BAB IPENDAHULUAN
Provinsi Aceh
atau Nanggroe Aceh Darussalam yang kini lebih dikenal dengan Serambi Mekkah
merupakan salah satu wilayah Indonesia yang dihadiahkan pemberlakuan otonomi
daerah secara khusus oleh Pemerintah Indonesia. Dalam konteks ilmu Tata Negara,
Aceh seperti sebuah negara di dalam lingkup negara Indonesia, dibuktikan dengan
adanya UUPA didalam Undang-undang yang berlaku di Indonesia sekarang ini. Hal
ini tidak lepas dari secara historis dan politik yang telah terjadi beberapa
waktu silang di Indonesia ini.Yang berdampak pada pemberlakuan Syari’at
Islam di bumi Aceh.
Syari’at Islam
merupakan sebuah sistem hukum Islam layaknya sistem hukum lainnya, yang
mencakup; perdata, pidana, dagang, keluarga, peradilan dan sebagainya.
Pelaksaan dan pemberlakuan syari’at Islam di Aceh ini sesuai dengan adat
kebiasaan yang telah ada dan belaku serta berkembang sejak lama dari masa
perjuangan melawan penjajah sampai sekarang ini, melahirkan UU No.18 Tahun 2001
tentang status otonomi khusus untuk Provinsi Aceh yang kemudian pula
terhapuskan oleh UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dalam pemahaman
masyarakat Muslim Aceh bahwa Syari’at Islam dan adat, Lagee Zat ngoen Sifeut
(seperti zat dan sifat).Adat dan agama tidak dapat dipisahkan, malah dulu
terkenal dengan tiga keistimewaan Aceh yaitu adat, pendidikan dan agama.
Kini, syari’at
Islam telah berlaku di Aceh.Dan telah memasuki tahun ke-14.Beberapa Qanun
(hukum) telah disahkan guna merealisasikan pelaksaan syari’at Islam di bumi
Serambi Mekkah, dengan tujuan menjadi rahmatan lil alamin.
Makalah ini
akan membahas lebih lanjut mengenai manfaat yang telah didapatkan oleh
masyarakat Aceh khususnya dan Indonesia umumnya dari penerapan dan pelaksaan
Syari’at Islam di Bumi Nanggroe Aceh Darussalam ini.
BAB IIPEMBAHASAN
A.
Pengertian Syari’at Islam
Syari’at islam
dari segi bahasa berarti madzhad dan jalan lurus. Kata syir’atul ma’berarti sumber air yang hendak diminum. Kata syara’a
bermakna bahaja (meniti), menerangkan, dan menjelaskan berbagai jalan
titian.Kata syara’a juga berarti sanna (menetapkan).Menurut
istilah, syari’at berarti agama dan berbagai hukum yang disyari’atkan
Allah untuk hamba-hamba-Nya.[1]
Syari’at Islam adalah hukum Allah yang membuat
seseorang menjadi Muslim, sebab system hukum tersebut mencakup segala aspek
kehidupan sehari-hari.Meliputi, hukum perdata dan pidana Islam, hukum dagang
Islam, hukumfiqih siyasi dalam Islamdan sebagainya.[2]
Syari’at Islam dalam pengertian bahasa adalah
‘jalan paling sejahtera menuju Tuhan’ semakna dengan thariq yang sering
dipraktekkan oleh para Sufi dalam kegiatan mendekatkan diri kepada Tuhan.Dari
sini hendaknya dijelaskan subyek dari syari’at Islam.[3]
Kendatipun ada
kecenderungan ulama-ulama yang menggunakan istilah syari’at sebagai hukum atau
hukum Islam tetapi jumhur fuqaha memaknai syari’at adalah hukum yang ditetapkan
Allah untuk umat manusia dengan perantaraan Rasul-Nya supaya manusia
melaksanakannya atas dasar iman.[4]Apalagi
kalau dihubungkan dengan istilah Islam.Syari’at Islam itu berasal dari Allah
secara murni, belum disentuh oleh pikiran manusia.
Syari’at Islam
mempunyai satu unit sumber hukum yang tidak dapat dipisahkan oleh wahyu Ilahi,
yaitu al-Qur’an yang merupakan sumber hukum utama syari’at Islam yang
mengandung firman-firman Allah SWT yang terakhir, al-Qur’an bebas dari
perubahan, pemalsuan, penambahan, dan pengurangan serta tidak dicemari oleh
kebatian.[5]
Jadi Syari’at islam adalah hukum dan
aturan Islam yang mengatur seluruh sendi kehidupan umat Muslim. Selain berisi
hukum dan aturan, syari’at Islam juga berisi penyelesaian masalah seluruh
kehidupan ini.Maka oleh sebagian penganut Islam, syari’at Islam merupakan
panduan menyeluruh dan sempurna seluruh permasalahan hidup manusia dan
kehidupan dunia ini, yang memiliki sumber al-Qur’an al-Kariim.
B.
Syari’at Islam di Aceh
Nanggroe Aceh
Darussalam dikenal sebagai sebuah provinsi yang memiliki status istimewa dalam
rangkaian provinsi yang berada di wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Status istimewa tersebut diraih karena beberapa hal,
yakni: kondisi sosial budaya masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam yang khas,
potensi kekayaan alam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, serta kiprah
masyarakat Aceh yang besar serta berharga dalam sejarah perjuangan kemerdekaan
Indonesia.
Pada 2001,
ketika digulirkan otonomi daerah pada semua daerah di Indonesia, untuk Aceh
dikeluarkan UU No. 18 Tahun 2001 tentang Status Otonomi Khusus untuk Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam. Dalam UU ini, keumuman yang terdapat pada UU
sebelumnya lebih dipersempit, di antaranya dengan menetapkan peraturan daerah
di Aceh yang disebut qanun dan pengakuan Mahkamah Syar’iyyah sebagai bagian
dari sistem pengadilan di Indonesia.Undang-undang ini kemudian menjadi dasar
lahirnya beberapa qanun pelaksanaan syari’at Islam di Aceh.Setelah keluarnya UU
No. 18 Tahun 2001, pemerintah Aceh yang pada masa itu di bawah pimpinan
Gubernur Abdullah Puteh mendeklarasikan pemberlakuan syari’at Islam di
Aceh.Deklarasi ini dilakukan di Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh sebagai
simbol dukungan rakyat Aceh pada program tersebut. Setelah keluar UU No. 11
Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, UU No. 18 Tahun 2001 tersebut di atas
tidak berlaku lagi.[6]
Pemberian
status istimewa kepada Aceh diatur dalam UUD 1945, lalu diperkuat dengan adanya
Lembaran Negara RI 172/1999 dan UU No11/2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Pada awanya,
pemberlakuan syari’at Islam ini ditujukan untuk mencegah agar Aceh tidak
memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dari sudut itu, kita
bisa melihat bahwa proses pemberlakuan syari’at Islam di Aceh bukanlah suatu
proses yang genuine dan alamiah, tapi lebih merupakan suatu move
dan kebijakan politik dalam rangka mencegah Aceh dari upaya pemisahan.
Penerapan hukumsyari’at Islam di Aceh pada tahap ini, yakni meningkatnya
ketidakpuasan di Aceh, lebih merupakan political expediency, langkah
politik darurat, untuk menyelamatkan Aceh dalam pangkuan Republik. Dengan
penerapan syari’at sekaligus pula romantisme sejarah tadi bisa dipenuhi, dan
dengan demikian akan mendatangkan kenyamanan psikologis bagi kenyamanan
masyarakat Aceh.[7]
Dengan
tersematnya status istimewa tersebut, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
tentunya memiliki sebuah perbedaan dalam mekanisme pemerintahan serta peraturan
daerahnya. Sebagai sebuah provinsi yang terdiri dari mayoritas penduduk
beragama Islam dan didukung pula oleh adat istiadat masyarakat Aceh yang
memegang teguh prinsip Islam secara mengakar dalam kehidupan bermasyarakatnya,
maka syari’at Islam menjadi sebuah pertimbangan utama dalam perumusan peraturan
daerah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
C.
Provokasi Pelaksaan Syari’at Islam
Pemberlakuan syari’at
Islam merupakan salah satu kebijakan yang dihadiahkan oleh pemerintah Indonesia
kepada Aceh, demi menenangkan provinsi Aceh dari isu-isu berpisah dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).Namun, pada penerapannya ada saja
pihak-pihak yang memanfaatkan situasi umat Islam di Aceh menjadi pecah.Pecah
dalam arti; menimbulkan pro-kontra di kalangan masyarakat Aceh dan adanya
provokasi menanggapi keadaan ini.Para provokator yang identitasnya tidak
terungkap ini dapat menimbulkan perpecahan di masyarakat Aceh yang berdampak
pada pro-kontra terhadap kebijakan pemberlakuan dan pelaksanaan syari’at Islam
di Aceh.[8]
Dalam setiap
keadaan baru yang berlaku pada satu daerah, tentunya ada provokator yang
menimbulkan reaksi masyarakat awam memuncak. Hal ini dapat teratasi dengan
munculnya para pakar yang mengerti akan situasi tersebut, menjelaskan secara
bijak kepada masyarakat dan dari masyarakat pribadi khususnya dapat menerima
kebijakan yang telah ditetapkan itu.
D.
Pro-Kontra Penerapan Syari’at Islam di Aceh
Penerapan syari’at Islam di Aceh tidaklah
selalu berjalan dengan disiplin dan baik. Bagi mereka yang menanti perberlakuan
syari;at Islam ini, tentulah menyambut gembira. Namun, tidak sedikit pula yang
menentangnya.Pada pelaksanaan dan penerapan
syari’at Islam di Aceh tidak selalu berjalan mulus, telah muncul beberapa
protes, diantaranya:
“Masalah
pemakaian jilbab.Sebagian kelompok juga mengkritik qanun-qanun yang dihasilkan
seakan-akan mendiskreditkan perempuan.Misalnya qanun yang dihasilkan oleh Kota
Banda Aceh bahwa diantara syarat yang boleh menjadi kepala desa (geusyik)
adalah yang mampu menjadi imam.Hal ini seakan tidak memberi ruang pada
perempuan.Kemudian juga hukum (sanksi) untuk pelaku khalwat dan maisir dihukum
dengan hukum cambuk.Hukum cambuk dianggap sangat berat, kejam dan primitive.”[9]
Maka dari itu ada beberapa hambatan pada
pelaksanaannya.Secara umum hambatan-hambatan yang ada adalah sebagai berikut:
1.
Hambatan eksternal, berupa
pihak-pihak yang memang sejak awal memiliki antipati terhadap Islam dan syari’at
Islam. Mereka adalah para pengusung agama dan ideologi tertentu diluar Islam,
terutama yang memiliki pengalaman pahit melawan Islam. Mereka senantiasa
menyebarluaskan image yang negative tentang Islam dan syari’at Islam,
misalnya dengan menjelek-jelekkan Islam dengan slogan“Harem dan Pedang” sebagai
simbol bagi pengungkungan kaum wanita dan kekerasan .
2.
Hambatan dari pihak-pihak yang sebetulnya tidak
terlalu ideologis kecuali bahwa mereka menolak penerapan syari’at Islam karena
akan mengekang kesenangan mereka. Mereka itulah yang sering disebut sebagai
para hedonis, atau yang dalam bahasa Islam disebut sebagai ahlul
ma’aashiy.
3.
Hambatan dari pihak-pihak yang menolak syari’at
Islam karena belum memahami syari’at Islam, atau memahaminya dengan pemahaman
yang salah. Mereka inilah yang dalam bahasa Islam disebut sebagai ahlul
jahl.[10]
Disamping itu, usaha-usaha menuju penerapan syari’at
Islam juga berkaitan dengan masalah strategi. Hambatan bisa pula muncul dari
pihak-pihak yang sudah sepakat dengan syari’at Islam dan penerapannya, akan
tetapi memiliki strategi yang berbeda-beda. Hambatan dari sisi ini akan menjadi
semakin signifikan apabila strategi-strategi tersebit saling berseberangan satu
sama lain.
Penjelasan
di atas merupakan kritik mengenai aspek fikihnya, bukan aspek
syari’atnya.Karena fikih itu relative. Kritik ini datang tidak hanya karena
kedangkalan ilmu yang mereka miliki, akan tetapi juga selama ini mereka sudah
terpengaruh dengan budaya dan bergelut dengan kebiasaan yang salah. Oleh karena
itu pada awal pelaksaan syari’at ini orang merasa berat dan aneh, karena belum
tahu hikma-hikmah yang terkandung padanya.[11]
Setidaknya ada beberapa hal yang menjadi modal
atau kekuatan dalam usaha menuju penerapan syari’at Islam.
1.
Jumlah umat Islam cukup signifikan.
2.
Maraknya gerakan-gerakan Islam yang senantiasa
menyuarakan diterapkannya syari’at Islam.
3.
Gagalnya beberapa sistem hukum dan bernegara
yang bukan Islam telah memunculkan rasa frustasi umat manusia, sehingga mereka membutuhkan
alternatif-alternatif yang lain. Diantara alternatif itu ialah Islam.
4.
Keberhasilan usaha-usaha politik dari kalangan
Islam dan partai-partai politik Islam di beberapa negeri muslim.[12]
Sejarah umat Islam yang cemerlang di masa
lampau ketika mereka menerapkan syari’at Islam.Sejarah cemerlang ini
setidak-tidaknya bisa memunculkan kerinduan-kerinduan pada benak umat Islam
atas kembalinya masa kejayaan mereka. Penerapan syari’at Islam yang sesuai
dengan situasi, zaman, kondisi masyarakat diharapkan dapat mendatangkan angin
segar bagi umat Islam.
E.
Syari’at Islam di Aceh: Apa Manfaatnya?
Penerapan serta
pelaksanaan syari’at Islam di Aceh telah hampir lima belas tahun (15 tahun).
Pelaksaan ini memunculkan dua kelompok masyarakat, diatara mereka ada yang
menolak/ tidak setuju dengan penerapan syari’at Islam ini, dan mereka yang
mendukung terus pelaksaan syari’at Islam dengan berbagai argument serta alasan
yang mereka miliki. Terlepas dari semua itu, selama ini telah dapat dirasakan
manfaat dari keberadaan syari’at Islam di Aceh, diantaranya:[13]
1.
Bagi yang non-Muslim:
Keberadaan agama lain selain agama Islam di Aceh tetap diakui dan mereka berhak
menjalankan ajaran agamanya. Dianjurkan berpakaian sopan dan patuh pada tata
karma aturan Peraturan Pemerintah Daerah (PERDA) Nanggroe Aceh Darussalam
(Qanun) tentang Syari’at Islam yang berlaku di Aceh.
2.
Syari’at Islam sangat menghargai toleran, memperhatikan
terhadap pemeluk agama lain selain Islam, lebih-lebih lagi di Aceh sekarang
masih berlaku dua hukum; Qanun Islam dan hukum positif. Jika orang Muslim
membuat pelanggaran, maka diperlakukan dengan syari’at Islam secara bertahap.
Seandainga non-Muslim yang membuat pelanggaran tentu dikembalikan kepada hukum
negara (hukum positif), tidak berlaku syari’at Islam bagi mereka.
3.
Bagi masyarakat Muslim Aceh,
pada umumnya adalah berdirinya sekolah-sekolah formal dan non-formal di
masjid-masjid, misalnya di masjid Raya Baiturrahman yang terletak di jantung
Ibukota Banda Aceh.
4.
Terhadap kamu perempuan Aceh,
mereka bisa terkontrol dengan didorong oleh rasa kemanusiaan, yakni melahirkan
budaya islami. Seperti dalam cara berpakaian, memakai kerudung, dapat menuntut
ilmu di sekolah-sekolah formal dan non formal, dan apabila ditemukan kasus
pelecehan seksual (perzinaan dan pemerkosaan) terhadap kaum wanita maka
syari’at Islam memberlakukan hukum cambuk dan rajam.
5.
Pengaruh langsung terhadap fakir miskin, yaitu memperoleh zakat dari si muzakki (yang mengeluarkan
zakat) sebagai menunaikan rukun Islam yang keempat, yakni membantu fakir dan
orang-orang miskin.[14]
6.
Konsep kerukunan, mencakup
tiga kerukunan, yaitu: kerukunanintern umat beragama, kerukunan antar
umat beragama, dan kerukunan antar umat beragama dengan pemerintah.Kerukunan seperti ini seriing disebut dengan
Trilogi Kerukunan.[15]
Manfaat yang
telah disebut di atas merupakan manfaat langsung yang tampak dan langsung
terasa di kehidupan bermasyarakat di Aceh khususnya. Masih banyak lagi manfaat
lagi yang berdampak pada aspek spiritual dan jiwa individu masyarakat Aceh
selain yang tersebut di atas, yakni dengan merapkan syari’at Islam, muslim dan
muslimah Aceh menjadi orang yang melaksanakan amr ma’ruf nahi munkar
dalam kehidupan bermasyarakat dengan sendirinya.
BAB IIIPENUTUP
A.
Kesimpulan
Syari’at Islam
merupakan hukum dan ketentuan yang datangnya langsung dari Allah, mengatur
segala aspek kehidupan makhluk-Nya, berdasarkan dalil-dalil-Nya yang tertera
dalam al-Qur’an al-Karim.Syari’at Islam sendiri telah menjadi hukum daerah
Nanggroe Aceh Darussalam bersama dengan hukum positif Indonesia, yang telah
disetujui oleh pemerintah pusat pada tahun 2001.Selama pelaksaan dan penerapan
syari’at Islam, terdapat pro-kontra di kalangan masyarak Aceh.Itu semua karena
mereka (masyarakat Aceh) masih belum memahami hikmah yang terkandung pada
penerapan syari’at Islam ini. Sampai saat ini, beberapa kalangan telah
merasakan manfaat dari syari’at Islam di Aceh ini, diantaranya adalah kaum
non-muslim, kaum wanita, kaum fakir miskin, dan bidang pendidikan.
B.
Saran
Demikian
makalah ini yang dapat saya uraikan, saya berharap makalah ini dapat
didiskusikan guna memperluas wawasan pemulis dan menutupi segala kekurangan
yang terdapat pada makalah ini.Kepada kawan-kawan, penulis memohon kritik dan
saran yang bersifat membangun demi sempurnanya makalah ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul Karim Zaidan, Pengantar
Studi Syari’ah, Jakarta: Robbani Press, 2008.
Abdul Majid, Syari’at Islam dalam Realitas Sosial Jawaban Islam
tehadap Masyarakat di Wilayah Syari’at,Banda Aceh: PeNa & Ar-Raniry
Press, 2007.
Azyumardi Azra, Islam Negara & Civil Society: Syari’at Islam
dalam Bingkai Nation State, Jakara: Paaramadina, 2005.
Karuniawan Zein dan Sarifuddin HA, Syari’at Islam Yes Syari’at
Islam No Dilema Piagam Jakarta dalam UUD 1945,Jakarta: Paramadina, 2001.
M. Hasbi Amiruddin, Menatap Masa Depan Dayah di Aceh,Cet.
I,Banda Aceh: Yayasan Pena, 2008.
Marzuki Abubakar, “Syari’at Islam di Aceh: Sebuah Model
Kerukunan dan Kebebasan Beragama”, dalam Jurnal MEDIA SYARI’AH (Jurnal
Hukum Islam dan Pranata Sosial), Volume XIII no. 1, 2011.
Nasr, Ideals and Realita of Islam Islam dalam Cita dan Fakta,
Penterjemah: Abdurrahman Wahid dan Hasyim Wahid, Jakarta: LAPPENAS, 1981.
Sehat Ihsan Shadiqi, “Islam dalam Masyarakat Kosmopolit:
Relevankah Syari’at Islam Aceh untuk Masyarakat Modern?”, dalam Jurnal
Kontekstualita, Vol.5, No.1, 2010.
T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, Jakarta:
Bulan Bintang, 1974.
Yusuf Qardhawi, Membumikan Syari’at Islam, Keluwesan Aturan
Ilahi untuk Manusia, Bandung: Mizan, 2003.
[1]Abdul Karim
Zaidan, Pengantar Studi Syari’ah,
(Jakarta: Robbani Press,2008), hal. 45
[2]Karuniawan Zein
dan Sarifuddin HA, Syari’at Islam Yes Syari’at Islam No Dilema Piagam
Jakarta dalam UUD 1945, (Jakarta: Paramadina, 2001), hal 217-219
[3]Nasr, Ideals
and Realita of Islam Islam dalam Cita dan Fakta, Penterjemah: Abdurrahman
Wahid dan Hasyim Wahid, (Jakarta: LAPPENAS, 1981), hal. 64
[4]M. Hasbi
Amiruddin, Menatap Masa Depan Dayah di Aceh, Editor; Ishak Assa’ad,
(Banda Aceh: Yayasan Pena, 2008), Cet. I, hal. 10. Lihat juga T. M. Hasbi
Ash-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), hal.
26
[5]Yusuf Qardhawi,
Membumikan Syari’at Islam, Keluwesan Aturan Ilahi untuk Manusia, (Bandung:
Mizan, 2003), hal. 43
[6]Sehat
Ihsan Shadiqi, “Islam dalam Masyarakat Kosmopolit: Relevankah Syari’at Islam
Aceh untuk Masyarakat Modern?”, dalam Jurnal Kontekstualita, Vol.5, No.1,
2010, hal. 31
[7] Azyumardi
Azra, Islam Negara & Civil Society: Syari’at Islam dalam Bingkai Nation
State, (Jakara: Paaramadina, 2005), hal. 35-37
[8]Materi ajar
mata kuliah Agama dan Ilmu-ilmu kemanusiaan di kelas Pascasarjana UIN Ar-Raniry
Banda Aceh yang disampaikan oleh M. Hasbi Amiruddin, pada tanggal 2 Juni 2015
[9]M. Hasbi
Amiruddin, Menatap Masa Depan…, hal. 11-12
[10]Sehat Ihsan
Shadiqi, “Islam dalam Masyarakat Kosmopolit: Relevankah…, hal. 33
[11]M. Hasbi
Amiruddin, Menatap Masa Depan…, hal. 12
[12]Sehat Ihsan
Shadiqi, “Islam dalam Masyarakat Kosmopolit: Relevankah…, hal. 35
[13] Abdul Majid, Syari’at
Islam dalam Realitas Sosial Jawaban Islam tehadap Masyarakat di Wilayah
Syari’at, (Banda Aceh: PeNa & Ar-Raniry Press, 2007), hal. 90-92
[14] Abdul Majid, Syari’at
Islam dalam Realitas Sosial Jawaban…, hal. 77
[15]Marzuki Abubakar, “Syari’at Islam di Aceh: Sebuah Model
Kerukunan dan Kebebasan Beragama”, dalam Jurnal MEDIA SYARI’AH (Jurnal
Hukum Islam dan Pranata Sosial), Volume XIII no. 1, hal. 155
adakah ayat yang mendukung hukuman fisik terhadap orang yang melakukan kejahatan??
BalasHapus