Penyebab Umat Islam Miski
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pada dasarnya setiap manusia menghendaki hidup dalam kehidupan yang
tenang, tentram, berkecukupan, mapan, bahagia, dan sejahtera, meskipun tidak
selamanya kemauan dan keinginan tersebut tercapai. Salah satu problem yang ada
dalam masyarakat adalah masalah kemiskinan. Secara ekonomi kemiskinan dapat
diartikan sebagai kekurangan sumber daya yang dapat digunakan untuk
meningkatkan kesejahteraan seseorang, yang sifatnya sandang, pangan, kesehatan,
dan lain-lain.
Masalah kemiskinan dalam problematika ekonomi menyebabkan seseorang
tidak melaksanakan kegiatan produktifitasnya secara penuh, karena keterbatasan
wawasan, kurangnya keterampilan, kesehatan yang buruk dan etos kerja yang
rendah. Kesehatan masyarakat yang buruk
adalah pertanda rendahnya gizi masyarakat. Rendahnya gizi masyarakat adalah
akibat dari rendahnya pendapatan dan terbatasnya sumber daya alam. Selanjutnya,
rendahnya penguasaan ilmu pengetahuan dan tekhnologi adalah akibat dari
kurangnya pendidikan, dan seterusnya berputar dalam proses yang saling terkait.
Kemiskinan merupakan kondisi hidup yang sangat memberatkan bagi
yang menanggungnya. Kemiskinan juga dapat mengancam eksistensi manusia, seperti
kesehatan, pendidikan dan lain-lain, sehingga apa saja bisa dipertaruhkan,
termasuk aqidah sekalipun. Oleh karena itu, Islam sangat menaruh perhatian pada
masalah kemiskinan, karena menyangkut keselamatan manusia.
Kemiskinan dapat mempengaruhi akidah umat. Salah satu sebab orang
yang keluar dari agama adalah karena kemiskinan dan kefakiran. Islam
memerintahkan umatnya untuk menjaga hubungan dengan Allah dan sesama manusia
dengan dua tujuan, yaitu kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di dunia serta
kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di akhirat. Secara sederhana, hablun minaalah
dapat diartikan bahwa seorang muslim harus secara tulus dan ikhlas bahwa
seluruh aktivitasnya hanya untuk mengabdi kepada Allah. Sedangkan hablun
minannas dapat diartikan bahwa seorang muslim harus mempunyai kepedulian dengan
orang lain. Pedulian dengan orang adalah keharusan agar seorang muslim merasa
punya tanggungjawab untuk memberikan solusi atas permasalahan umat termasuk
kemiskinan.
Pada makalah ini akan dibahas tentang apa pengertian dari
kemiskinan, bagaimana islam memandang tentang kemiskinan, kenapa mayoritas umat
islam itu miskin, apa bahaya dari kemiskinan itu serta bagaimana mengatasi
kemiskinan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Kemiskinan
Kemiskinan diartikan sebagai suatu
keadaan dimana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri dengan taraf
kehidupan kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga mental atau
fisiknya dalam kelompok tersebut. Seseorang bukan merasa miskin karena kurang
sandang, pangan, papan tetapi karena harta miliknya dianggap tidak cukup untuk
memenuhi taraf kehidupan yang ada.[1]
Penduduk miskin didefinisikan sebagai penduduk yang
pendapatannya (didekati dengan pengeluaran) lebih kecil dari pendapatan yang dibutuhkan
untuk hidup secara layak diwilayah tempat tinggalnya. Kebutuhan untuk hidup
layak tersebut diterjemahkan sebagai suatu jumlah rupiah yang dapat memenuhi
kebutuhan konsumsi makanan setara 2100 kilo kalori sehari, perumahan, pakaian,
kesehatan, pendidikan, transportasi, dan lain-lain. Jumlah rupiah tersebut
kemudian disebut dengan garis kemiskinan (GK).[2]
Terlepas dari berbagai definisi atau konsep yang
dikemukakan oleh para pakar, kondisi kemiskinan dapat digambarkan melalui
beberapa indikator yang disajikan melalui Indeks Kemiskinan Manusia (IKM).
Menurut BPS, komponen- komponen Indeks Kemiskinan Manusia ada lima, yaitu:
persentase penduduk yang meninggal sebelum usia 40 tahun, persentase buta
huruf, persentase penduduk yang tidak memiliki akses ke air bersih, persentase
penduduk yang jarak ke fasilitas kesehatan lebih dari 5 km, dan persentrase
balita berstatus gizi kurang.[3]
Dalam sebuah Hadis Nabi menjelaskan, yang dimaksud dengan
miskin yaitu orang yang sudah tercukupi kebutuhannya, tapi suka meminta-minta.
Diperkuat lagi dengan berpegang pada arti kata maskanah (kemiskinan jiwa). Sedang yang
disebutkan dalam Hadits shahih adalah :
ليس المسكين الذي تمرة و التمران ... و لكن
المسكين الذي يتعفف (رواه البخاري)
“Yang dikatakan orang miskin itu
bukan karena ia menerima sebuah, dua buah kurma, tapi orang miskin itu orang
yang meminta-minta.” (HR. Bukhori)
Dan demikian pula apa yang dikatakan Imam Khatabi, hadits
ini menunjukkan bahwa arti miskin yang tampak dan dikenal mereka ialah
peminta-minta yang berkeliling. Rasulullah SAW menghilangkan sebutan miskin
bagi orang yang tidak meminta-minta, karena itu berarti sudah berkecukupan.
Maka dengan demikian gugurlah sebutan miskin itu bagi dirinya. Sedang yang
meminta-minta mereka berada dalam garis kebutuhan dan kemiskinan, dan mereka
itu harus diberi bagian.[4]
Dalam pengertian lain kemiskinan adalah salah satu bentuk
ketidak-sejahteraan. Dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang menyebut tentang
kemiskinan dan petunjuk-petunjuk untuk mengatasinya. Namun dalam al-Qur’an dan
Hadits tidak menetapkan angka tertentu lagi pasti sebagai ukuran kemiskinan,
sehingga yang dikemukakan di atas dapat saja berubah. Namun yang pasti al-Qur’an
menyebut setiap orang yang memerlukan sesuatu sebagai fakir atau miskin dan
harus dibantu. Oleh karena itu pengertian miskin tergantung kepada ijtihad
manusia yang selalu berubah dari masa ke masa, karena ukuran-ukuran yang
dipergunakan untuk merumuskan suatu makna yang abstrak (seperti kemiskinan,
misalnya) selalu berubah-ubah.[5]
B. Pandangan Islam tentang Kemiskinan
Menurut Yusuf Qardhawi, Sikap Islam
terhadap harta adalah bagian dari sikapnya terhadap kehidupan dunia. Dalam
memandang dunia, Islam selalu bersikap tengah-tengah dan seimbang. Islam tidak
condong kepada paham yang menolak dunia secara mutlak, yang menganggap dunia
adalah sumber kejahatan yang harus dilenyapkan. Islam juga tidak condong kepada
paham yang menjadikan dunia sebagai tujuan akhir, sesembahan, dan pujaan.[6]
Menurut Islam, kekayaan adalah nikmat
dan anugerah Allah SWT yang harus disyukuri. Sebaliknya, dalam pandangan Islam
kemiskinan sebagai masalah, bahkan musibah yang harus dilenyapkan. Dalam
pandangan Islam, kemiskinan ada kecenderungan bisa mengakibatkan orang menjadi
kufur.
Al-quran menyebut kata “fakir
miskin” dalam banyak tempat dan pada tiap kesempatan yang berhubungan dengan
hal pencaharian, harta benda, keuangan, kebaikan dan amal kebajikan. Tujuan
Islam adalah menghapus kemiskinan dan mengikis habis, sehingga tidak terdapat
lagi diatas bumi Allah ini orang fakir yang tersia-sia dan orang miskin yang
hidup sengsara.[7]
Al-quran menyebut mereka dalam
ayat yang berhubungan dengan ketentuan pembagian zakat:
* $yJ¯RÎ) àM»s%y¢Á9$# Ïä!#ts)àÿù=Ï9 ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur ……
Artinya
: Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang
miskin… (At- Taubah : 60)
Dan dalam yang mengenai cara pembagian
ghanimah:
* (#þqßJn=÷æ$#ur $yJ¯Rr& NçGôJÏYxî `ÏiB &äóÓx« ¨br'sù ¬! ¼çm|¡çHè~ ÉAqߧ=Ï9ur Ï%Î!ur 4n1öà)ø9$# 4yJ»tGuø9$#ur ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur ÇÆö/$#ur È…..@Î6¡¡9$# ÇÍÊÈ
Artinya
: Ketahuilah, Sesungguhnya apa saja yang
dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, Maka Sesungguhnya seperlima untuk
Allah, rasul, Kerabat rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil…
(Al-Anfal : 41)
Islam memandang kemiskinan adalah
suatu problem yang memerlukan solusi, bahkan sebagai bahaya yang
mesti segera diatasi dan dicarikan jalan keluar. Dalam pengentasan
kemiskinan, Islam mendahulukan langkah-langkah positif. Disisi lain Islam
menganggap kekayaan sebagai suatu anugerah atau nikmat dari Allah yang
perlu disyukuri, sebaliknya Islam menganggap kemiskinan sebagai
suatu problem kehidupan, bahkan sebagai suatu musibah yang perlu
dihindari.[8]
Begitu banyak ayat yang memuji orang yang menginfakkan hartanya di
jalan Allah. Satu hal yang pasti, Allah SWT menegaskan bahwa harta dunia itu
dijadikan sebagai ujian bagi manusia. Hal ini disebutkan dalam al-Qur’an, yaitu
dalam firmanya: (QS. Al-anfāl: 28).
(#þqßJn=÷æ$#ur !$yJ¯Rr& öNà6ä9ºuqøBr& öNä.ß»s9÷rr&ur ×puZ÷GÏù cr&ur ©!$# ÿ¼çnyYÏã íô_r& ÒOÏàtã ÇËÑÈ
Artinya
: Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan
dan Sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar. (Al-Anfal: 28).
Ayat di atas tidak dapat dijadikan alasan bahwa al-Qur’an mendorong
agar menjauhi dunia. Karena ditemukan sekian banyak ayat yang mendorong agar
manusia memaksimalkan usahanya untuk mencari karunia Allah SWT, salah satu
karunia Allah untuk hidup di dunia ini adalah harta. Diantara ayat yang
mengisyaratkan perintah tersebut adalah firman Allah:
#sÎ*sù ÏMuÅÒè% äo4qn=¢Á9$# (#rãϱtFR$$sù Îû ÇÚöF{$# (#qäótGö/$#ur `ÏB È@ôÒsù «!$# (#rãä.ø$#ur ©!$# #ZÏWx. ö/ä3¯=yè©9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÊÉÈ
Artinya:
“Apabila shalat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di bumi; carilah
karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS.
al-Jumu’ah: 10)
Fadl (karunia) dalam
ayat tersebut diartikan berupa rezeki hasil usaha (bisnis). Sekiranya rezeki
berupa kekayaan dan kecukupan hidup itu sesuatu yang tercela, tentu Allah SWT
tidak akan memerintahkan kepada orang yang beriman untuk mencarinya. Dari sini
dapat dipahami mengapa al-Qur’an sejak awal menyebut bahwa salah satu bentuk
karunia Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW adalah berupa kecukupan
dan dihindarkan dari kekurangan.
Islam
menolak kemiskinan, tidak satu pun ayat Al-Qur'an yang memuji kemiskinan dan tak
sebaris pun hadits sahih Rasulullah SAW yang memujanya. Hadits-hadits yang
memuji sikap zuhud di dunia bukan berarti memuji kemiskinan. Zuhud berarti
memiliki sesuatu dan menggunakannya secara sederhana. Orang zahid adalah mereka
yang memiliki dunia tetapi meletakkannya di tangan, bukan di dalam hatinya.
Menurut Islam, kekayaan adalah nikmat dan anugerah Allah SWT yang harus
disyukuri. Sebaliknya, Islam melihat kemiskinan sebagai masalah, bahkan musibah
yang harus dilenyapkan.
C. Sebab-sebab
Kemiskinan Umat Islam
Kemiskinan berkaitan erat dengan kualitas sumber daya manusia, kemiskinan muncul karena
sumber daya manusia tidak berkualitas. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia tidak mungkin dapat
dicapai bila penduduk
masih dibelenggu kemiskinan. Secara ekonomi kemiskinan dapat diartikan sebagai kekurangan
sumber daya yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan sekelompok orang. Kemiskinan dapat
diukur secara langsung
dengan menetapkan persediaan sumber daya yang tersedia pada kelompok tertentu dan membandingkannya
dengan ukuran-ukuran baku. Sumber
daya yang dimaksud dalam pengertian ini mencakup konsep ekonomi yang luas tidak hanya
pengertian finansial, tetapi perlu mempertimbangkan semua jenis kekayaan yang dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.[9]
Banyak faktor
yang menyebabkan timbulnya kemiskinan, akan tetapi disini penulis hanya
menjelaskan beberapa faktor yang menyebabkan kemiskinan yaitu:
- Meninggalkan perintah Al-Quran dan Hadis
Puncak dari kemiskinan
dan ketertinggalan umat islam sekarang dikarnakan mereka meninggalkan perintah
al-quran dan hadis. Alquran merupakan kitab segala ilmu pengetahuan dan
merupakan kitab suci umat Islam. Tetapi umat islam tidak pernah mengkaji
ilmu-ilmu yang ada didalam alquran serta perintah-perintah yang ada didalamnya.
Allah memerintahkan umat islam untuk bersedekah, untuk mengeluarkan zakat,
untuk menunaikan haji yang artinya umat Islam itu harus kaya, harus memiliki
harta dan bisa menolong yang lain dengan hartanya. Alquran memerintahkan
umatnya untuk berfikir yang artinya umat Islam harus berilmu dan berpandangan
luas, serta firman Allah dalam Al-quran yang bahwasannya “Allah akan
meninggikan derajat orang-orang yang beriman dan memiliki Ilmu...”
Dalam al-quran juga
terdapat ilmu pengetahuan teoritis (sains), Allah juga menebarkan Ilmu-ilmu
praktis yaitu teknologi. Hal ini dapat
kita ketahui melalui Al-Quran bahwa teknologi merupakan peradaban bangsa-bangsa
maju yang telah dikuasai oleh umat-umat terdahulu.[10]
- Tidak ada kesadaran untuk mengeluarkan zakat
Dari semua faktor
penyebab bertambah parahnya permasalahan bagi umat Islam adalah keenggangan
orang kaya untuk mengeluarkan zakat. Padahal mereka tau bahwasannya zakat
merupakan rukun islam. Sampai-sampai Abu Bakar mempersiapkan pasukan untuk
memerangi orang yang enggan berzakat.[11]
Kemudian karena
pengelolaan zakat yang tidak optimal, lebih kepada pemberian zakat secara
konsumtif bukan secara produktif, sehingga masyarakat tidak berkembang ekonominya.
Seharusnya zakat dikelola lebih produktif dengan memberikan alat usaha untuk
meningkatkan perekonomian sehingga tidak ada lagi umat Islam yang pengangguran,
yang meminta-minta dan berada dibawah garis kemiskinan
. Malas bekerja
Sikap malas merupakan suatu masalah yang
cukup memprihatinkan, karena masalah ini
merupakan mentalitas dan kepribadian seseorang. Adanya sikap malas,
seseorang bersikap acuh tak acuh dan tidak berkeinginan untuk bekerja
atau bersikap pasif dalam hidupnya (sikap bersandar pada nasib).
Bersikap malas akan cenderung menggantungkan hidupnya pada orang lain, baik
pada keluarga, saudara atau famili yang dipandang mempunyai
kemampuan untuk menanggung hidup mereka.
4. Pendidikan yang terlampau rendah
Negara-negara Islam itu secara
kualitas maupun kuantitas masih miskin sumber daya manusia, baik tenaga ahli,
tenaga professional, maupun tenaga kerja
kasar sekalipun. Karena itu, Negara-negara Islam yang sedang membangun itu
terpaksa harus mendatangkan tenaga ahli dari Negara-negara Barat. Tenaga
professional didatangkan dari Negara-negara Islam yang lebih maju tingkat
pendidikannya seperti Mesir, Pakistan dan India. Negara-negara Islam yang lebih
maju pendidikannya, tetapi juga punya uang minyak seperti Iran, mendatangkan
tenaga kasar dari Negara-negara Islam dan Dunia ketiga yang miskin, seperti
India (punya populasi Muslim yang cukup besar) dan Bangladesh.[12]
Dewasa ini mayoritas umat
Islam hidup di negara-negara dunia ketiga dalam serba keterbelakangan ekonomi
dan pendidikan. Pola berpikir semacam ini biasanya sangat dipengaruhi oleh
anggapan bahwa sains dan teknologi tinggi
yang merupakan lambang kemajuan budaya dan peradaban bangsa dewasa ini tumbuh
dan berkembang di dunia Barat yang mayoritas negera non-Muslim. Akibat
pemahaman semacam ini, penjajahan
Barat atas Timur semakin menguat. Padahal peradaban
umat islam terdahulu termasuk maju, banyak ilmuan-ilmuan islam yang mendunia,
seperti ibnu khaldun, ibnu sina dan yang lainnya.
5. Memisahkan Ilmu agama dan Ilmu
Umum
Penyebab lain kemiskinan umat Islam dikarnakan umat Islam mencoba untuk memisahkan ilmu
agama dengan ilmu umum, atau memisahkan antara dunia dan akhirat yang jelas
bertentangan secara diametral dengan ajaran islam yang mengajarkan konsep
integrasi, monokotisme, menyatu dan tidak memisahkan kedua ruang tersebut baik
umum maupun agama, dunia maupun akhirat.[13]
Dalam Islam pengembangan ilmu umum (IPTEK)
bersifat integralistik dengan menjadikan tauhid sebagai landasan tumpunya.
Tauhid dalam konteks ini merupakan system ajaran yang merefleksikan adanya
kesatuan yaitu kesatuan penciptaan, kesatuan kemanusiaan tuntutan
hidup, kesatuan tujuan hidup. Kesemua konsep kesatuan ini merupakan derivasi
dari kesatuan ketuhana.[14]
6. Terbatasnya lapangan kerja
Keterbatasan lapangan kerja akan membawa
konsekuensi kemiskinan bagi masyarakat. Secara ideal banyak orang
mengatakan bahwa seseorang atau masyarakat harus mampu menciptakan
lapangan kerja baru, tetapi secara faktual hal tersebut kecil kemungkinannya,
karena adanya keterbatasan kemampuan
seseorang baik yang berupa skill maupun modal.
7. Etos kerja yang rendah
Rendahnya etos kerja
seseorang dapat disebabkan oleh berbagai faktor, misalnya kebiasaan hidup
santai dan hanya suka menikmati tanpa mau bekerja keras dan faktor-faktor
lainnya yang banyak ditemukan di masyarakat.
8. Salah pemahaman terhadap ajaran
agama Islam
Salah pemaaham terhadap
ajaran Islam ini meliputi beberapa hal yang dianggap umum terjadi. ada beberapa faktor
penyebab rendahnya tingkat ekonomi umat Islam, yang paling menonjol dan paling
dasar adalah kesalahan mengamalkan ajaran Islam, yang pada awalnya akan menjadi
penyebab terjadinya kemiskinan. Kesalahan ini, terutama di sebabkan oleh
kesalah pahaman dalam penafsiran terhadap ajaran Islam. Praktek
ajaran yang biasanya diyakini oleh mayoritas umat Islam, dan terlebih lagi
mereka yang taat beragama, tidak menyentuh tuntutan kemajuan ekonomi di
dunia, yaitu ajaran-ajaran yang pada intinya menjauh dari hiruk pikuk
keduniaan dan memfokuskan pada keakheratan berupa ibadah murni.
Salah faham ini otomatis berakibat salah
praktek terhadap beberapa ajaran. Praktek yang keliru terhadap beberapa
ajaran Islam sering terjadi di tengah-tengah umat. Ini berupa
ungkapan-ungkapan atau istilah sehari-hari, seperti istilah sabar,
qana’ah, tawakkal, zuhud dan sesamanya. Istilah-istilah ini
dalam praktek sehari-hari umat Islam sering di jadikan landasan hidup,
seolah memberikan justifikasi terhadap apa yang di lakukan. Namun,
sayangnya berkonotasi negatif, lamban, terbelakang, kemalasan, dan
semacamnya. Padahal arti yang sebenarnya harus berkonotasi positif, tidak
menghambat kemajuan ekonomi dan perkembangannya. Ajaran tersebut
yaitu:
a. Sabar
Sikap Sabar yang terjadi di tengah-tengah
masyarakat di anggap sebagai sikap yang tidak cepat-cepat, sehingga
identik dengan lamban. Padahal, seharusnya sabar hendaknya di fahami
sebagai sikap tangguh, pantang menyerah, teliti, tabah, sehingga tidak
mudah putus asa. Sabar berarti poses untuk keberhasilan, yang tidak
mengenal kegagalan. Jika sabar di artikan
lamban akan tidak sesuai dengan firman Allah SWT: Inna Allāha ma’ashabirīn
(Allah bersama orang-orang yang sabar). Mari kita perhatikan
salah satu contoh ayat yang menyebutkan sabar, yaitu QS. Ali-Imran:
146
ûÉiïr'x.ur `ÏiB %cÓÉ<¯R @tG»s% ¼çmyètB tbqÎn/Í ×ÏWx. $yJsù (#qãZydur !$yJÏ9 öNåku5$|¹r& Îû È@Î6y «!$# $tBur (#qàÿãè|Ê $tBur (#qçR%s3tGó$# 3 ª!$#ur =Ïtä tûïÎÉ9»¢Á9$# ÇÊÍÏÈ
Artinya : Dan
berapa banyaknya Nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari
pengikut (nya) yang bertakwa. mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang
menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada
musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar.
Ungkapan sabar dalam ayat di deskripsikan
dengan ‘tidak menjadi lemah’, tidak lesu, tidak menyerah. Ini berarti
bahwa sabar kebalikan ungkapan-ungkapan lemah itu, sehingga berupa orang yang teguh, gagah berani, lincah, energic,
dan tidak mau cepat menyerah. Sabar yang di ajarkan
kepada umat Islam seharusnya uraian seperti yang tersebut di dalam ayat tadi di
atas, meskipun ayat itu tidak semata-mata langsung kepada umat Nabi Muhammad.
Kaitannya dengan pengembangan ekonomi masyarakat, sabar berarti tidak cepat
menyerah dalam berusaha, sabar harus mencakup ulet, tekun, tangguh dan teguh terhadap
cobaan dan ujian apa saja dan selalu akan berusaha sampai berhasil.
b. Tawakal
Tawakal di pahami dengan sikap menyerahkan
dirinya dan cita-citanya kepada keadaan, tanpa ada perlu usaha
maksimal atau berarti fatalis. Usaha maksimal di anggapnya hanya
sia-sia. Pemahaman seperti ini jelas keliru, karena tawakal seharusnya di pahami
sebagai sikap akhir setelah bekerja dan berusaha keras secara maksimal yang
dilakukan tidak hanya sekali. Setelah usaha seperti ini, maka dengan bekal iman kepada Allah, keberhasilan
akhirnya tidak selalu di tentukan oleh dirinya. Dengan sikap tawakal
seperti ini, maka akan terhidar sikap frustasi. Adalah keliru
kalau menempatkan sikap tawakal sebelum adanya usaha yang sangat maksimal.
Jadi, tawakal bisa untuk menjadi perisai diri dari sikap frustasi,
bukan menjadi penangkal usaha maksimal, sekedar mengelabuhi kemalasan.
Tawakal yang benar adalah usaha yang
maksimal, baru menyerahkan segala sesuatunya kepada Allah.
c. Zuhud
Penyebab kemiskinan yang
di sebabkan karena salah faham terhadap ajaran Islam, salah satunya adalah
pemahaman tentang pengertian zuhud
dengan maksud membenci kehidupan duniawi secara keseluruhan dan berpaling pada
kehidupan ukhrawi, dan dipahami juga sebagai
anti-keduniaan atau anti-harta. Pemahaman zuhud seperti ini jelas kurang
sesuai dengan Al-Qur’an yang dengan jelas mengajarkan kepada umat
manusia agar mencari kebahagiaan di kampung akhirat melalui karunia
Allah yang di anugerahkan-Nya kepada mereka di dunia ini. Di samping itu,
mereka juga di ingatkan supaya tidak mengabaikan kesejahteraan dan
kebahagiaan hidup di dunia, bahkan orang yang tidak mengindahkan
kehidupan di muka bumi ini dipandang oleh Tuhan sebagai orang
yang berbuat kerusakan di atasnya.[15]
Namun, kalau kita perhatikan dalam sejarah,
termasuk sejarah tokoh tasawuf, tidak
sedikit mereka yang kaya, termasuk Al- Ghazali. Nabi sendiri menggunakan
kuda, unta, dan bahkan juga makanan tergolong yang baik yang berarti
termahal. Barang-barang termahal hanyalah dapat diperoleh hanya
dengan harta atau kekayaan yang lebih banyak. Oleh karena itu,
seharusnya dipahami bahwa zuhud adalah anti keserakahan. Untuk itu
zuhud disini diartikan dengan meninggalkan hal-hal yang menyebabkan
jauh dari Allah. bukan meninggalkan harta. Dengan demikian,
zuhud dapat dipraktekkan oleh mereka yang bekerja keras dan kaya.
Namun kekayaannya diperoleh dengan cara
yang benar dan etis, demikian pula penggunaannya juga untuk kebaikan,
kemaslahatan dan ibadah, bukan kemaksiatan.[16]
D. Bahaya
kemiskinan
Masalah yang dihadapi oleh umat Islam di dunia salah satunya adalah kemiskinan. Kemiskinan membawa pada
kehinaan yang dilarang dalam islam, dan menjadi sumber kejahatan dalam seluruh
aspek kehidupan sosial-ekonomi.
Kemiskinan menyakiti anak-anak dalam berbagai cara yang
halus. Anak-anak miskin mengalami masalah kesehatan yang lebih parah biasanya
karena kurangnya perawatan medis. Bahaya dari semua ini, bahwasannya kemiskinan
menjadi siklus pengabdian diri. Kondisi ini menempatkan anak-anak pada
kelemahan secara langsung. Mereka tunduk pada berbagai kesulitan sekolah (boleh
jadi memuncak pada mereke putus sekolah), harga diri yang rendah, prilaku yang
bermasalah, peluang kerja terbatas, dan bertemu dengan masalah hukum, serta tidak menentunya pekerjaan.
Kemiskinan dapat berdampak negatif bagi seseorang yang mengalaminya
diantaranya yaitu:
1.
Kemiskinan
Membahayakan Akidah
Tidak
dapat dipungkiri bahwa kemiskinan merupakan penyakit yang amat berbahaya bagi
keselamatan dan keutuhan aqidah, terutama jika si miskin hidup di lingkungan
orang-orang kaya yang sama sekali tidak peduli dengan nasib mereka. Lebih-lebih
jika si miskin termasuk orang yang sudah mati-matian bekerja keras (tetapi
nasib tidak juga berubah). Sementara si kaya nampak hanya duduk-duduk saja.
Dalam keadaan seperti itu, kemiskinan cenderung merasakan semacam keragu-raguan
untuk mempertanyakan kebijaksanaan dan keadilan Tuhan dalam mendistribusikan
harta kepada umat manusia.[17]
Rasulullah
bersabda, bahwasannya kefakiran itu mendekatkan pada kekufuran. Oleh karena
itu, Islam sangat menaruh perhatian pada masalah kemiskinan, karena menyangkut
keselamatan manusia.
2.
Kemiskinan
Membahayakan Akhlak dan Moral
Kemiskinan
bisa berdampak negatif terhadap perilaku dan moral seseorang. Kesengsaraan dan
kepedihan hidup yang di derita oleh orang miskin, apalagi orang-orang di
sekitarnya hidup dalam serba berkecukupan sering menjadi stimulus negatif untuk
melakukan tindakan-tindakan yang tidak terpuji. Wajar kalau kemudian banyak
pakar mengatakan: Shaut al-ma’iddah aqwa min shaut al-dhamīr
(bunyi perut yang keroncongan karena lapar lebih
nyaring/ bisa mengalahkan suara hati nurani).
Dan akan lebih berbahaya lagi, apabila frustasi dan kekecewaan mereka sudah
tidak bisa di kuasai lagi, maka akan timbul suatu sikap masa bodoh terhadap
nilai-nilai etika dan kemantapan sendi-sendinya, dan pada akhirnya akan
menjurus untuk mengabaikan nilai-nilai agama.[18]
3.
Kemiskinan
Mengancam Kestabilan Pemikiran
Problem
kemiskinan tidak hanya berdampak negatif pada aspek moral spiritual saja,
melainkan juga akan menggangu dan mempengaruhi pikiran seseorang. Karena
seseorang yang tidak sanggup menutupi kebutuhan hidupnya, keluarganya dan
anak-anaknya, bagaimana ia dapat berfikir dengan cermat.[19]
Menurut pandangan penulis bahwa bahaya kefakiran sangat besar yaitu
dapat menyebabkan seseorang putus asa, rendah diri, berbuat jahat, mudah iri
hati, sulit mensyukuri nikmat dan karunia yang telah diberikan Allah. Kondisi
ini jelas bisa berakibat bergesernya akidah, dan rapuhnya keimaan. Apabila
kemiskinan sudah bergeser pada perilaku jahat maka kondisi akhlak orang itu pun
menjadi orang yang tidak berakhlak, bahkan pada gilirannya kemiskinan dapat
memporak porandakan rumah tangga. Tidak sedikit perceraian yang diakibatkan oleh
persoalan kekurangan dalam ekonomi.
E.
Cara Mengatasi Kemiskinan
Islam
memaklumatkan perang melawan kemiskinan demi keselamatan akidah, moral, dan
akhlak umat manusia. Langkah ini diambil untuk melindungi keluarga dan
masyarakat serta menjamin keharmonisan dan persaudaraan di antara anggotanya.
Islam menghendaki setiap individu hidup di tengah masyarakat secara layak
sebagai manusia. Sekurangkurangnya, ia dapat memenuhi kebutuhan pokok berupa
sandang dan pangan, memperoleh pekerjaan sesuai dengan keahliannya, atau membina
rumah tangga dengan bekal yang cukup. Tegasnya, bagi setiap orang harus
tersedia tingkat kehidupan yang sesuai dengan kondisinya. Dengan demikian, ia
mampu melaksanakan berbagai kewajiban yang dibebankan Allah dari berbagai tugas
lainnya. la tidak akan menjadi gelandangan yang tidak memiliki apa-apa. Dalam masyarakat
Islam, seseorang tidak boleh dibiarkan, walaupun ia ahlu dzimmah (non-Muslim
yang hidup dalam masyarakat Islam) seperti, kelaparan, tanpa pakaian, hidup
menggelandang, tidak memiliki tempat tinggal, atau kehilangan kesempatan
membina keluarga.[20]
Ada
beberapa usaha yang dapat dilakukan untuk mengentaskan kemiskinan, yaitu:
1.
Bekerja
Keras
Bekerja keras merupakan
sikap yang diperintahkan dalam Islam, banyak ayat dan hadis yang menganjurkan
umat islam untuk terus berusaha dan tidak mudah putus asa.
Seorang manusia tidak
diperkenankan bermalas-malasan sehingga menjadi
gelandangan peminta-minta. Berusahalah dengan sekuatnya, kemudian berserah diri kepada Allah SWT. Jika usaha maksimal
tidak berhasil, itu mungkin
nasib yang telah ditentukan oleh Allah SWT yang wajib diterima, namun dengan
tetap mencoba dan mencoba lagi dengan memperbaiki kegagalan
yang telah terjadi secara maksimal.[21]
2.
Menguasai
Ilmu pengetahuan dan Teknologi
Kita
lihat sekarang, Negara-negara dibelahan dunia lain maju dikarnakan mereka
menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, hal ini kita ketahui melalui Al-quran
bahwasannya teknologi merupakan peradaban bangsa-bangsa maju yang telah
dikuasai umat-umat terdahulu.
Pada
dasarnya ilmu pengetahuan dan teknologi berasal dari dunia Islam, sampai pada
akhirnya runtuhnya teologi mu’tazilah dan dimulainya masa kemunduran islam
setelah penyerangan oleh tentara mongol sampai pada akhirnya barat ‘mencuri’
khazanah keilmuan yang pernah dikuasai umat islam beberapa abad silam. Itulah
yang menyebabkan Negara-negara barat maju karena mereka menguasai IPTEK.
Dalam hal ini, kenyataan menunjukkan bahwa IPTEK yang
ditemukan ddan dikembangkan di Barat pada abad modern ini memegang peranan
penting dalam konstalasi perkembangan keilmuan diberbagai belahan dunia.[22]
Oleh sebab itu, seharusnya Umat Islam juga lebih giat dalam menuntut ilmu dan
maju dalam bidang teknologi sehingga tidak dijajah oleh imperialisme maupun
kolonialisme negara lain.
3.
Pengelolaan Zakat yang Baik
Zakat merupakan salah satu sumber pendapatan islam yang
terbesar yang bisa digunakan untuk menunjang perekonomian umat. Pengelolaan
zakat yang baik, profesional dan produktif mampu mengentaskan kemiskinan yang
menjerat umat Islam. Karena suatu negara pernah majuan perekonomian karena
pengelolaan zakat yang baik, yaitu pada masa pemerintahan Umar nin Abdul Azis.
DAFTAR PUSTAKA
‘Aidh Abdullah Al-Qarni, “Masyarakat Idaman”, Depok:
Pustaka Nauka, 2006
A.M
Saifuddin, Islamisasi Pengetahuan, Bandung: Mizan, 1991
A.Qodry
Azizi, “Membangun Fondasi Ekonomi Umat Meneropong prospek berkembangnya
Ekonomi Islam”, Solo: Pustaka Pelajar, 2004.
Agus Mustofa, Membonsai Islam, Surabaya : PADMA
press, 2006
Amin
Syukur, dkk., “Teologi Islam Terapan; Upaya Antisipatif Terhadap Hedonisme
Kehidupan Modern”, Solo: PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2003.
Assaiyid sabiq, “Sumber Kekuatan Islam”, Surabaya: PT. Bina lmu Offset, 1982.
Hadiyah
Salim, Apa Arti Hidup, Bandung: al-Ma’arif, 2009.
Imam
Musbikin, Rahasia Puasa Bagi Kesehatan Fisik dan Psikis, Yogyakarta :
Mitra Pustaka, 2004
Indikator Kesejahteraan
Rakyat, Jakarta: Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, 2006.
M. Amien Rais, Cakrawala Islam :
Antara Cita dan Fakta, Bandung : Mizan, 1989
M. Quraish Shihab, “Wawasan Al-Qur’an”, Bandung:
Mizan, 1999.
M. Umer Chapra, “Islam dan tantangan ekonomi:
Islamisasi Ekonomi Kontemporer”, Surabaya: Risalah Gusti, 1999.
Suryono Soekanto, “Sosiologi Suatu Penganta”,
Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2002.
Syahrin Harahap, Penegakan Moral Akademik di Dalam dan
Luar Kampus, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005
Tadjuddin
Noer Effendi, Sumber daya manusia, Peluang Kerja dan Kemiskinan, Yogyakarta
:Tiara Wacana, 1995
Yusuf Qardhawi, “Hukum Zakat”, Jakarta: Lintera
Internusa, 2002
Yusuf Qardhawi, Kiat Islam
Mengentaskan Kemiskinan, Jakarta: Gema Insani Press, 1995.
Yusuf
Qardhawi, Norma dan Etika Ekonomi
Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 1997
Yusuf
Qardhawi, “Teologi Kemiskinan, Doktrin Dasar dan Solusi Islam Atas Problem Kemiskinan”, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2002.
[2] Indikator
Kesejahteraan Rakyat, (Jakarta: Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, 2006),
hal. 39
[3] Ibid., hal. 41
[4] Yusuf Qardhawi, “Hukum Zakat”, (Jakarta: Lintera
Internusa, 2002), cet. 6, hal. 513.
[5] M. Quraish Shihab, “Wawasan Al-Qur’an”, (Bandung:
Mizan, 1998), cet. 7, hlm. 449.
[6]
Yusuf
Qardhawi, Norma dan Etika Ekonomi
Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), hal. 72
[8]
Yusuf
Qardhawi, “Teologi Kemiskinan, Doktrin Dasar dan Solusi Islam Atas Problem Kemiskinan”, (Yogyakarta:
Mitra Pustaka, 2002), hlm. 16
[9]
Tadjuddin
Noer Effendi, Sumber daya manusia, Peluang Kerja dan Kemiskinan, (Yogyakarta
:Tiara Wacana, 1995), hlm. 249
[12] M. Umer Chapra, “Islam dan tantangan ekonomi: Islamisasi Ekonomi
Kontemporer”, (Surabaya: Risalah Gusti, 1999), hal. ix
[13] A.M Saifuddin,
Islamisasi Pengetahuan, (Bandung: Mizan, 1991), hal. 103
[15]
Amin
Syukur, dkk., “Teologi Islam Terapan; Upaya Antisipatif Terhadap Hedonisme
Kehidupan Modern”, (Solo: PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2003), hlm. 63
[16]
A. Qodry
Azizi, “Membangun Fondasi Ekonomi Umat (Meneropong prospek berkembangnya
Ekonomi Islam)”, (Solo: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 37
[17]
Yusuf
Qardhawi, Teologi Kemiskinan,… hlm.
18-19
[18]
Yusuf
Qardhawi, Teologi Kemiskinan,… hlm. 21
[19] Imam Musbikin, Rahasia
Puasa Bagi Kesehatan Fisik dan Psikis, (Yogyakarta : Mitra Pustaka, 2004),
hal. 192
[20] Yusuf Qardhawi, Kiat
Islam Mengentaskan Kemiskinan, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), hal. 50.
[21]
Hadiyah
Salim, Apa Arti Hidup, Bandung: al-Ma’arif, 2009, hlm. 161.
[22] Syahrin Harahap, Penegakan Moral Akademik di Dalam dan Luar Kampus,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), hal. 132
Tidak ada komentar:
Posting Komentar