BAB I
PENDAHULUAN
Dalam sejarah Indonesia, sejak masa pra-Kemerdekaan hingga saat ini,
posisi dan peranan ulama cukup penting terhadap proses perubahan
social kemasyarakatan, karena ulama merupakan tokoh panutan bagi
umat Islam yang merupakan agama terbesar di indonesia.
Perkembangan Islam di Indonesia merupakan
proses yang berkaitan dengan berbagai sektor kehidupan lainnya yang sangat
kompleks. Nahdhatul Ulama (NU) adalah sebuah kelompok yang sudah lama berdiri
di Indonesia serta berkembang dengan pesat. Ulama NU telah banyak mengambil
keputusan hukum Islam dengan jalan melakukan bahsul Masail (mencari solusi dari
sebuah masalah) dengan banyak merujuk pada kitab-kitab fiqh yang bermazhab.
NU
menganut paham aqidah Ahlusunnah Wal Jamaah. Adapun sumber pemikiran NU tidak
hanya Al-Quran, Sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal, dan ijtihad
imam mazhab dalam bidang fiqh (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali), sedangkan
bidang tasawuf, NU mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi yang
mengintegrasikan anatara tasawuf dengan syariat.
Berangkat
dari pemikiran yang demikian maka dalam makalah ini penulis akan menyajikan
secara singkat tentang Nahdlatul Ulama
perkembangan awal dan kontemporer, hal ini tentunya dimaksudkan untuk membedah
pemikiran serta pengaruhnya terhadap perkembangan pemikiran modern dalam Islam
khususnya di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah munculnya Nahdatul Ulama
Pada saat belanda melakukan politik etis,
muncullah organisasi sosial kebangsaan maupun sosial keagamaan. Seperti Serikat
Islam, Boedi Utoma, Muhammaddiyah. Keadaan ini disambut baik oleh pelajar
Indonesia yang sedang belajar di mekkah antara lain Abdul Wahab Chasbullah,
Muhammad Dahlan, Asnawi dan Abbas. Mereka mendirikan serikat dagang di Mekkah,
namun belum sempat berkembang karena mereka harus pulang ke Indonesia, namun
jiwa organisasi tidak berhenti disitu saja, setiba mereka ditanah air mereka
mendirikan sebuah organisasi pendidikan dan dakwah yang diberi nama Nahdathul
Wathan dan dirintis sejak tahun 1914 dan pada tahun 1916 mendapat pengakuan
dari badan hukum berkat adanya bantuan pimpinan Serikat Dagang Tjokro Minoto.[1]
Kehadiran Nahdatul Wathan menjadi cikal bakal
lahirnya Nahdatul Ulama, setelah mengalami berbagai permasalahan. Sekitar 10
tahun kemudian baru ada NU yang diawali dengan terbentuknya komite hijaz
sebelum tahun 1926. Komite hijaz dibentuk untuk mengirim delegasi ke mekkah
pada pertemuan internasional guna membahas pengaturan mekkah dan madinah,
setelah terjadi peralihan kekuasaan kepemimpinan dari Husein ke Ibnu Sau’d yang
beraliran wahabi sehingga para ulama pesantren sedikit ragu untuk kelangsungan
agama tradisi di mekkah.[2]
Kehadiran Nahdatul Ulama tersebut dilatar belakangi
keperluan yang mendesak bagi kaum ulama penganut mazhab untuk menghadapi
pembaharuan islam di indonesia khususnya pulau jawa, serta keperluan mengadakan
audiensi guna menyampaikan aspirasi dari kaum Ahlussunnah waljamaah di
indonesia kepada pengusaha baru di saudi arabia yang dikuasai oleh dinasti Suud
yang beraliran wahabi.[3]
Nahdatul ulama (NU) sebagai organisasi secara resmi berdiri di
surabaya pada tanggal 31 januari 1926 adanya NU sebagai reaksi atas
perkembangan modernisme islam. Yang tarik menarik antara perkembangan politik
di timur tengah dengan dinamika gerakan islam di tanah air. Reaksi yang
dimaksud merupakan sikap protes dari tokoh-tokoh islam yang menyatakan diri
sebagai penganut Ahlu Sunnah Wal Jama'ah.[4]
Terdapat dua alasan pokok yang
melandasi kesepakatan para ulama untuk mendirikan organisasi NU. Pertama
timbulnya keperluan yang mendesak bagi kaum penganut mazhab untuk melembagakan
persatuan diatara mereka guna menghadapi pesatnya perkembangan gerakan
pembaharuan islam di indonesia khususnya dipulau jawa terutama yang dilancarkan
oleh Muhammadiyah lebih sering menimbulkan pembenturan dengan kaum ahlu sunnah
wal jamaah. Kedua timbul nya keperluan yang mendesak untuk mengadakan audiensi
guna menyampaikan resolusi dari kaum ahlussunnah wal jamaah di indonesia kepada
penguasa baru disaudi Arabia yang dipegang oleh dinasti Suud dari kaum wahabi.
Resolusi tersebut meminta agar pemerintah baru tersebut untuk tidak menhapus
tradisi yang dipandang sebagai ibadah oleh kaum ahlusunnah wal jamaah.
Sebagaimana diketahui dinasti baru yang berkuasa di saudi Arabia menganut paham
pemikiran Muhammad Bin Abdul wahab (pengikutnya disebut wahabi) yang ajarannya
membasmi bid'ah dan khurafat dan kembali kepada Al-Qur'an dan hadist.[5]
B. Tokoh-Tokoh Nahdathul Ulama
Peran NU dari sejak berdirinya tahun 1926, sampai hari ini cukup
signifikan. Tidak hanya dalam hal keagamaan, melainkan juga dalam bidang-bidang
lain termasuk politik. Kini NU memasuki usia 89 tahun ini tidak terlepas dari
kisah tokoh berpengaruh dalam kehidupan ormas terbesar di Indonesia ini,
diantaranya:
1. K.H Hasyim Asy’ari
K.H Hasyim Asy’ari lahir pada 24 Dzulqa’idah 1287 H atau 14 Febryari 1871 m
di desa Nggedang, Jombang, jawa Timur. Menurut Hasyim, umat islam boleh
mempelajari selain ke empat mazhab yang ada. Namun persoalannya, madzhab yang
lain tidak memiliki banyak literatur, sehingga mata rantai pemikirannya
terputus. Maka, tidak mungkin memahami maksud yang dikandung Al-Quran dan hadis
tanpa mempelajari pendapat para ulama imam mazhab.
NU didirikan antara lain untuk mempertahankan paham bermazhab, yang ketika itu mendapat serangan
dari kaum modernis. NU didirikan dengan paham Ahlisunnah wal Jamaah yaitu
berpedoman pada Al-quran, Hadis, Qiyas dan menerima Ijtihad Ulama. KH. Hasyim
Asy’ari menyimpulkan bahwa untuk pemahaman keagamaan dan fiqih ditetapkan empat
mazhab (Syafi’i, Maliki, Hambali, dan Hanafi) yang menjadi cirri utama paham ahlusunnah
dan NU.[6]
2. K.H Idham Chalid
Idham Chalid lahir pada tanggal 27 Agustus
1922 di setui, dekat kecamatan Kotabaru, bagian tenggara kalimantan selatan.
Menurut Idham, NU harus ikut andil dalam kekuasaan sebagai kekuatan
penyeimbang. Cara ini dianggap lebih tepat dalam menghasilkan
kebijakan-kebijakan pemerintah yang pro umat, daripada berada di luar kekuasaan
yang justru membuat sulit bergerak. Efek kebijakannya sangat luar biasa. Ia
menjadi sangat berakar dikalangan bawah kaum Nahdhaliyah, terutama diluar jawa,
dan mampu bertahan dikancah perpolitikan tanah air lebih dari tiga dekade. Namun
dalam internal Nahdhaliyah ada anggapan bahwa keterlibatan NU di wilayah
politik dibawah kepemimpinannya terlalu besar. Maka, dengan manfaat isu kembali
ke khittah 1926 yang tengah digaung kalangan muda NU di Muktamar situbondo 1984,
pihak lawan membuat Idham terjatuh dari kursinya.
C. Pemikiran Nahdhatul Ulama
NU mengandung paham Ahli sunnah Wal jama’ah, sebuah pola pikir yang
mengambil jalan tengah antara ekstrim aqli (rasional) dengan kaum ekstrim naqli
(spiritual). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya Al-Quran, Sunnah,
tapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realistis empirik. Cara
berpikir semacam itu dirujuk dari pemikiran tedahulu seperti Abu Hasan
Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi. Kemudian dalam
bidang Fiqh lebih cenderung mengikuti mazhab imam yang empat yaitu Imam
Syafi’i, Hanafi, Maliki dan Hambali. Sementara dalam bidang tasauf
mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan
antara tasauf dengan syari’at. Gagasan kembali kekhittah pada tahun 1984,
merupakan momentum penting menafsirkankan kembali ajaran Ahli Sunnah Wal
Jama’ah, serta merumuskan kembali metode berpikir baik dalam bidang Fiqh maupun
sosial. Serta merumuskan kembali hubungan NU dengan negara. Gerakan tersebut
berhasil kembali membangkitkan gairah pemikiran dan dinamika sosial dalam NU.[7]
NU sebagai jam’iyah sekaligus gerakan Diniyah Islamiyah dan Ijtima’iyah,
sejak berdirinya telah menjadikan paham Ahlusunnah wal jama’ah sebagai basis
teologi (dasar beraqidah) dan menganut salah satu dari empat mazhab yaitu
mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali sebagai pandangan dalam berfiqih.
Dengan mengikuti empat mazhab fiqh ini, menunjukkan elestisitas dan
fleksibelitas sekaligus memungkinkan bagi NU untuk beralih mazhab secara total
atau dalam beberapa hal yang dipandang sebagai kebutuhan (hajat), meskipun
kenyataannya dalam keseharian para ulama NU menggunakan fiqh indonesia yang
bersumber dar mazhab syafi’i. Hampir dapat dipastikan bahwa fatwa, petunjuk dan
keputusan hukum yang diberikan oleh ulama NU dan kalangan pesantren selalu
bersumber dari mazhab syafi’i.[8]
NU sebagai organisasi sosial keagamaan, sejak semula menitik beratkan
kegiatannya untuk mengamalkan ajaran Islam menurut paham ASWAJA dengan
bentuk-bentuk kegiatan dibidang sosial kemasyarakatan, dakwah dan pendidikan.[9]
Paham Aswaja yang lahir pada abad ke tiga hijriah, yang dipelopori oleh
Hasan Ali al-Asy’ari (W. 324 H) dan Abu Mansur Ibnu Muhammah al-Maturidi (W 332
H) yang kemudian di transfer NU bukanlah pandangan politik, tetapi sistem
berpikir, untuk mencari jalan tengah (ta’adul) antara yang liberal/kontekstual
dan tekstual, konvensi dan inkonvensi, tradisional dan rasional. [10]
D. NU dari Awal Perkembangan hingga Kontemporer
Kelahiran Nahdlatul Ulama (NU) pada 1926 silam sebenarnya tak bisa
dilepaskan dengan perkembangan kelompok Islam yang secara relatif
berhaluan pembaruan ke arah “yang disebut” pemurnian (purifikasi)
ajaran Islam.
Organisasi Muhammadiyah didirikan di Yogyakarta pada 1912 oleh KH Ahmad
Dahan yang kemudian gerakannya dianggap cenderung berbeda dengan kebiasaan
praktik-praktik keagamaan (Islam) masyarakat lokal merupakan bagian dari efek
picu yang mempercepat lahirnya NU.
Ditambah lagi pada saat itu gerakan pembaruan Islam di Timur Tengah di
bawah pengaruh kuat ajaran Muhammad bin Abdul Wahab (Wahabi) dianggap sudah
kebablasan karena sudah sampai pada keinginan membongkar makam Rasulullah SAW. Kalangan ulama Indonesia berhaluan Sunni akhirnya membentuk komite (yang disebut
Komite Hijaz) yang selanjutnya diutus khusus untuk menemui Raja
Fahd di Arab Saudi.[11]
Di balik sikap reaktif itu, sebenarnya para ulama Sunni Indonesia memiliki
misi mempertahankan budaya pluralisme kebangsaan yang membumi. Pada tingkat
lokal, para ulama NU tidak ingin membenturkan ajaran Islam dengan kebiasaan
beragama masyarakat setempat. Tepatnya, para
ulama NU berupaya selalu mengharmoniskan hubungan antara pengamalan agama dan praktik budaya
lokal.
Secara universal, para ulama NU berupaya memperkenalkan dan menghendaki
penghargaan terhadap nilai-nilai perbedaan yang eksis di dalam masyarakat
dunia, dengan menunjukkan toleransi dan pembelaannya terhadap upaya atau
keinginan untuk menghilangkan kebiasaan. Terlebih
hal itu, oleh pihak NU, secara prinsip ditafsirkan sebagai tidak bertentangan dengan
ajaran Islam.
Dalam perjalanannya, karena watak
reaktif NU kerap kali terjebak pada situasi temporer, terutama terkait dengan agenda politik
praktis. Para tokohnya tampaknya tak ingin ketinggalan berpartisipasi
dalam kancah politik praktis, dengan alasan-alasan yang
pada dasarnya bersifat pragmatis. Apalagi, di kalangan tokoh NU
itu muncul kesadaran tentang adanya basis massa politik yang riil
yang secara kuantitatif memiliki posisi tawar yang kuat.[12]
Makanya, tidak heran kalau
perjalanan NU tidak bisa dilepaskan dengan kiprah politiknya yang
sebenarnya merupakan bagian dari kepentingan segelintir elite NU
sendiri. Pada
rentang 1945–1952 NU tergabung dalam Partai Masyumi. Melalui muktamar
di Palembang pada 1952, NU mendirikan parpol sendiri, yakni
Partai NU dan ikut Pemilu 1955. Pada 1971, oleh pemerintah Orde
Baru Partai NU dengan paksa digabung di dalam PPP, hingga
kemudian menyatakan diri lepas dari politik praktis melalui
Muktamar NU di Situbondo 1984. Mulai saat itulah NU di bawah
kepemimpinan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menyatakan
kembali ke Khittah 1926, yang pada dasarnya mereposisi NU
ke arah kebangsaan tanpa politik praktis.[13]
Tetapi para tokoh atau elite NU
sudah telanjur menikmati manfaat pragmatis dunia politik, yang kemudian ternyata semakin menyulitkan
operasionalisasi konsep kembali ke Khittah 1926. Dalam konteks
ini setidaknya terdapat tiga alasan utama sulitnya melepas dunia
politik.[14]
Pertama, kepemimpinan NU selama 32 tahun (1952–1984) berada
langsung di bawah politisi, yakni KH Idham Chalid. Budaya NU
kemudian sangat kental dan berurat akar politik. Sehingga, kendati NU
sudah menyatakan diri kembali ke Khittah 1926, realitasnya
para elite politik dan tokoh-tokoh internal NU yang menyimpan syahwat
politik tak bisa menahan dirinya lagi untuk tidak melampiaskan libido
politiknya itu.
Kedua, adanya stok massa yang tersedia bisa dikendalikan dan dimanfaatkan seperti
yang diinginkan oleh para elitenya. Maka tidak heran jika dari
masa ke masa, dan terutama di era reformasi sekarang ini,
basis massa NU itu menjadi “ladang emas” yang dieksploitasi dan didulang
suaranya oleh para politisinya.
Ketiga, munculnya generasi baru NU yang terpelajar dan melek politik.
Kecenderungan ini memang baru terasa sekali di era 1990- an
hingga sekarang, saat begitu banyak warga Nahdliyin berhasil memberikan
pendidikan yang baik bagi generasi penerus mereka, yang
menimba ilmu baik di dalam maupun di luar negeri. Mereka ini sangat
menyadari potensi diri, serta melihat kesempatan dan daya dukung
massa yang memungkinkan untuk tampil dalam kancah politik
praktis.[15]
BAB III
PENUTUP
Sebagai
salah satu organisasi keagamaan yang terbesar di Indonesia, NU bertujuan
memberlakukan ajaran Islam yang berhaluan Ahlussunah Waljama’ah dan
mengikuti salah satu mazhab yang empat di tengah-tengah kehidupan di dalam satu
wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
NU
menganut paham aqidah Ahlusunnah Wal Jamaah. Adapun sumber pemikiran NU tidak
hanya Al-Quran, Sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal, dan ijtihad
imam mazhab dalam bidang fiqh (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali), sedangkan
bidang tasawuf, NU mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi yang
mengintegrasikan anatara tasawuf dengan syariat.
NU
juga merupakan golongan yang luwes dan fleksibel, sebab NU bukanlah golongan
yang hanya bergerak dalam bidang agama saja, tapi NU juga bergerak dalam bidang
politik, ekonomi, maupun budaya. Selain itu, NU juga golongan yang mengikuti
perkembangan zaman.
DAFTAR PUSTAKA
Choirul
Anam, Pertumbuhan dan perkembangan Nahdlatul Ulama, Solo: Jatayu, 1985.
Hartono
Margono, KH. Hasyim Asy’ari dan Nahdlatul Ulama: Perkembangan Awal dan Kontemporer, Media Akademi, Vol. 26, No. 3, Juli 2011.
Laode
Ida, Anatomi Konflik NU, Elit Islam dan Negara, Jakarta : Pustaka Sinar
Harapan, 1996.
M.Ali Haidar, Nahdatul Ulama dan Islam Di
Indonesia, Pendekatan Fiqh Dalam Politik, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama, 1997.
Mahrus
Irsyam, Ulama dan partai Politik Upaya Mengatasi Krisis, Jakarta :
Yayasan Pengkhidmatan, 1984.
Martin
Van Bruinessen, NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, Yogyakarta, LkiS, 1999.
Sahal
Mahfuz, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam NU, Surabaya : Diantama,
2004.
Said
Agiel Sirajd, Ahlusunnah Wal Jama’ah, Yogyakarta : LKPSM NU, 1998.
Saifullah
Ma’sum, Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU, Bandung: Mizan, 1998.
Zudi
Setiawan, Nasionalisme NU, Semarang : Aneka Ilmu, 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar