Kamis, 06 Agustus 2015

Kiprah Nahdathul Ulama di Indonesia

BAB I

PENDAHULUAN


         Dalam sejarah Indonesia, sejak masa pra-Kemerdekaan hingga saat ini, posisi dan peranan ulama cukup penting terhadap proses perubahan social kemasyarakatan, karena ulama merupakan tokoh panutan bagi umat Islam yang merupakan agama terbesar di indonesia.

       Perkembangan Islam di Indonesia merupakan proses yang berkaitan dengan berbagai sektor kehidupan lainnya yang sangat kompleks. Nahdhatul Ulama (NU) adalah sebuah kelompok yang sudah lama berdiri di Indonesia serta berkembang dengan pesat. Ulama NU telah banyak mengambil keputusan hukum Islam dengan jalan melakukan bahsul Masail (mencari solusi dari sebuah masalah) dengan banyak merujuk pada kitab-kitab fiqh yang bermazhab.
      NU menganut paham aqidah Ahlusunnah Wal Jamaah. Adapun sumber pemikiran NU tidak hanya Al-Quran, Sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal, dan ijtihad imam mazhab dalam bidang fiqh (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali), sedangkan bidang tasawuf, NU mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi yang mengintegrasikan anatara tasawuf dengan syariat.
      Berangkat dari pemikiran yang demikian maka dalam makalah ini penulis akan menyajikan secara singkat tentang  Nahdlatul Ulama perkembangan awal dan kontemporer, hal ini tentunya dimaksudkan untuk membedah pemikiran serta pengaruhnya terhadap perkembangan pemikiran modern dalam Islam khususnya di Indonesia.


BAB II

PEMBAHASAN

A.    Sejarah munculnya Nahdatul Ulama

Pada saat belanda melakukan politik etis, muncullah organisasi sosial kebangsaan maupun sosial keagamaan. Seperti Serikat Islam, Boedi Utoma, Muhammaddiyah. Keadaan ini disambut baik oleh pelajar Indonesia yang sedang belajar di mekkah antara lain Abdul Wahab Chasbullah, Muhammad Dahlan, Asnawi dan Abbas. Mereka mendirikan serikat dagang di Mekkah, namun belum sempat berkembang karena mereka harus pulang ke Indonesia, namun jiwa organisasi tidak berhenti disitu saja, setiba mereka ditanah air mereka mendirikan sebuah organisasi pendidikan dan dakwah yang diberi nama Nahdathul Wathan dan dirintis sejak tahun 1914 dan pada tahun 1916 mendapat pengakuan dari badan hukum berkat adanya bantuan pimpinan Serikat Dagang Tjokro Minoto.[1]
Kehadiran Nahdatul Wathan menjadi cikal bakal lahirnya Nahdatul Ulama, setelah mengalami berbagai permasalahan. Sekitar 10 tahun kemudian baru ada NU yang diawali dengan terbentuknya komite hijaz sebelum tahun 1926. Komite hijaz dibentuk untuk mengirim delegasi ke mekkah pada pertemuan internasional guna membahas pengaturan mekkah dan madinah, setelah terjadi peralihan kekuasaan kepemimpinan dari Husein ke Ibnu Sau’d yang beraliran wahabi sehingga para ulama pesantren sedikit ragu untuk kelangsungan agama tradisi di mekkah.[2]
Kehadiran Nahdatul Ulama tersebut dilatar belakangi keperluan yang mendesak bagi kaum ulama penganut mazhab untuk menghadapi pembaharuan islam di indonesia khususnya pulau jawa, serta keperluan mengadakan audiensi guna menyampaikan aspirasi dari kaum Ahlussunnah waljamaah di indonesia kepada pengusaha baru di saudi arabia yang dikuasai oleh dinasti Suud yang beraliran wahabi.[3]
Nahdatul ulama (NU) sebagai organisasi secara resmi berdiri di surabaya pada tanggal 31 januari 1926 adanya NU sebagai reaksi atas perkembangan modernisme islam. Yang tarik menarik antara perkembangan politik di timur tengah dengan dinamika gerakan islam di tanah air. Reaksi yang dimaksud merupakan sikap protes dari tokoh-tokoh islam yang menyatakan diri sebagai penganut Ahlu Sunnah Wal Jama'ah.[4]
Terdapat dua alasan pokok yang melandasi kesepakatan para ulama untuk mendirikan organisasi NU. Pertama timbulnya keperluan yang mendesak bagi kaum penganut mazhab untuk melembagakan persatuan diatara mereka guna menghadapi pesatnya perkembangan gerakan pembaharuan islam di indonesia khususnya dipulau jawa terutama yang dilancarkan oleh Muhammadiyah lebih sering menimbulkan pembenturan dengan kaum ahlu sunnah wal jamaah. Kedua timbul nya keperluan yang mendesak untuk mengadakan audiensi guna menyampaikan resolusi dari kaum ahlussunnah wal jamaah di indonesia kepada penguasa baru disaudi Arabia yang dipegang oleh dinasti Suud dari kaum wahabi. Resolusi tersebut meminta agar pemerintah baru tersebut untuk tidak menhapus tradisi yang dipandang sebagai ibadah oleh kaum ahlusunnah wal jamaah. Sebagaimana diketahui dinasti baru yang berkuasa di saudi Arabia menganut paham pemikiran Muhammad Bin Abdul wahab (pengikutnya disebut wahabi) yang ajarannya membasmi bid'ah dan khurafat dan kembali kepada Al-Qur'an dan hadist.[5]

B.     Tokoh-Tokoh Nahdathul Ulama

Peran NU dari sejak berdirinya tahun 1926, sampai hari ini cukup signifikan. Tidak hanya dalam hal keagamaan, melainkan juga dalam bidang-bidang lain termasuk politik. Kini NU memasuki usia 89 tahun ini tidak terlepas dari kisah tokoh berpengaruh dalam kehidupan ormas terbesar di Indonesia ini, diantaranya:

1.      K.H Hasyim Asy’ari
K.H Hasyim Asy’ari lahir pada 24 Dzulqa’idah 1287 H atau 14 Febryari 1871 m di desa Nggedang, Jombang, jawa Timur. Menurut Hasyim, umat islam boleh mempelajari selain ke empat mazhab yang ada. Namun persoalannya, madzhab yang lain tidak memiliki banyak literatur, sehingga mata rantai pemikirannya terputus. Maka, tidak mungkin memahami maksud yang dikandung Al-Quran dan hadis tanpa mempelajari pendapat para ulama imam mazhab.
NU didirikan antara lain untuk mempertahankan paham  bermazhab, yang ketika itu mendapat serangan dari kaum modernis. NU didirikan dengan paham Ahlisunnah wal Jamaah yaitu berpedoman pada Al-quran, Hadis, Qiyas dan menerima Ijtihad Ulama. KH. Hasyim Asy’ari menyimpulkan bahwa untuk pemahaman keagamaan dan fiqih ditetapkan empat mazhab (Syafi’i, Maliki, Hambali, dan Hanafi) yang menjadi cirri utama paham ahlusunnah dan NU.[6]

2.      K.H Idham Chalid
Idham Chalid lahir pada tanggal 27 Agustus 1922 di setui, dekat kecamatan Kotabaru, bagian tenggara kalimantan selatan. Menurut Idham, NU harus ikut andil dalam kekuasaan sebagai kekuatan penyeimbang. Cara ini dianggap lebih tepat dalam menghasilkan kebijakan-kebijakan pemerintah yang pro umat, daripada berada di luar kekuasaan yang justru membuat sulit bergerak. Efek kebijakannya sangat luar biasa. Ia menjadi sangat berakar dikalangan bawah kaum Nahdhaliyah, terutama diluar jawa, dan mampu bertahan dikancah perpolitikan tanah air lebih dari tiga dekade. Namun dalam internal Nahdhaliyah ada anggapan bahwa keterlibatan NU di wilayah politik dibawah kepemimpinannya terlalu besar. Maka, dengan manfaat isu kembali ke khittah 1926 yang tengah digaung kalangan muda NU di Muktamar situbondo 1984, pihak lawan membuat Idham terjatuh dari kursinya.

C.    Pemikiran Nahdhatul Ulama

NU mengandung paham Ahli sunnah Wal jama’ah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrim aqli (rasional) dengan kaum ekstrim naqli (spiritual). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya Al-Quran, Sunnah, tapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realistis empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikiran tedahulu seperti Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi. Kemudian dalam bidang Fiqh lebih cenderung mengikuti mazhab imam yang empat yaitu Imam Syafi’i, Hanafi, Maliki dan Hambali. Sementara dalam bidang tasauf mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasauf dengan syari’at. Gagasan kembali kekhittah pada tahun 1984, merupakan momentum penting menafsirkankan kembali ajaran Ahli Sunnah Wal Jama’ah, serta merumuskan kembali metode berpikir baik dalam bidang Fiqh maupun sosial. Serta merumuskan kembali hubungan NU dengan negara. Gerakan tersebut berhasil kembali membangkitkan gairah pemikiran dan dinamika sosial dalam NU.[7]
NU sebagai jam’iyah sekaligus gerakan Diniyah Islamiyah dan Ijtima’iyah, sejak berdirinya telah menjadikan paham Ahlusunnah wal jama’ah sebagai basis teologi (dasar beraqidah) dan menganut salah satu dari empat mazhab yaitu mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali sebagai pandangan dalam berfiqih. Dengan mengikuti empat mazhab fiqh ini, menunjukkan elestisitas dan fleksibelitas sekaligus memungkinkan bagi NU untuk beralih mazhab secara total atau dalam beberapa hal yang dipandang sebagai kebutuhan (hajat), meskipun kenyataannya dalam keseharian para ulama NU menggunakan fiqh indonesia yang bersumber dar mazhab syafi’i. Hampir dapat dipastikan bahwa fatwa, petunjuk dan keputusan hukum yang diberikan oleh ulama NU dan kalangan pesantren selalu bersumber dari mazhab syafi’i.[8]
NU sebagai organisasi sosial keagamaan, sejak semula menitik beratkan kegiatannya untuk mengamalkan ajaran Islam menurut paham ASWAJA dengan bentuk-bentuk kegiatan dibidang sosial kemasyarakatan, dakwah dan pendidikan.[9]
Paham Aswaja yang lahir pada abad ke tiga hijriah, yang dipelopori oleh Hasan Ali al-Asy’ari (W. 324 H) dan Abu Mansur Ibnu Muhammah al-Maturidi (W 332 H) yang kemudian di transfer NU bukanlah pandangan politik, tetapi sistem berpikir, untuk mencari jalan tengah (ta’adul) antara yang liberal/kontekstual dan tekstual, konvensi dan inkonvensi, tradisional dan rasional. [10]

D.    NU dari Awal Perkembangan hingga Kontemporer

Kelahiran Nahdlatul Ulama (NU) pada 1926 silam sebenarnya tak bisa dilepaskan dengan perkembangan kelompok Islam yang secara relatif berhaluan pembaruan ke arah “yang disebut” pemurnian (purifikasi) ajaran Islam.
Organisasi Muhammadiyah didirikan di Yogyakarta pada 1912 oleh KH Ahmad Dahan yang kemudian gerakannya dianggap cenderung berbeda dengan kebiasaan praktik-praktik keagamaan (Islam) masyarakat lokal merupakan bagian dari efek picu yang mempercepat lahirnya NU.
Ditambah lagi pada saat itu gerakan pembaruan Islam di Timur Tengah di bawah pengaruh kuat ajaran Muhammad bin Abdul Wahab (Wahabi) dianggap sudah kebablasan karena sudah sampai pada keinginan membongkar makam Rasulullah SAW. Kalangan ulama Indonesia berhaluan Sunni akhirnya membentuk komite (yang disebut Komite Hijaz) yang selanjutnya diutus khusus untuk menemui Raja Fahd di Arab Saudi.[11]
Di balik sikap reaktif itu, sebenarnya para ulama Sunni Indonesia memiliki misi mempertahankan budaya pluralisme kebangsaan yang membumi. Pada tingkat lokal, para ulama NU tidak ingin membenturkan ajaran Islam dengan kebiasaan beragama masyarakat setempat. Tepatnya, para ulama NU berupaya selalu mengharmoniskan hubungan antara pengamalan agama dan praktik budaya lokal.
Secara universal, para ulama NU berupaya memperkenalkan dan menghendaki penghargaan terhadap nilai-nilai perbedaan yang eksis di dalam masyarakat dunia, dengan menunjukkan toleransi dan pembelaannya terhadap upaya atau keinginan untuk menghilangkan kebiasaan. Terlebih hal itu, oleh pihak NU, secara prinsip ditafsirkan sebagai tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Dalam perjalanannya, karena watak reaktif NU kerap kali terjebak pada situasi temporer, terutama terkait dengan agenda politik praktis. Para tokohnya tampaknya tak ingin ketinggalan berpartisipasi dalam kancah politik praktis, dengan alasan-alasan yang pada dasarnya bersifat pragmatis. Apalagi, di kalangan tokoh NU itu muncul kesadaran tentang adanya basis massa politik yang riil yang secara kuantitatif memiliki posisi tawar yang kuat.[12]
Makanya, tidak heran kalau perjalanan NU tidak bisa dilepaskan dengan kiprah politiknya yang sebenarnya merupakan bagian dari kepentingan segelintir elite NU sendiri. Pada rentang 1945–1952 NU tergabung dalam Partai Masyumi. Melalui muktamar di Palembang pada 1952, NU mendirikan parpol sendiri, yakni Partai NU dan ikut Pemilu 1955. Pada 1971, oleh pemerintah Orde Baru Partai NU dengan paksa digabung di dalam PPP, hingga kemudian menyatakan diri lepas dari politik praktis melalui Muktamar NU di Situbondo 1984. Mulai saat itulah NU di bawah kepemimpinan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menyatakan kembali ke Khittah 1926, yang pada dasarnya mereposisi NU ke arah kebangsaan tanpa politik praktis.[13]
Tetapi para tokoh atau elite NU sudah telanjur menikmati manfaat pragmatis dunia politik, yang kemudian ternyata semakin menyulitkan operasionalisasi konsep kembali ke Khittah 1926. Dalam konteks ini setidaknya terdapat tiga alasan utama sulitnya melepas dunia politik.[14]
Pertama, kepemimpinan NU selama 32 tahun (1952–1984) berada langsung di bawah politisi, yakni KH Idham Chalid. Budaya NU kemudian sangat kental dan berurat akar politik. Sehingga, kendati NU sudah menyatakan diri kembali ke Khittah 1926, realitasnya para elite politik dan tokoh-tokoh internal NU yang menyimpan syahwat politik tak bisa menahan dirinya lagi untuk tidak melampiaskan libido politiknya itu.
Kedua, adanya stok massa yang tersedia bisa dikendalikan dan dimanfaatkan seperti yang diinginkan oleh para elitenya. Maka tidak heran jika dari masa ke masa, dan terutama di era reformasi sekarang ini, basis massa NU itu menjadi “ladang emas” yang dieksploitasi dan didulang suaranya oleh para politisinya.
Ketiga, munculnya generasi baru NU yang terpelajar dan melek politik. Kecenderungan ini memang baru terasa sekali di era 1990- an hingga sekarang, saat begitu banyak warga Nahdliyin berhasil memberikan pendidikan yang baik bagi generasi penerus mereka, yang menimba ilmu baik di dalam maupun di luar negeri. Mereka ini sangat menyadari potensi diri, serta melihat kesempatan dan daya dukung massa yang memungkinkan untuk tampil dalam kancah politik praktis.[15]


BAB III
PENUTUP

      Sebagai salah satu organisasi keagamaan yang terbesar di Indonesia, NU bertujuan memberlakukan ajaran Islam yang berhaluan Ahlussunah Waljama’ah dan mengikuti salah satu mazhab yang empat di tengah-tengah kehidupan di dalam satu wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
      NU menganut paham aqidah Ahlusunnah Wal Jamaah. Adapun sumber pemikiran NU tidak hanya Al-Quran, Sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal, dan ijtihad imam mazhab dalam bidang fiqh (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali), sedangkan bidang tasawuf, NU mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi yang mengintegrasikan anatara tasawuf dengan syariat.
      NU juga merupakan golongan yang luwes dan fleksibel, sebab NU bukanlah golongan yang hanya bergerak dalam bidang agama saja, tapi NU juga bergerak dalam bidang politik, ekonomi, maupun budaya. Selain itu, NU juga golongan yang mengikuti perkembangan zaman.


DAFTAR PUSTAKA

            Choirul Anam, Pertumbuhan dan perkembangan Nahdlatul Ulama, Solo: Jatayu, 1985.

            Hartono Margono, KH. Hasyim Asy’ari dan Nahdlatul Ulama: Perkembangan Awal dan Kontemporer, Media Akademi, Vol. 26, No. 3, Juli 2011.

            Laode Ida, Anatomi Konflik NU, Elit Islam dan Negara, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1996.

M.Ali Haidar, Nahdatul Ulama dan Islam Di Indonesia, Pendekatan Fiqh Dalam Politik, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1997.

            Mahrus Irsyam, Ulama dan partai Politik Upaya Mengatasi Krisis, Jakarta : Yayasan Pengkhidmatan, 1984.

            Martin Van Bruinessen, NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, Yogyakarta, LkiS, 1999.

            Sahal Mahfuz, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam NU, Surabaya : Diantama, 2004.

            Said Agiel Sirajd, Ahlusunnah Wal Jama’ah, Yogyakarta : LKPSM NU, 1998.

            Saifullah Ma’sum, Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU, Bandung: Mizan, 1998.

            Zudi Setiawan, Nasionalisme NU, Semarang : Aneka Ilmu, 2007




        [1] M.Ali Haidar, Nahdatul Ulama dan Islam Di Indonesia, Pendekatan Fiqh Dalam Politik, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1997), hal. 41
        [2] M.Ali Haidar, Nahdatul Ulama dan Islam,… hal. 59
        [3] Mahrus Irsyam, Ulama dan partai Politik Upaya Mengatasi Krisis, (Jakarta : Yayasan Pengkhidmatan, 1984), hal. 5
        [4] Laode Ida, Anatomi Konflik NU, Elit Islam dan Negara, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1996), hal. 1
        [5] Mahrus Irsyam, Ulama dan partai Politik,… hal 7
        [6] Saifullah Ma’sum, Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU, (Bandung: Mizan,
19998), hal. 80.
        [7] Zudi Setiawan, Nasionalisme NU, (Semarang : Aneka Ilmu, 2007), hal. 96
        [8] Sahal Mahfuz, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam NU, (Surabaya : Diantama, cet: 1, 2004), hal. vii
        [9] M.Ali Haidar, Nahdatul Ulama dan Islam Di Indonesia,...hal. 217
        [10] Said Agiel Sirajd, Ahlusunnah Wal Jama’ah, (Yogyakarta : LKPSM NU, 1998), hal. 20-21
      [11] Hartono Margono, KH. Hasyim Asy’ari dan Nahdlatul Ulama: Perkembangan Awal dan Kontemporer, (Media Akademi, Vol. 26, No. 3, Juli 2011), hal 344.
        [12] Choirul Anam, Pertumbuhan dan perkembangan Nahdlatul Ulama, (Solo: Jatayu, 1985), hal. 34
        [13] Hartono Margono, KH. Hasyim Asy’ari dan Nahdlatul Ulama,... hal. 346
        [14] Martin Van Bruinessen, NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, (Yogyakarta, LkiS, 1999), hal. 27.
        [15] Hartono Margono, KH. Hasyim Asy’ari dan Nahdlatul Ulama,... hal. 346-347

Tidak ada komentar:

Posting Komentar