BAB I
PENDAHULUAN
Sejuta hadis telah beredar pada akhir abad ke 2 Hijriah. Tugas
mengumpulkan, mengklasifikasikan, dan menilai hadis sangatlah berat. Namun Ulama
sangat tekun dan mengejarkanya. Sering mereka harus melakukan perjalanan ribuan
mil hanya untuk memestikan kemungkinan satu mata rantai dalam rantai
periwayatan (sanad) atau kebenaran satu kata atau ungkapan dalam teks hadist.
Bahkan lebih dari itu, mereka bersedia melakukan apapun untuk masalah yang
berkaitan dengan agama dan Nabi mereka.
Disini diperlukan beberapa generasi untuk melakukan penelitian ini,
dan diantaranya menghasilkan kumpulan hadist terpercaya yang diterima secara
universal, yaitu kitab shahih Bukhari dan Muslim, kitab sunan Abu Daud, At
Tirmizi, Ibn Majah dan Al Nasai. Dan kitab lainnya, yang mendapat penerimaan
yang luas dikalangan umat Islam adalah musnad imam ahmad yang muncul lebih
dahulu sebelum kitab eman tersebut.
Proses pengumpulan dan penyeleksian sehingga menghasilkan
kitab-kitab kumpulan hadis tersebut tak lepas dari jasa-jasa ulama yang hidup
sebelumnya[1].
Dengan jasa para ulama dahululah
hadist-hadist terkumpulkan dan menjadi rujukan hukum kedua setelah Al
Qur’an bagi umat Islam.
BAB II
PENGUMPULAN DAN KONDIFIKASI HADIST
A. Pengertian Pengumpulan (Tadwin) Bukan Pencatatan (Taqyid/Kitabah)
Dan Penyusunan(Tashnif) Hadist
Pembukuan berbeda dengan
penulisan.seseorang yang menulis sebuah shahifah atau lebih di sebut dengan
penulisan. Sedangkan pembukuan adalah mengumpulkan shahifah yang sudah tertulis
dan yang dihafal dalam dada, lalu menyusun sehingga menjadi dalam satu
buku. Upaya untuk mengumpulkan dan
membukukan hadits telah dilakukan pertama kali oleh khalifah Umar bin
AbdulAziz.[2]
Para ahli hadits memandang bahwa upaya Umar bin Abdul Aziz merupakan langkah langkah awal dari
mengumpulan hadits. Mereka mengatakan
“pembukuan ini terjadi pada penghujung tahun ke 100 pada kekhalifahan
Umar bin Abdul Aziz atas perintahnya”
Adapun upaya pembukuan hadis yang sebenarnya dan menyeluruh
dilakukan oleh imam Syihan Az Zuhri, yang menyambut seruan khalifah Umar Bin
Abdul Aziz dengan tulus yang didasari karena kecintaan kepada hadits Rasulullah
dan keinginannya untuk melakukan pengumpulan.
Pembukuan hadits pada mulanya belum disusun secara sistematis dan
tidak berdasarkan pada urutan bab-bab pembahasan ilmu. Upaya pembukuan ini
dilakukan oleh orang setelah Az Zuhri dengan cara yang berbeda-beda, sebagian
besar di antaranya mengumpulkan hadits Nabi yang bercampur dengan perkataan
sahabat dan fatwa para tabi’in. kemudian para ulama hadits menyusunnya secara
sistematis dengan menggunakan metode berdasarkan sanad dan berdasarkan bab.
Ibnu Hajar mengatakan bahwa orang yang pertama melakukan demikian
itu adalah Ar rabi’ bin Shubaih, Said bin Abi Arubah (wafat 156H) hingga pada
ulama thabaqah(lapisan) ketiga(kalangan tabi’in). Imam Malik menyusun Al
Muwatha’ di madinah, Abdullah bin Juraih di Mekkah, Al Auza’I di Syam, Sufyan
At Thauri di Kuffah, Hammad bin Salamah bin Dinar di Basrah.[3]
System penyusunan dipakai adalah tasnid, yakni menyusun hadist
berdasarkan nama-nama sahabat perawi. Sedang dalam menertibkan nama-nama sahabat ada yang
menurut tertib kabilah, ada yang menurut masa memeluk Islam, dan ada pula yang
tidak memperhatikan tertib ini. System tasnid
atau musnad ini melemahkannya adalah sulit dalam mencari atau mengetahui
hukum-hukum syara’ sebab hadist-hadist yang dikumpulkan dalam satu tempat,
tidak semaudhu’ satu tema.[4]
Sebagai buah dari kegiatan ilmiah dan penulisan hadist, muncullah
buku-buku hadist susunan para ulama dari para pertama abad ke 2 H. kitab-kitab
itu muncul dalam waktu yang berdekatan di wilayah-wilayah kekuasaan Islam.
Setelah para pemilik hadist menghimpun berbagai hadist dalam
lembaran dan buku-buku, maka mereka ke dalam bab-bab. Kitab-kitab ini berisi
sunnah-sunnah rasulullah dan ha-hal yang berkaitan dengannya.[5]
B.
Faktor-Faktor Yang Mendorong Umar Bin Abdul Aziz Mengkodifikasikan
Hadits
Telah di ketahui dengan jelas apa yang telah dilaksanakan oleh para
sahabat dan tabi’in mengenai pengumpulan hadis yaitu dengan melewat ke berbagai
kota untuk mencari hadist, menolak hadist yang maudhu’ dan melepaskan hadist
hadist tersebut dari tangan kaum
perusak, baik golongan persia, romawi, yahudi dan lain-lain. Dan telah
diketahui pula, bahwasanya para sahabat dan tabi’in membendaharakan hadist Rasulullah
di dalam hafalan mereka yang kuat.
Mereka tidak memerlukan tulisan-tulisan hadits. Jika ada para
sahabat yang menulis hadist, maka hal tersebut mereka lakukan bukanlah karena
lemahnya hafalan mereka, melainkan untuk menambah kokohnya ingatan dan hafalan
mereka.[6]
Setelah islam berkembang di jazirah arab, mulai dibutuhkan pedoman
kedua setelah Al Quran dalam bentuk
kitab tertulis. Kebutuhan tersebut ternyata mendapat sambutan yang baik dari penguasa yang
dipegang oleh khalifah Umar bin Abdul Aziz, sebagai pemengang kekhalifahan Bani Umayyah ke 9,
yang berkuasa pada tahun 99-101H. Beliau memerintah sangat singkat tapi beliau
sangat bijaksana, sehingga kebijaksanaannya ini menjadi point penting dan
positif bagi penilaian ulama hadist (al jarh wa at ta’dil) terhadapnya
dan menempatkan orang-orang shaleh didalam struktur pemerintahannya.[7] sejarah
telah mencatat dengan tinta emas tentang
jasa umar bin abdul aziz tersebut. Sebagai tindak lanjut dari keinginannya, beliau
memerintahkan para ulama serta para pejabat negara yang dianggap mampu melaksanakan
tugas besar tersebut.[8]
Terdapat
beberapa faktor yang mendorong Umar bin Abdul Aziz untuk menyelamatkan hadis,
antara lain:
1.
Kemauan
beliau yang kuat utuk tidak membiarkan hadist seperti waktu yang sudah-sudah,
kerena beliau khawatir akan hilang dan lenyapnya hadist dari perbendaraan
masyarakat, disebabkan belum didewankan dalam hadist.
2.
Kemapuan
beliau yang keras untuk membersihkan dan memelihara hadist dari hadist-hadist
maudhu’ yang membuat orang-orang untuk mempertahankan ediologi golongannya dan
mempertahankan mazhabnya, yang mulai tersiar sejak awal berdirinya kekhalifahan
Ali bin Abi Thalib.
3.
Alasan
tidak terdewankannya hadist secar resmi
di zaman Rasulullah dan Khulafaurrasydin, kerena adanya kekhawatiran bercampur
aduknya dengan Al Qur’an telah hilang, disebabkan al qur’an telah dikumpulkan dalam satu mushaf dan sudah
merata keseluruh pelosok. Ia telah dihafal diotak dan diserapkan ke dalam hati
sanubari beribu-ribu orang
4.
Kalau
zaman Khulafaurrasyidin belum pernah terbayangkan dan terjadi peperangan antara
orang muslim dengan orang kafir, demikian pula perang saudara antara orang muslim
yang sekian hari semakin menjadi-jadi yang sekaligus berakibat berkurang jumlah
ulama hadist, maka pada saat itu konprontasi tersebut benar-benar terjadi.
Untuk menghilangkan
kekhawatiran akan hilangnya hadist dan memelihara hadist dari bercampurnya
dengan hadist-hadist palsu, beliau mengintruksi kepada seluruh pejabat dan
ulama yang memegang kekuasaan wilayah kekuasaannya untuk mengumpulkan hadist.
Beliau mengintruksikan kepada wali kota Madinah, Abu Bakar ibn Hazm untuk
mengumpulkan hadis yang ada pada tabi’iy wanita ‘Amrah binti Abdurrahman, yang
berbunyi: “tulislah untukku hadist rasulullah saw yang ada padamu, sebab aku
takut akan hilang dan punahnya ilmu”. Atas intruksi itu, Ibn Hazm mengumpulkan
hadist-hadist, baik yang ada pada dirinya sendiri maupun ‘amrah , tabi’iy
wanita yang banyak meriwayatkan hadist Aisyah r.a.
Juga beliau mengintruksikan
kepada Ibn Syihab Az Zuhry seorang imam dan ulama besar di hijjaz dan syam.
Beliau mengumpulkan hadist-hadist dan kemudian ditulis dalam lembaran-lembaran
dan dikirimkan kepada masing—masing penguasa ditiap-tiap wilayah satu lembar.
Itulah sebabnya para ahli tarikh dan ulama menganggap bahwa Ibn Shihab lah
orang yang mula-mula mendewankan hadist secara resmi atas perintah khalifah Umar
bin Abdul Aziz.[9]
Mulai dari waktu itulah timbul
perhatian para ulama untuk membukukan dan menuliskan hadist. Hal demikian
berkembang cepat dalam genersi yang mengiringi generasi Ibn Syihab Az Zuhry. Di
Mekkah ada Ibnu Juraij (wafat 150H). di Madinah, Ibn Ishaq (wafat 151H) dan Malik
(wafat179H). di Basrah, Ar Rabi’ ibn Syihab (160H) dan Said ibn Abi Arbah (wafat 158H), Hammad ibn Salamah (wafat176H).
di Kuffah,Sufyan Ats Tsauri (wafat 161H). di syam Al Auzai (wafat 188H). di Yaman,
Ma’mar (wafat 153H). di Khurasan Jabir ibn Abdul Hamid (wafat 188H) dan Ibn
Mubarrak (wafat 181H).[10]
Masing-masing mereka mengumpulkan hadist pada
ulama ulama yang tinggal di kota-kota mereka. Semua mereka ini semasa. Tak
dapat diketahui mana diantara mereka yang dahulu mengumpulkan hadist. Kemudian
barulah ulama-ulama yang semasa dengan mereka menuruti jejak mereka tersebut.
C. Mengapa Timbul Dugaan Hadist Yang Di Tulis Pada Abad Ke 2 Hijriah
Belum ada data sejarah yang
dapat dipertanggung jawabkan bahwa pada zaman nabi telah terjadi
pemalsuan hadis. Kegiatan pemalsuan hadist mulai muncul dan berkembang pada
zaman khalifah Ali bin Abi Thalib, demikian pendapat ulama hadis pada umumnya.
Pada mulanya, faktor yang mendorong seseorang melakuka pemalsuan
hadist adalah kepentingan politik. Pada masa itu telah terjadi pertentangan
antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abi Sufyan. Para pendukung
masing-maasing tokoh telah melakukan
berbagai upaya untuk memenangkan perjuangan mereka. Salah satu upaya
yang telah dilakukan oleh sebagian dari mereka itu ialah pembuatan
hadist-hadist palsu.
Mustafa as Sibai menegaskan bahwa orang yang pertama membuat hadits
palsu dengan bercorakkan pengultusan pribadi datang dari kelompok syiah. Ibn
Taimiyah mengatakan bahwa diantara hadis palsu adalah hadits yang menegaskan
kekhalifahan Sayyidina Ali. Mennurut Ibn Hazm,” orang yang meriwayatkan hadis
tersebut adalah Abal Hamra, yang aku tidak mengenalnya”. Kegiatan Syiah dalam
membuat hadits palsu mendapat tanggapan dari pihak lain yang menjadi rivalnya
dengan membuat hadis palsu sebagai tandingan.[11]
Dalam sejarah, pertentangan politik tersebut telah pula
mengakibatkan timbulnya pertentangan di bidang theologi. Sebagian dari
pendukung alira theologi yang timbul pada saatitu membuat juga hadis palsu
untuk memperkuat argument aliran yang mereka yakini benar.
Tentu saja dikalangan musuh Islam yang berkeinginan meruntuhkan Islam
dari “dalam” tidak menyia-nyiakan pertentangan politik yang timbul dan dialami
oleh umat Islam. Para musuh Islam itu juga
menggunakan senjata dengan membuat berbagai hadist palsu dalam memerangi
Islam.
Selanjutnya faktor-faktor kepentingan ekonomi, keinginan
menyenangkan hati pejabat, dan lain-lain telah ikut pula membuat hadist-hadist
palsu. Bahkan sejumlah muballiq yang beranggapan untuk kepentingan dakwah dapat
saja dilakukan pembuatan hadist palsu.[12]
D.
Tuduhan Yang Dilontarkan Kepada Imam Syihabuddin Al Zuhri.
Nama lengkapnya adalah Muhammad
ibn Muslim ibn Ubaidillah ibn Abdillah ibn Syihab ibn Abdillah ibn Harist ibn Zahrah
ibn Kilab ibn Marrah Al Quraisy Al Zuhri.
Ia termasuk seorang imam dan ulama Hijaz dan Syam. Ia menerima
riwayat dari Abullah ibn Umar bin Khattab, Abdullah ibn Jakfar, Rubaiah ibn Ubad,
Al Munawar ibn Makhramah, Abd Al Rahman ibn Azhar, dan masih banyak lagi yang
lainnya. Al Bukhari mengatakan bahwa Ibn Syihab Az Zuhri memiliki hadist
mencapai 2000 hadist.
Ibn Shihab Az zuhri sebagai ulama yang cepat serta setia
hafalannya. Beliau dapat menghafal Al Qur’an hanya selama 80 hari. Tentang
kesetiaan dan keteguhan hafalannya terlihat kettika suatu hari Khalifah Hisyam
Abdul Malik meminta untuknya untuk mendekte sejumlah hadis untuk anaknya.
Lantas Az Zuhri meminta seorang juru tulis dan kemudian beliau mendektekan
sejumlah 400 hadis. Setelah berlalu lebih sebulan, Az Zuhri kembali bertemu
dengan Hisyam, ketika itu Hisyam mengatakan kepada Az Zuhri kitab yang berisi
400 hadis tempo hari telah hilang. Az Zuhri menjawab “engkau tidak akan
kehilangan hadis-hadis itu”. Kemudian beliau meminta seseorang juru tulis, lalu
beliau mendektekan kembali hadis-hadis tersebut setelah itu kemudian beliau
menyerahkan kembali kepada Hisyam, dan isi kitab tersebut ternyata satu
hurufpun tidak berubah dari kitab yang pertama.
Al Hakim mengatakan bahwa Ashahh al sanid dari pada sahabatyang
banyak meriwayatkan hadis diantaranya melalui jalur Az Zuhri.hal tersebut
seperti ashahh asanid Abu Hurairah adalah Az Zuhri dari Said ibn Musayyab, dari
Abu Hurairah; Ashahh asanid Aisyah adalah Az Zuhri dari Urwah Ibn Zubir Ibn
Awwam Ibn Khuwalid Al Quraisy dari Aisyah.
Diantara hadis yang dipersilihkan adalah hadis yang periwayatannya
menyendiri (fard), itupun karena sesuatu kaum kerena suatu hal. Adapun komentar
tentang Ibn Syihab Az Zuhri yang banyak dalam buku-buku orientalis yang pada
umumnya meragukan keutamaan Ibn Syihab Az Zuhri sesungguhnya komentar pula yang
perlu dikomentari. Karena sumber-sumber yang digunakan selain hanya untuk
mendukung visi mereka yang semulanya telah banyak meragukan para muhaddist yang
lain termasuk dari kalangan sahabat.[13]
Seorang orientalis yang bernama Goldziher beraggapan Az Zuhri
penulis pertama tentang hadits atau hadits-hadits tersebut lebih berasal dari
dirinya ketimbang dari generasi sebelumnya. Asumsi ini cukup beralasan, jika
tesis ini benar maka mayoritas hadits akan runtuh dengan sendirinya, melihat
posisi Az Zuhri sebagi poros ulama pada masanya dan pemegang otoritas tertinggi
sebagai perawi hadits. Di sisi lain, Az Zuhri dituduh telah diperalat oleh
khalifah. Anggapan diatas tidak cukup beralasan kerena latar belakang Az Zuhri
tidak dipakai sebagai pertimbangan bahkan diabaikan sam sekali. Latar belakang
az Zuhr, dengan kemampuan hafalan yang luar biasa, dia telah menghafalkan Al
Qur’an dalam waktu 80 malam, juga terdapat hadits (hafalannya) yang telah
teruji oleh ulama lainnya. Bahkan sebagai perawi harus keabsahan darinya dalam periwayatan
hadits. Pertimbangan lain adalah tentang sifat kesahihan dan kedalaman ilmunya
yang tak dapat diragukan. Hal mustahil jika berbuat dusta terhadap hadits Nabi dan
berpengaruh oleh penguasa untuk diperlatat dalam mengambil kebijaksanaan
Negara. Walaupun demikian az Zuhri telah memberikan dukungan terhadap pndangan-pandangan resmi resmi
Negara disebabkan oleh “pertimbangan Negara” sesuai dengan semangat Islam. Bahkan
az Zuhri pernah member peringatan kepada khalifah Hisyam bin Abdul Malik
berkenaan dengan tuduhannya terhadap Imam Ali bin Abi Thalib sebagai pembohong.
Sesudah menjadi fenomena umumnya bagi kajian kesarjanaan barat terhadap Islam,
dengan indikasi yang sama, dengan acak dan terpotong-potong dalam memandang
Islam.[14]
BAB III
KESIMPULAN
Pembukuan
adalah mengumpulkan shahifah yang sudah tertulis dan yang dihafal dalam dada,
lalu menyusun sehingga menjadi dalam satu buku.
Upaya untuk mengumpulkan dan membukukan hadits telah dilakukan pertama
kali oleh khalifah Umar bin AbdulAziz
Sebagai buah
dari kegiatan ilmiah dan penulisan hadist, muncullah buku-buku hadist susunan
para ulama dari para pertama abad ke 2 H. kitab-kitab itu muncul dalam waktu
yang berdekatan di wilayah-wilayah kekuasaan Islam.
Khalifah Umar bin
Abdul Aziz, sebagai pemengang
kekhalifahan Bani Umayyah ke 9, yang berkuasa pada tahun 99-101H. Untuk
menghilangkan kekhawatiran akan hilangnya hadist dan memelihara hadist dari
bercampurnya dengan hadist-hadist palsu, beliau mengintruksi kepada seluruh
pejabat dan ulama yang memegang kekuasaan wilayah kekuasaannya untuk
mengumpulkan hadist
Kegiatan
pemalsuan hadist mulai muncul dan berkembang pada zaman khalifah Ali bin Abi
Thalib. Faktor yang mendorong seseorang melakukan pemalsuan hadist adalah
kepentingan politik. Selanjutnya faktor-faktor kepentingan ekonomi, keinginan
menyenangkan hati pejabat, dan lain-lain telah ikut pula membuat hadist-hadist
palsu.
DAFTAR PUSTAKA
Badri Khaeruma,
Otentitsa Hadist; Study Kritis Atas Kajian Hadist Kontemporer, Bandung :
Remaja Rosdakarya, 2004
Ajaj Al Kahtib,
Hadist Nabi Sebelum Dibukukan, Jakarta: Gema Insane Press, 1999
Muhammad Hasbi
Ash Shiddiqie, Sejarah Perkembangan Hadist, jakarta: Bulan Bintang, 1973
Syaikh Ahmad
Farid, 60 Biografi Ulama Shalaf, Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2010
Fathur Rahman, Iktisar
Mustalahul Hadis, Bandung, Al Ma’arif, 1991
Muhammad Syuhudi
Ismail, Metodologi Penelitian Hadist Nabi, Jakarta : Bulan Bintang, 1992
Zuhdi Rifai, Mengenal
Ilmu Hadis, Jakatra: Al Ghuraba,
2009
Syaikh
Manna’ Al Qatthan, Pengantar Studi Ilmu Hadits, Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2005
Al
Faith Suryadilaga, Ulumul Hadis, Yogyakarta: Teras,2010
[1]
Badri Khaeruma, Otentitsa Hadist; Study Kritis Atas Kajian Hadist
Kontemporer, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2004), Hal.178
[2]
Syaikh manna’ al qatthan, pengantar studi ilmu hadits, (Jakarta: pustaka al kautsar, 2005) Hal.51
[3]
Syaikh manna’ al qatthan, pengantar…,
Hal.53
[4]
Ajaj Al Khatib, Hadist Nabi Sebelum Dibukukan, (Jakarta: Gema Insane
Press, 1999), Hal.370
[5]
ajaj Al Khatib, Hadist Nabi…, hal.377
[6]
Muhammad Hasbi Ash Shiddiqie, Sejarah Perkembangan Hadist, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1973), Hal. 69
[7]
Syaikh Ahmad Farid, 60 Biografi Ulama Shalaf, (Jakarta: Pustaka Al
Kautsar, 2010), Hal. 58
[8]
Fathur Rahman, Iktisar Mustalahul Hadis, (Bandung, Al Ma’arif, 1991)
Hal,35
[9]
Fathur Rahman, Iktisar…, hal,36
[10]
Muhammad Hasbi Ash Shiddiqie, Sejarah..., hal. 70
[11]
Al Faith Suryadilaga, Ulumul Hadis, (Yogyakarta: Teras,2010), Hal.67
[12]
Muhammad Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadist Nabi, (Jakarta :
Bulan Bintang, 1992) Hal.14
[13]
Muhammad Syuhudi Ismail, Metodologi …, hal.16
[14] Al
Faith Suryadilaga, Ulumul Hadis, (Yogyakarta: Teras,2010), Hal.97-98
izin share akhi
BalasHapus