seseorang yang tidak sanggup menutupi kebutuhan hidupnya, keluarganya dan anak-anaknya, bagaimana ia dapat berfikir dengan cermat.[19]
Menurut pandangan penulis bahwa bahaya kefakiran sangat besar yaitu dapat menyebabkan seseorang putus asa, rendah diri, berbuat jahat, mudah iri hati, sulit mensyukuri nikmat dan karunia yang telah diberikan Allah. Kondisi ini jelas bisa berakibat bergesernya akidah, dan rapuhnya keimaan. Apabila kemiskinan sudah bergeser pada perilaku jahat maka kondisi akhlak orang itu pun menjadi orang yang tidak berakhlak, bahkan pada gilirannya kemiskinan dapat memporak porandakan rumah tangga. Tidak sedikit perceraian yang diakibatkan oleh persoalan kekurangan dalam ekonomi.

E.     Cara Mengatasi Kemiskinan
Islam memaklumatkan perang melawan kemiskinan demi keselamatan akidah, moral, dan akhlak umat manusia. Langkah ini diambil untuk melindungi keluarga dan masyarakat serta menjamin keharmonisan dan persaudaraan di antara anggotanya. Islam menghendaki setiap individu hidup di tengah masyarakat secara layak sebagai manusia. Sekurangkurangnya, ia dapat memenuhi kebutuhan pokok berupa sandang dan pangan, memperoleh pekerjaan sesuai dengan keahliannya, atau membina rumah tangga dengan bekal yang cukup. Tegasnya, bagi setiap orang harus tersedia tingkat kehidupan yang sesuai dengan kondisinya. Dengan demikian, ia mampu melaksanakan berbagai kewajiban yang dibebankan Allah dari berbagai tugas lainnya. la tidak akan menjadi gelandangan yang tidak memiliki apa-apa. Dalam masyarakat Islam, seseorang tidak boleh dibiarkan, walaupun ia ahlu dzimmah (non-Muslim yang hidup dalam masyarakat Islam) seperti, kelaparan, tanpa pakaian, hidup menggelandang, tidak memiliki tempat tinggal, atau kehilangan kesempatan membina keluarga.[20]
Ada beberapa usaha yang dapat dilakukan untuk mengentaskan kemiskinan, yaitu:
1.      Bekerja Keras
Bekerja keras merupakan sikap yang diperintahkan dalam Islam, banyak ayat dan hadis yang menganjurkan umat islam untuk terus berusaha dan tidak mudah putus asa.
Seorang manusia tidak diperkenankan bermalas-malasan sehingga menjadi gelandangan peminta-minta. Berusahalah dengan sekuatnya, kemudian berserah diri kepada Allah SWT. Jika usaha maksimal tidak berhasil, itu mungkin nasib yang telah ditentukan oleh Allah SWT yang wajib diterima, namun dengan tetap mencoba dan mencoba lagi dengan memperbaiki kegagalan yang telah terjadi secara maksimal.[21]

2.      Menguasai Ilmu pengetahuan dan Teknologi
Kita lihat sekarang, Negara-negara dibelahan dunia lain maju dikarnakan mereka menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, hal ini kita ketahui melalui Al-quran bahwasannya teknologi merupakan peradaban bangsa-bangsa maju yang telah dikuasai umat-umat terdahulu.
Pada dasarnya ilmu pengetahuan dan teknologi berasal dari dunia Islam, sampai pada akhirnya runtuhnya teologi mu’tazilah dan dimulainya masa kemunduran islam setelah penyerangan oleh tentara mongol sampai pada akhirnya barat ‘mencuri’ khazanah keilmuan yang pernah dikuasai umat islam beberapa abad silam. Itulah yang menyebabkan Negara-negara barat maju karena mereka menguasai IPTEK.
Dalam hal ini, kenyataan menunjukkan bahwa IPTEK yang ditemukan ddan dikembangkan di Barat pada abad modern ini memegang peranan penting dalam konstalasi perkembangan keilmuan diberbagai belahan dunia.[22] Oleh sebab itu, seharusnya Umat Islam juga lebih giat dalam menuntut ilmu dan maju dalam bidang teknologi sehingga tidak dijajah oleh imperialisme maupun kolonialisme negara lain.

3.      Pengelolaan Zakat yang Baik
Zakat merupakan salah satu sumber pendapatan islam yang terbesar yang bisa digunakan untuk menunjang perekonomian umat. Pengelolaan zakat yang baik, profesional dan produktif mampu mengentaskan kemiskinan yang menjerat umat Islam. Karena suatu negara pernah majuan perekonomian karena pengelolaan zakat yang baik, yaitu pada masa pemerintahan Umar nin Abdul Azis.




DAFTAR PUSTAKA

‘Aidh Abdullah Al-Qarni, “Masyarakat Idaman”, Depok: Pustaka Nauka, 2006

A.M Saifuddin, Islamisasi Pengetahuan, Bandung: Mizan, 1991

A.Qodry Azizi, “Membangun Fondasi Ekonomi Umat Meneropong prospek berkembangnya Ekonomi Islam”, Solo: Pustaka Pelajar, 2004.

Agus Mustofa, Membonsai Islam, Surabaya : PADMA press, 2006

Amin Syukur, dkk., “Teologi Islam Terapan; Upaya Antisipatif Terhadap Hedonisme Kehidupan Modern”, Solo: PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2003.

Assaiyid sabiq, “Sumber Kekuatan Islam”, Surabaya: PT. Bina lmu Offset, 1982.

Hadiyah Salim, Apa Arti Hidup, Bandung: al-Ma’arif, 2009.

Imam Musbikin, Rahasia Puasa Bagi Kesehatan Fisik dan Psikis, Yogyakarta : Mitra Pustaka, 2004

Indikator Kesejahteraan Rakyat, Jakarta: Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, 2006.

M. Amien Rais, Cakrawala Islam : Antara Cita dan Fakta, Bandung : Mizan, 1989

M. Quraish Shihab, “Wawasan Al-Qur’an”, Bandung: Mizan, 1999.

M. Umer Chapra, “Islam dan tantangan ekonomi: Islamisasi Ekonomi Kontemporer”, Surabaya: Risalah Gusti, 1999.

Suryono Soekanto, “Sosiologi Suatu Penganta”, Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2002.

Syahrin Harahap, Penegakan Moral Akademik di Dalam dan Luar Kampus, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005


Tadjuddin Noer Effendi, Sumber daya manusia, Peluang Kerja dan Kemiskinan, Yogyakarta :Tiara Wacana,  1995

Yusuf Qardhawi, “Hukum Zakat”, Jakarta: Lintera Internusa, 2002

Yusuf Qardhawi, Kiat Islam Mengentaskan Kemiskinan, Jakarta: Gema Insani Press, 1995.

Yusuf Qardhawi,  Norma dan Etika Ekonomi Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 1997

Yusuf Qardhawi, “Teologi Kemiskinan, Doktrin Dasar dan Solusi Islam Atas Problem Kemiskinan”, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2002.




        [1] Suryono Soekanto, “Sosiologi Suatu Pengantar”, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2002), hal. 366.
[2] Indikator Kesejahteraan Rakyat, (Jakarta: Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, 2006), hal. 39
[3] Ibid., hal. 41
[4] Yusuf Qardhawi, “Hukum Zakat”, (Jakarta: Lintera Internusa, 2002), cet. 6, hal. 513.
[5] M. Quraish Shihab, “Wawasan Al-Qur’an”, (Bandung: Mizan, 1998), cet. 7, hlm. 449.
[6] Yusuf Qardhawi,  Norma dan Etika Ekonomi Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), hal. 72
[7]Assaiyid sabiq, “Sumber Kekuatan Islam”, cet 2, (Surabaya: PT. Bina lmu Offset, 1982), hal. 166
[8] Yusuf Qardhawi, “Teologi Kemiskinan, Doktrin Dasar dan Solusi Islam Atas Problem Kemiskinan”, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2002),  hlm. 16
[9] Tadjuddin Noer Effendi, Sumber daya manusia, Peluang Kerja dan Kemiskinan, (Yogyakarta :Tiara Wacana,  1995), hlm. 249
[10] Agus Mustofa, Membonsai Islam, (Surabaya : PADMA press, 2006), hal. 76
[11] ‘Aidh Abdullah Al-Qarni, “Masyarakat Idaman”, (Depok: Pustaka Nauka, 2006), hal. 155
[12] M. Umer Chapra, “Islam dan tantangan ekonomi: Islamisasi Ekonomi Kontemporer”, (Surabaya: Risalah Gusti, 1999),  hal. ix
[13] A.M Saifuddin, Islamisasi Pengetahuan, (Bandung: Mizan, 1991), hal. 103
[14] M. Amien Rais, Cakrawala Islam : Antara Cita dan Fakta, (Bandung : Mizan, 1989), hal. 18
[15] Amin Syukur, dkk., “Teologi Islam Terapan; Upaya Antisipatif Terhadap Hedonisme Kehidupan Modern”, (Solo: PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2003),  hlm. 63
[16] A. Qodry Azizi, “Membangun Fondasi Ekonomi Umat (Meneropong prospek berkembangnya Ekonomi Islam)”, (Solo: Pustaka Pelajar, 2004),  hlm. 37
[17] Yusuf Qardhawi, Teologi Kemiskinan,…  hlm. 18-19
[18] Yusuf Qardhawi, Teologi Kemiskinan,… hlm. 21
[19] Imam Musbikin, Rahasia Puasa Bagi Kesehatan Fisik dan Psikis, (Yogyakarta : Mitra Pustaka, 2004), hal. 192
[20] Yusuf Qardhawi, Kiat Islam Mengentaskan Kemiskinan, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), hal. 50.
[21] Hadiyah Salim, Apa Arti Hidup, Bandung: al-Ma’arif, 2009, hlm. 161.
[22] Syahrin Harahap, Penegakan Moral Akademik di Dalam dan Luar Kampus, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), hal. 132

Tidak ada komentar:

Posting Komentar