Jumat, 07 Agustus 2015

Makalah "Sejarah Lahirnya Mazhab Fiqh"

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang
Belakangan ini penelitian tentang sejarah fiqih Islam mulai dirasakan penting. Paling tidak, karena pertumbuhan dan perkembangan fiqih menunjukkan pada suatu dinamika pemikiran keagamaan itu sendiri. Hal tersebut merupakan persoalan yang tidak pernah usai di manapun dan kapanpun, terutama dalam masyarakat-masyarakat agama yang sedang mengalami modernisasi. perkembangan fiqih secara sungguh-sungguh telah melahirkan pemikiran Islam bagi karakterisitik perkembangan Islam itu sendiri.
Kehadiran fiqih ternyata mengiringi pasang-surut Islam, dan bahkan secara amat dominan abad pertengahan mewarnai dan memberi corak bagi perkembangan Islam dari masa ke masa. Karena itulah, kajian-kajian mendalam tentang masalah kesejahteraan fiqih tidak semata-mata bernilai historis, tetapi dengan sendirinya menawarkan kemungkinan baru bagi perkembangan Islam berikutnya.
Pada makalah ini, akan dijelaskan tentang pengertian mazhab, latar belakang dan sejarah awal kemunculan mazhab-mazhab dalam fiqih, dikhusus pada empat mazhab yaitu Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hambali serta beberapa hal lain yang berhubungan dengan keempat mazhab tersebut.



BAB II
PEMBAHASAN

Secara bahasa, mazhab memiliki dua pengertian, pertama kata mazhab berasal dari kata zahaba-yazhabu yang memiliki arti telah berjalan, telah berlalu, telah mati. Pengertian kedua yakni, mempunyai arti suatu yang diikuti dalam berbagai masalah disebabkan adanya pemikiran, oleh karena itu mazhab berarti yang diikuti atau dijadikan pedoman atau metode.[1]
Secara istilah, Madzhab adalah hasil ijtihad seorang imam (mujtahid) tentang hukum suatu masalah atau tentang kaidah-kaidah istinbath. Dengan demikian pengertian mazhab adalah: mengikuti hasil ijtihad seorang imam tentang hukum suatu masalah atau kaidah-kaidah istinbath-nya.[2]
Dapat penulis simpulkan bahwasannya mazhab diartikan sebagai alur pikir, pendapat, kepercayaan, ideologi, doktrin, ajaran, paham dan aliran-aliran dalam hukum yang merupakan hasil ijtihad dari para Imam.
Secara umum, proses lahirnya mazhab yang paling utama adalah faktor usaha para murid imam mazhab yang menyebarkan dan menanamkan pendapat para imam kepada masyarakat dan juga disebabkan adanya pembukuan pendapat para imam mazhab sehingga memudahkan tersebarnya pendapat tersebut di kalangan masyarakat. Karena pada dasarnya, para Imam mazhab tidak mengakui atau mengklaim sebagai “mazhab”. Secara umum, mazhab berkaitan erat dengan nama imam atau tempat.[3]
Perkembangan berbagai mazhab, selain didukung oleh fuqaha serta para pengikut mereka, juga mendapat pengaruh dan dukungan dari penguasaan politik. Mazhab Hanafi mulai berkembang ketika Abu Yusuf, murid abu Hanifah diangkat menjadi Qadhi dalam pemerintahan tiga khalifah Abbasyiah: Al-mahdi, Al-hadi dan Al-Rasyid. Al-Kharaj adalah kitab yang disusun atas permintaan khalifah Al-Rasyid dan kitab ini adalah rujukan pertama rujukan Hanafi.[4]
Mazhab Malik berkembang di khilafah timur atas dukungan al-Mansyur dan di khilafah barat atas dukungan Yahya Ibnu Yahya ketika diangkat menjadi qadhi oleh para khalifah Andalusia. Di Afrika, Al-Mu’iz Badis mewajibkan seluruh penduduk untuk mengikuti Mazhab Maliki. Mazhab Syafi’i membesar di Mesir ketika Shalahuddin al-Ayubi merebut negeri itu. Mazhab Hanbali menjadi kuat pada masa pemerintahan Al-Mutawakkil. Waktu itu al-Mutawakkil tidak mengangkat seorang qadhi kecuali dengan persetujuan imam Ahmad Ibnu hambal. [5]
Dari mata rantai sejarah ini jelas terlihat korelasi pemikiran fiqh dari zaman sahabat, tabi’in hingga munculnya mazhab-mazhab fiqih pada periode berikutnya. Meskipun jumlah mazhab tidak terbatas kepada empat mazhab besar yaitu: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali.[6]
Thaha Jabir Fayad Al-Ulwani, menejelaskan bahwa mazhab fiqih islam yang muncul setelah sahabat dan tabi’in berjumlah tiga belas aliran. Tiga belas aliran itu beraliaran Ahli Sunnah. Akan tetapi, tidak semua aliran tersebut dapat diketahui dasar-dasar dan metode istinbath hukum yang digunakan, kecuali Sembilan atau sepuluh dari ketiga belas imam tersebut. Diantaranya aliran tersebut adalah:
1.      Abu Sa’id Al-Hasan ibn Yasar Al-Basri (w. 110 H)
2.      Abu Hanifah Al-Nu’man ibn Tsabit Ibn Zuthi (w. 150 H)
3.      Al-Auza’I Abu ‘Amr ‘Abdur Rahman Ibn ‘Amr Ibn Muhammad (w. 157H)
4.      Sufyan Ibn Sa’id Ibn Masruq At-Tsauri (w. 160 H)
5.      Al-Laits Ibn S’ad (w. 175 H)
6.      Malik Ibn Anas Albahi (w. 179 H)
7.      Sufyan Ibn ‘uyainah (w. 198 H)
8.      Muhammad Ibn Idris As-Syafi’I (w. 204 H)
9.      Ahmad Ibn Muhammad Ibn Hambal (w. 241 H)
10.  Daud Ibn ‘Ali Al-Ashbahani Al-Baghdadi ( w. 270 H)
11.  Ishaq Ibn Rahawai (w. 238 H)
12.  Abu Tsawur Ibrahim Ibn Khalid Al-Kalabi
Mereka itulah yang dikenal dengan imam para mazhab. Inilah mazhab-mazhab fiqih yang dikenal dikalangan sunni. Selain itu, terdapat pula mazhab-mazhab yang terkenal dalam kelompok syi’ah, seperti Mazhab Zaidiyah, Mazhab Imamiyah, Mazhab Ismailiyah dan Mazhab Abadiyyah.[7]
Secara umum, tiap-tiap Mazhab memiliki ciri khas tersendiri karena para pembinanya berbeda pendapat dalam menggunakan metode penggalian hukum. Namun perbedaan itu hanya terbatas dalam masalah-masalah furuq, bukan masalah-maslah prinsipil atau pokok syariat. Mereka sependapat bahwa semua sumber atau dasar syariat adalah Al-Quran dan Sunnah Nabi. Semua hukum yang berlawanan dengan kedua hukum tersebut wajib ditolak dan tidak diamalkan. Mereka juga saling menghormati satu sama lain, selama yang bersangkutan berpendapat sesuai dengan garis-garis yang ditentukan oleh syariat islam.[8]

B.     Tokoh-tokoh Mazhab Fiqih yang Empat
1.      IMAM ABU HANIFAH (80-150 H/699-767 M)
Imam Abu HAnifah, pendiri mazhab Hanafi, adalah abu Hanifah An-Nukman bin Tsabit bin Zufi At-Tamimi. Beliau masih memiliki pertalian hubungan kekeluargaan dengan Imam Ali bin Abi Thalib ra. Imam Ali bahkan pernah berdoa bagi Tsabit, yakni agar Allah memberkahi keturunannya. Tak heran, jika kemudian dari keturunan Tsabit ini muncul seorang ulama besar seperti Abu Hanifah.[9]
Dilahirkan di Kufah pada tahun 80 H/699 M, pada masa pemerintahan Al-Walid bin Abdul Malik, Abu Hanifah selanjutnya menghabiskan masa kecil dan tumbuh menjadi dewasa di sana. Sejak masih kanak-kanak, beliau telah mengkaji dan menghafal Al-Qur’an. Selain memperdalam Al-Qur’an, beliau juga aktif mempelajari ilmu fiqh. Dalam hal ini kalangan sahabat Rasul, diantaranya kepada Anas bin Malik, Abdullah bin Aufa dan Abu Tufail Amir, dan lain sebagainya. Dari mereka, beliau juga mendalami ilmu hadits.[10]
Beliau juga dikenal sebagai orang yang sangat tekun dalam mempelajari ilmu. Sebagai gambaran, beliau pernah belajar fiqh kepada ulama yang paling terpandang pada masa itu, yakni Human bin Abu Sulaiman, tidak kurang dari 18 tahun lamanya. Setelah wafat gurunya, Imam Hnifah kemudian mulai mengajar di banyak majlis ilmu di Kufah.[11]
Semasa hidupnya, Imam Abu Hanifah dikenal sebagai seorang yang sangat dalam ilmunya, ahli zuhud, sangat tawadhu’, dan sangat teguh memegang ajaran agama. Beliau tidak tertarik kepada jabatan-jabatan resmi kenegaraan, sehingga beliau pernah menolak tawaran sebagai hakim (Qadhi) yang ditawarkan oleh Al-Mansur. Konon, karena penolakannya itu beliau kemudian dipenjarakan hingga akhir hayatnya.
Imam Abu Hanifah wafat pada tahun 150 H/767 M, pada usia 70 tahun. Beliau dimakamkan di pekuburan Khizra. Pada tahun 450 h/1066 M, didirikanlah sebuah sekolah yang diberi nama Jami’ Abu Hanifah.
Sepeninggal beliau, ajaran dan ilmunya tetap tersebar melalui murid-muridnya yang cukup banyak. Diantara murid-murid Abu Hanifah yang terkenal adalah Abu Yusuf, Abdullah bin Mubarrak, Waki’ bin Jarah Ibn Hasan Al-Syiabani, dan lain-lain. Sedang di antara kitab-kitab Imam Abu Hainifah adalah: Al-Musuan (kitab hadits, dikumpulkan oleh muridnya), Al-Makharij (buku ini dinisbahkan kepada Imam Abu Hanifah, diriwayatkan oleh Abu Yusuf), dan fiqh Akbar (kitab fiqh yang lengkap).[12]

a.      Sistematika Sumber Hukum Mazhab Hanafi
Abu Bakar Muhammad Ali Thaib Al-Baghdadi dalam kitabnya, Al-Baghdadi menjelaskan bahwa dasar-dasar pemikiran fiqih Abu Hanifah sebagai berikut: “aku (Abu Hanifah) mengambil kitab Allah. Bila tidak ditemukan didalamnya, aku ambil dari sunnah Rasul, jika aku tidak menemukan pada kitab dan sunnahnya, aku ambil pendapat-pendapat sahabat. Aku ambil perkataan yang aku kehendaki dan aku tinggalkan pendapat-pendapat yang tidak aku kehendaki. Dan aku tidak keluar dari pendapat mereka kepada pendapat orang lain selain mereka. Adapun apabila telah sampai urusan itu atau telah datang kepada Ibrahim, As-Syaibani, Ibnu Sirin, Al-Hasan, Atha, Sa’id, dan abu Hanifah menyebut beberapa orang lagi mereka orang-orang yang telah berijtihad”.[13]
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa dasar-dasar Mazhab Hanafi adalah:
1.      Kitab Allah (al-Quran)
2.      Sunnah Rasulullah yang sahih serta telah mahsyur diantara para ulama yang ahlu.
3.      Fatwa-fatwa dari sahabat.
4.      Al-Qiyas
5.      Al-Istihsan
6.      Al-‘Urf[14]

b.      Pola Pikir dan Faktor Yang Mempengaruhi Imam Hanafi
Secara geografis Imam Hanafi lahir di Kuffah (Iraq) yang penduduknya merupakan masyarakat yang sudah banyak mengenal kebudayaan dan peradaban. Fuqaha daerah ini sering dihadapkan pada persoalan hidup yang beragam. Untuk mengatasinya, mereka terpaksa memakai ijtihad dan akal. Keadaan ini berbeda dengan hijaz. Masyarakat daerah ini masih dalam suasana kehidupan sederhana seperti keadaan pada masa Nabi. Untuk mengatasinya, para fuqahah hijaz cukup mengandalkan al-Quran, Sunnah, dan Ijma’ para sahabat. Oleh karena itu mereka tidak merasa perlu untuk berijtihad seperti fuqaha Iraq.
Sebaliknya Imam Abu Hanifah menghadapi persoalan kemasyarakatan di Iraq, yaitu daerah yang sarat dengan budaya dan peradaban, tetapi jauh dari pusat informasi hadist Nabi. Jadi “terpaksa” atau “selalu” menggunakan akal atau rasionya.[15]
Dapat penulis simpulkan bahwasannya imam hanafi dalam memutuskan hukum lebih dominan menggunakan ijtihad dan akal yang berbeda dengan Imam-Imam Ahlul Hadis, yang adakalanya tidak menerima ijtihad. Ini dikarnakan masyarakat di iraq telah mengenal kemajuan peradaban dan jauh dari jauh kota sumber hadis.

2.      IMAM MALIK BIN ANAS (93-179 H/712-795 M)
Imam Malik bin Anas, pendiri mazahab Maliki, dilahirkan di Madinah, pada tahun 93 H. baliau berasal dari Kablah Yamniah. Sejak kecil beliau telah rajin menghadiri majlis-majlis ilmu pengetahuan, sehingga sejak kecil itu pula beliau telah hafal Al-Qur’an. Tak kurang dari itu , ibundanya sendir yang mendorong Imam Malik untuk senantiasa giat menuntut ilmu.[16]
Pada mulanya beliau belajar dari Ribiah, seorang ulama yang sangat terkenal pada waktu itu. Selain itu, beliau juga memperdalam hadits kepada Ibn Syihab, disamping juga mempelajari ilmu fiqh dari para sahabat. Setelah mencapai tingkatan yang tinggi  dalam bidang ilmu itulah, Imam Malik mulai mengajar, karena merasa memiliki kewajiban untuk membagi pengetahuannya kepada orang lain yang membutuhkan.
      Meski begitu, beliau dikenal sangat berhati-hati dalam member fatwa. Beliau tak lupa untuk terlebih dahulu menenliti hadis-hadis Rasulullah saw, dan bermusyawarah dengan ulam lain, sebelum kemudian memberikan fatwa atas suatu masalah. Diriwayatkan bahwa beliau memiliki tujuh puluh orang yang bisa diajak bermusyawarah untuk mengeluarkan suatu fatwa.
      Imam Malik dikenal mempunyai daya ingat yang sangat kuat. Pernah, beliau mendengar 31 hadits dari Ibn Syihab tanpa menulisnya. Dan ketika diminta kepadanya untuk mengulangi seluruh hadis tersebut, tak satupun dilupakannya. Imam Malik benar-benar mengasah ketajaman daya ingatannya, terlabih lagi karena pada masa itu masih belum terdapat suatu kumpulan hadits secara tertulis. Karenanya karunia tersebut sangat menunjang beliau dalam menuntut ilmu.
      Selain itu, beliau dikenal sangat ikhlas di dalam melakukan sesuatu. Sifat inilah kiranya yang member kemudahan kepada beliau di dalam mengkaji ilmu pengetahuan. Beliau sendiri pernah berkata: “Ilmu itu adalah cahaya; ia akan mudah dicapai dengan hati yang taqwa dan khusyu”. Beliau juga menasehatkan untuk menghindari keraguan, ketika beliau berkata: “sebaik-baik pekerjaan adalah yang jelas. Jika engkau menghadapi dua hal, dan salah satunya meragukan, maka kerjakanlah yang lebih meyakinkan menurutmu”.
      Tak pelak Imam Malik adalah seorang ulama yang sangat terkemuka, terutama dalam ilmu hadits dan fiqh. Beliau mencapai tingkat yang sangat tinggi dalam kedua cabang ilmu tersebut. Imam Malik bahkan telah menulis kitab Al-Muwaththa’, yang merupakan kitab hadis dan fiqh.
      Imam Malik meninggal dunia pada usia 86 tahun. Namun demikian, mazhab Maliki tersebar luas dan dianut di banyak bagian diseluruh penjuru dunia.[17]


a.      Sistematika Sumber Hukum Mazhab
Sistematika sumber hukum atau istinbath Imam Malik, pada dasarnya ia tidak menulis secara sistematis. Akan tetapi para muridnya atau mazhabnya meyusun sistematika imam Malik. Sebagaimana qadhi’iyyad dalam kitabnya Al-Mudharrak, sebagai berikut: “sesungguhnya manhaj imam Dar-Alhijrah, pertama ia mengambil kitabullah, jika tidak ditemukan dalam kitabullah nash-nya ia mengambil As-sunnah (katagori As-Sunnah menurutnya hadits-hadits nabi dan fatwa-fatwa sahabat, amal Ahli-Almadinah, al-qiyas, al-mashlahah al-mursalah, sadd adz-dzara’i, al-‘urf, dan al-‘adat”.[18]

b.      Pola Pikir Dan faktor Yang Mempengaruhi Imam Malik
Berbeda dengan Imam Abu Hanifah, Imam Malik lahir di Madinah yang di kenal sebagai daerah Hadits dan tempat tinggal sahabat Nabi. Fuqaha di sini lebih mengerti hadits daripada fuqaha lainnya. Madinah pun merupakan suatu tempat yang masih bernuansa kampung dan sederhana, suatu kehidupan yang menjadikan Al-Quran dan As-Sunnah serta Ijma’ sahabat sudah cukup untuk dijadikan sebagai dasar acuan keputusan hukum. Di sini jelas, para fuqaha tidak perlu lagi ijtihad dan rasio karena Madinah sebagai tempat asal dan dekat dengan Mekkah. Atas hal ini wajarlah kalau Imam Malik lebih cenderung lebih menguasai hadits dan kurang menggunakan rasio di banding Imam Abu Hanifah, karena faktor sosial dan budaya masyarakat.[19]

3.      IMAM SYAFI’I (150-204 H/769-820 M)
Imam Syafi’i, yang dikenal sebagai pendiri mazhab Syafi’i adalah: Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i Al-Quraisyi. Beliau dilahirkan di Ghazzah, pada tahun 150 H, bertepatan dengan wafatnya Imam Abu Hanifah.[20]
Meski dibesarkan dalam keadaan yatim dan dalam satu keluarga yang miskin, tidak menjadikan beliau rendah diri, apalagi malas. Sebaliknya, beliau bahkan giat mempelajari hadits dari ulama-ulam hadits yang banyak terdapat di Mekkah. Pada usianya yang masih kecil, beliau juga telah hafal Al-Qur’an.[21]
Pada usianya yang ke-20, beliau meninggalkan Mekkah mempelajari Ilmu Fiqh dari Imam Malik. Merasa masih harus memperdalam pengetahuannya, beliau kemudian pergi ke Iraq, sekali lagi mempelajari fiqh, dari murid Imam Abu Hanifah yang masih ada. Dalam perantauannya tersebut, beliau juga sempat mengunjungi Persia, dan beberapa tempat lain.
      Setelah wafat Imam Malik (179 H), beliau kemudian pergi ke Yaman, menetap dan mengajarkan ilmu disana, bersama Harun Al-Rasyid, yang telah mendengar tentang kehebatan beliau, kemudian meminta beliau untuk datang ke Baghdad. Imam Syafi’i memenuhi undangan tersebut. Sejak saat itu beliau dikenal secara lebih luas, dan banyak orang belajar kepadanya. Pada waktu itulah mazhab beliau mulai dikenal.[22]
      Tak lama setelah itu Imam Syafi’i kembali ke Mekkah dan mengajar rombongan jamah haji yang datang dari berbagai penjuru. Melalui mereka inilah mazhab Syafi’i menjadi tersebar luas ke seluruh dunia.
      Pada tahun 198 H, beliau pergi ke Negara Mesir. Beliau mengajar di Mesjid Amru bin As. Beliau juga menulis kitab Al-Um, Amaliqubra, Kitab Risalah, Ushul Al-fiqh, dan memperkenalkan Waul Jadid sebagai mazhab baru. Adapun dalam penyusunan kitab Ushul Fiqh, Imam Syafi’i dikenal sebagai orang pertama yang mempelopori penulisan dalam bidang tersebut.[23]
      Di Mesir inilah akhirnya Imam Syafi’i wafat setelah menyebarkan ilmu dan manfaat kepada banyak orang. Kitab-kitab beliau hingga kini masih di baca orang, dan makam beliau di Mesir sampai detik ini masih ramai di ziarahi orang. Sedang murid-murid beliau yang terkenal diantaranya adalah: Muhammad bin Abdullah bin Al-Hakam, Abu Ibrahim bin Ismail bin Yahya Al-Muzani, Abu Ya’kub Yusuf bin yahya Al-Buwaiti dan lain sebagainya.[24]

a.      Sistematika Sumber Hukum Mazhab
Pola pikir imam Asy-Syafi’i secara garis besar dapat di lihat dari kitab Al-Um yang menguraikan sebagai berikut: “ ilmu itu bertingkat secara berurutan pertama-tama adalah Al-Quran dan As-Sunnah apabila telah tetap, kemudian kedua Ijma’ ketika tidak ada dalam Al-Quran dan As-Sunnah dan ketiga sahabat Nabi ( fatwa sahabi ) dan kami tahu dalam fatwa tersebut tidak adanya ikhtilaf di antara mereka, keempat ikhtilaf sahabat Nabi, kelima qiyas yang tidak diqiyaskan selain kepada Al-Quran dan As-Sunnah karena hal itu telah berada di dalam kedua sumber, sesungguhnya mengambil ilmu dari yang teratas. [25]

b.      Pola Pikir Dan Faktor Yang Mempengaruhi Imam Syafi’i
Faktor Pluralisme Pikiran : Imam As-Syafi’i lahir dan hidup sangat jauh berbeda dengan imam sebelumnya. Pada masa Imam Syafi’i hidup, sudah banyak ahli fiqih, baik sebagai murid Imam abu Hanifah atau Imam Malik sendiri masih hidup. Akumulasi berbagai pemikiran fiqh fuqaha, baik dari Mekkah, Madinah, Irak, syam, dan Mesir menjadikan asy-syafi’i memiliki wawasan yang luas tentang berbagai aliran pemikiran fiqih.[26]
Faktor Geografis: faktor ini merupakan faktor secara alamiah negara Mesir tempat Asy-Syafi’i lahir. Mesir adalah daerah kaya dengan warisan budaya Yunani, Persia, Rumawi dan Arab. Kondisi budaya yang kosmopolit ini tentu saja memberikan pengaruh besar terhadap pola pikir Imam Asy-syafi’i. Hal ini terlihat dari kitabnya Ilmu Mantiq yang di pengaruhi aliran Aristoteles.[27]
Faktor Sosial Dan Budaya: faktor ini ikut mempengaruhi pola pikir Imam Syafi’i dengan Qaul Qadhim dan Qaum Jadid. Qaul qadhim di bangun di Irak tahun 195 H. Di mana masa itu Imam Syafi’i tinggal di Irak pada zaman pemerintahan Al-Amin. Setelah tinggal di Irak Asy-Syafi’i melakukan perjalanan ke beberapa daerah dan kemudian tinggal di Mesir. Di Mesir ia bertemu dan berguru kepada ulama Mesir yang pada umumnya adalah rekan Imam Malik. Karena perjalanan intelektualnya tersebut, Imam Syafi’i mengubah beberapa pendapatnya yang di sebut dengan Qaul Jadid. Dengan demikian Qaul qadhim adalah pendapat Imam Syafi’i yang bercorak ra’yi sedangkan Qaul Jadid adalah pendapatnya yang bercorak hadits.[28]

4.      IMAM AHMAD HAMBALI(164 -241 H/780-855 M)
Imam Ahmad Hambali adalah Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hambal bin Hilal Al-Syaibani. Beliau dilahirkan di Baghdad pada bulan Rabiul Awal tahun 164 H (780M).[29]
Ahmad bin Hambal dibesarkan dalam keadaan yatim oleh ibunya, karena ayahnya meninggal ketika beliau masih bayi. Sejak kecil beliau telah menunjukkan sifat dan pribadi yang mulia sehingga menarik simpati banyak orang. Dan sejak kecil itu pula beliau telah menunjukkan minaat yang besar kepada ilmju pengetahuan, kebetulan pada saat itu Baghdad nerupakan kota pusat ilmu pengetahuan. Beliau memulai dengan belajar menghagfal Al-Quran, kemudian belajar Bahasa Arab, Hadits, sejarah para Nabi dan sahabat serta thabi’in.[30]
Untuk memperdalam ilmu, beliau pergi ke Basrah untuk beberapa kalinya, disanalah beliau bertemu dengan Imam Syafi’i. beliau juga pergi menuntut ilmu ke Yaman dan Mesir.
Pada masa pemerintahan Al-Muktasim sampai khalifah Abbasiyah beliau sempat dipenjara, karena sependapat dengan opini yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. Beliau dibebaskan pada masa khalifah Al-Mutawakkil.
Imam Aahmad Hambali wafat di Baghdad pada usia 77 tahun, atau tepatnya pada tahun 241 H (855 M) pada masa pemerintahan khalifah Al-Wathiq. Sepeninggal beliau, mazhab Hambali berkembang luas dan menjadi salah satu mazhab yang memiliki banyak penganut.[31]

a.      Sistematika Sumber Hukum Mazhab
Cara Imam Hambali dalam memberikan fatwa tentang urusan agama dan hukum-hukum yang berkenaan dengan agama sangat berhati-hati, baik dalam menjawab atau menjelaskan hukumnya. Bahkan seringkali beliau memberikan jawaban : “Saya tidak tau atau belum tau atau belum saya periksa”, kalau memang belum jelas benar tentang perkara yang ditanyakan kepada beliau. Adapun dasar-dasar hukum Imam Hambali adalah :
1.      Al-Qur’an dan Hadist, yakni apabila beliau medapatkan Nash, maka beliau tidak lagi memperhatikan dalil-dalil yang lain dan tidak memperhatikan pendapat-pendapat sahabat yang menyalahinya.
2.      Ahmad Ibnu Hanbal berfatwa dengan fatwa sahabat, ia memilihi pendapat sahabat yang tidak menyalahinya (Ikhtilaf) dan yang sudah sepakat.
3.      Apabila fatwa sahabat berbeda-beda, Ahmad Ibnu Hanbal memilih salah satu pendapat mereka yang lebih dekat kepada Al-Qur’an dan As-sunnah.
4.      Ahmad Ibnu Hanbal menggunakan Hadist Mursal dan Dhaif apabila tidak ada aksar, qaul sahabat atau ijma’ yang menyalahinya.
5.      Apabila tidak ada dalam Nash, As-Sunnah, qaul sahabat, riwayat Masyhur, Hadist Mursal dan Dhaif, Ahmad Ibnu Hanbal menganalogikan (menggunakan Qiyas) dan Qiyas bagi nya adalah dalil yang digunakan dalam keadaan terpaksa.[32]

b.      Pola pikir dan faktor yang mempengaruhi Imam Hambali
Pesat nya perkembangan zaman tidak membuat Imam Hambali berpikir rasional, bahkan hasil rumusannya lebih ketat dan kaku dibandingkan Imam Maliki yang tradisional. Paling tidak ada dua faktor yang menjadikan Imam Hambali berpikir seperti itu.
      Faktor munculnya berbagai aliran. Pada masa ini, aliran syiah, khawarij, qadariah dan murjiah, semua aliran ini telah banyak keluar atau menyimpang dari ajaran islam yang sebenarnya.[33]
      Faktor politik dan budaya. Ahmad Ibnul Hanbal, hidup pada periode pertengahan kekhalifahan Abbasyiah, ketika unsur Persia mendominasi unsur Arab. Pada periode ini sering kali timbul pergolakan, konflik, dan pertentangan yang berkisar pada soal kedudukan putra mahkota dan khilafat antara anak-anak khalifah dan saudara-saudara nya. Saat itu aliran Mu’tazilah berkembang, bahkan menjadi mazhab resmi Negara pada masa pemerintahan Almakmun, Almu’tasim, dan Alwatsiq.[34]
      Inilah faktor yang menyebabkan Imam Hanbali mengajak kepada masyarakat untuk berpegang teguh kepada Hadist dan Sunnah. Sikap ini berbeda dengan Imam Asyafi’I yang melawan ijtihat rasional pada saat itu dengan memadukan hadist dan rasio. Sebaliknya, Imam Hanbali justru berpendapat bahwa ijtihat itu sendiri harus dilawan dengan kembali berpegang teguh kepada hadist dan Sunnah. 

C.    Tujuan Mempelajari Perbandingan Mazhab
Setiap sesuatu hikmah dan tujuannya yang hendak dicapai atau diraih. Begitu pula lahirnya ilmu perbandingan Mazhab, ia tidak bisa terlepas dari tujuan atau maksud yang hendak disampaikan. Setidaknya ada dua tujuan yang hendak dicapai dalam mempelajari perbandingan Mazhab yaitu tujuan secara praktis dan tujuan secara akademis.
Tujuan secara praktis, adalah tujuan yang bisa dirasakan baik oleh muqarrin (pelaku perbandingan) atau masyarakat secara umum.
1.      Untuk menimbulkan rasa saling menghormati atau toleransi (tasamuh) dengan yang berbeda pendapat. Ini menandakan bahwa islam menghsargai kebebasan menyatakan pendapat. Pendapat yang muncul bukan dijadikan sebagai ajang permusuhan atau perselisihan, tetapi sebagai tawaran alternative untuk memberikan kemudahan dalam menyelesaikan persoalan dan realita hidup.
2.      Dapat mendekatkan berbagai Mazhab disatu pihak, sehingga perpecahan umat dapat disatukan kembali ataupun jurang perbedaan dapat diperkecil sehingga terjalin persaudaraan islam.
3.      Memberikan kesadaran kepada masyarakat bahwa perbedaan adalah sunnatullah yang tak bisa dihindari dimanapun ia berada.
4.      Dapat menimbulkan rasa puas dalam mengamalkan suatu hukum sebagai hasil dari berbagai pendapat imam Mazhab.
5.      Dapat meneteramkan jiwa karena membandingkan adalah jalan yang mudah untuk mengetahui cara-cara para Imam dalam menentukan hukum.[35]

Adapun tujuan secara akademik, sebagai tujuan yang syarat dengan unsur-unsur ilmiah, yaitu sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui pendapat, konsep teori dasar, akidah, kaidah, metode, teknis ataupun pendekatan yang digunakan oleh tiap-tiap imam Mazhab Fiqih dalam menggali hukum islam dan menetapkan hukumnya.
2.      Untuk mengetahui betapa luasnya pemahaman ilmu fiqih dan betapa kayanya khazanah hukum islam yang diwariskan oleh para imam Mazhab hamper tidak bias dihindari baik langsung ataupun tidak langsung sebagai konsep perbandingan Mazhab.[36]

D.    Analisis Penulis
Dari paparan diatas dapat penulis analisis bahwasannya perbedaan pendapat para Imam dalam menetapkan hukum itu diakibatkan karena cara pandang seorang Imam terhadap suatu masalah serta karena letak geografis tempat tinggal para Imam. Seperti halnya imam Hanafi, Secara geografis Imam Hanafi lahir di Kuffah (Iraq) yang penduduknya merupakan masyarakat yang sudah banyak mengenal kebudayaan dan peradaban. Fuqaha daerah ini sering dihadapkan pada persoalan hidup yang beragam. Untuk mengatasinya, mereka terpaksa memakai ijtihad dan akal, dikarnakan didaerah tersebut sedikit orang yang menghafal hadis. Berbeda dengan imam malik yang tinggal dimadinah, beliau dalam menetapkan hukum mengutamakan al-Quran, Hadis dan kebiasaan masyarakat madinah, sebagaimana kita ketahui dimadinah merupakan tempat para sahabat Nabi serta kebiasaan masyarakat madinah juga didasarkan pada kebiasaan Nabi dan Para sahabat sehingga Imam maliki mengambil kebiasaan masyarakat madinah sebagai dasar dalam memutuskan hukum.
Di Negara Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama islam, beraqidah sunni dan bermazhab syafi’i, hal ini disebabkan karena negara Indonesia bahkan sebagian besar negara Islam di Asia tenggara telah memiliki ketetapan dari pemerintah untuk menganut hukum salah satu mazhab fiqh yang empat yaitu mazhab syafi’i, bukan dalam artian bahwa mazhab lain itu kurang salih dalam penetapan hukum, tetapi mazhab syafi’i merupakan mazhab yang pertama dikenal di Indonesia pada saat masuknya Islam ke indonesia pada Abad ke 13. Perbedaan mazhab dalam Islam itu bukan suatu keniscayaan tetapi sebagi suatu Rahmat. Dengan mempelajari perbedaan dan perbandingan mazhab, dapat menimbulkan rasa saling menghormati, toleransi (tasamuh) dengan yang berbeda pendapat. Ini menandakan bahwa islam menghargai kebebasan menyatakan pendapat. Pendapat yang muncul bukan dijadikan sebagai ajang permusuhan atau perselisihan, tetapi sebagai tawaran alternative untuk memberikan kemudahan dalam menyelesaikan persoalan dan realita hidup.
Menurut penulis ummat Islam ini butuh untuk bermazhab, dengan bermazhab kita akan terarah dan terbimbing, memiliki batasan dan akan mempermudah kita dalam melaksanakan hukum. Para Imam mazhab dalam menetapkan suatu hukum beliau telah mengkaji seluruh Al-Quran dan hadis kemudian baru mengistinbat kan suatu hukum, bukan menetapkan hukum dengan menggunakan akal saja. Mungkin bagi sebagian mereka yang anti bermazhab akan mengatakan, “untuk apa kita mengikuti Imam syafi’i, bukankah yang harus kita ikuti adalah Rasulullah?”. Pertanyaan yang seperti itu adalah pertanyaan yang tidak ilmiah, yang maksudnya adalah bukan berarti ketika kita mengikuti mazhab syafi’i kita telah meninggalkan Sunnah Rasulullah. Karena dalam menetapkan Hukum Imam Syafi’i juga menggunakan Hadis-hadis nabi bahkan beliau mengatakan, “Apabila ada Hadis yang Sahih maka itulah mazhab saya”.



BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Madzhab adalah hasil ijtihad seorang imam (mujtahid) tentang hukum suatu masalah atau tentang kaidah-kaidah istinbath. Dengan demikian pengertian mazhab adalah: mengikuti hasil ijtihad seorang imam tentang hukum suatu masalah atau kaidah-kaidah istinbath-nya.
Proses lahirnya mazhab yang paling utama adalah faktor usaha para murid imam mazhab yang menyebarkan dan menanamkan pendapat para imam kepada masyarakat dan juga disebabkan adanya pembukuan pendapat para imam mazhab sehingga memudahkan tersebarnya pendapat tersebut di kalangan masyarakat.
Perkembangan berbagai mazhab, selain didukung oleh fuqaha serta para pengikut mereka, juga mendapat pengaruh dan dukungan dari penguasaan politik.
Secara umum, tiap-tiap Mazhab memiliki ciri khas tersendiri karena para pembinanya berbeda pendapat dalam menggunakan metode penggalian hukum. Namun perbedaan itu hanya terbatas dalam masalah-masalah furuq, bukan masalah-maslah prinsipil atau pokok syariat. Mereka sependapat bahwa semua sumber atau dasar syariat adalah Al-Quran dan Sunnah Nabi. Semua hukum yang berlawanan dengan kedua hukum tersebut wajib ditolak dan tidak diamalkan.




DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Asy-Syarbani, “Sejarah dan Biografi Empat Imam Mazhab”, (Semarang : Amzah, 1991)

Dedi Supriadi “Perbandingan Mazhab dengan Pendekatan Baru”, (Bandung : CV Pustaka Setia, 2008).

Harun Nasution, “Islam ditinjau dari berbagai aspek”, jilid 2, (Jakarta: UI-Press, 1985).

Jalaluddin Rakhmat, “Dahulukan Akhlak di Atas Fiqh”, (Bandung : PT. Mizan, 2007).

M. Ali Hasan, “Perbandingan Mazhab”,( Jakarta : PT. Grafindo Persada, 2002).

Muhammad Jawad Mughniyah, “Fiqh Lima Mazhab”, (Jakarta : Pt. Lentera Basritama, 1999).




        [1] Dedi Supriadi “Perbandingan Mazhab dengan Pendekatan Baru”, (Bandung : CV Pustaka Setia, 2008), 14
        [2] Dedi Supriadi, Perbandingan mazhab,... 14
        [3] Dedi Supriadi, Perbandingan mazhab,... 33
        [4] Jalaluddin Rakhmat, “Dahulukan Akhlak di Atas Fiqh”, (Bandung : PT. Mizan, 2007), 183
        [5] Jalaluddin Rakhmat, “Dahulukan Akhlak ,…183
        [6] Dedi Supriadi, Perbandingan mazhab,...  39
        [7] Harun Nasution, “Islam ditinjau dari berbagai aspek”, jilid 2, (Jakarta: UI-Press, 1985), 14
        [8] Dedi Supriadi, Perbandingan mazhab,...  8
        [9] M. Ali Hasan, “Perbandingan Mazhab”,( Jakarta : PT. Grafindo Persada, 2002), 184
        [10] Muhammad Jawad Mughniyah, “Fiqh Lima Mazhab”, (Jakarta : Pt. Lentera Basritama, 1999), xxv
        [11] Muhammad Jawad Mughniyah, “Fiqh Lima Mazhab”,… xxvi
        [12] Muhammad Jawad Mughniyah, “Fiqh Lima Mazhab”,… xxvi
        [13] Dedi Supriadi, Perbandingan mazhab,... 157
        [14] M. Ali Hasan, “Perbandingan Mazhab”,( Jakarta : PT. Grafindo Persada, 2002), 188
        [15] Dedi Supriadi, Perbandingan mazhab,...206
        [16] Muhammad Jawad Mughniyah, “Fiqh Lima Mazhab”,… xxvii
        [17] Muhammad Jawad Mughniyah, “Fiqh Lima Mazhab”,… xxviii
        [18] Dedi Supriadi, Perbandingan mazhab,...  167
        [19] Dedi Supriadi, Perbandingan mazhab,... 207
        [20] Jalaluddin Rakhmat, “Dahulukan Akhlak ,…190
        [21] Muhammad Jawad Mughniyah, “Fiqh Lima Mazhab”,… xxix
        [22] Muhammad Jawad Mughniyah, “Fiqh Lima Mazhab”,… xxix
        [23] Jalaluddin Rakhmat, “Dahulukan Akhlak ,…191
        [24]  Muhammad Jawad Mughniyah, “Fiqh Lima Mazhab”,… xxxx
        [25] M. Ali Hasan, “Perbandingan Mazhab”,( Jakarta : PT. Grafindo Persada, 2002),  212
        [26] Dedi Supriadi, Perbandingan mazhab,... 207
        [27] Dedi Supriadi, Perbandingan mazhab,... 207
        [28] Dedi Supriadi, Perbandingan mazhab,... 208
        [29] Muhammad Jawad Mughniyah, “Fiqh Lima Mazhab”,… xxxi
        [30] Muhammad Jawad Mughniyah, “Fiqh Lima Mazhab”,… xxxi


        [31] Muhammad Jawad Mughniyah, “Fiqh Lima Mazhab”,… xxxi
        [32] M. Ali Hasan, “Perbandingan Mazhab”,( Jakarta : PT. Grafindo Persada, 2002), 230.
          [33] Dedi Supriadi, Perbandingan mazhab,... 209
          [34] Dedi Supriadi, Perbandingan mazhab,... 210
        [35]  Dedi Supriadi, Perbandingan mazhab,... 30
        [36] Dedi Supriadi, Perbandingan mazhab,... 30

8 komentar:

  1. mengapa kita harus bermazhab?
    silahkan baca:
    http://pustakailmiah78.blogspot.co.id/2016/03/mengapa-kita-harus-bermazhab.html?m=1

    BalasHapus
  2. mengapa kita harus bermazhab?
    silahkan baca:
    http://pustakailmiah78.blogspot.co.id/2016/03/mengapa-kita-harus-bermazhab.html?m=1

    BalasHapus
  3. semoga makalahnya bermanfaat buat yang lain....

    BalasHapus
  4. Luar biasa makalahnya smg brmanfaat.lanjut trs nulisnya.

    BalasHapus
  5. SYUKRON ALA MAKALAHU.
    HAADZA JAMIILUN JIDDAN

    BalasHapus