BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Sebagaimana
kita ketahui bahwa hadist adalah sumber kaum muslimin dalam menentukan sebuah
hukum dalam kehidupan mereka.Sebagaimana kita ketahui bahwa hadist adalah
sumber rujukan kedua kaum muslimin dalam menentukan sebuah hukum dalam
kehidupan mereka.Rasulullah datang untuk menjawab segala permasalahan yang
berkaitan dengan kehidupan. Dengan demikian menunjukkan bahwa hadist merupakan sumber hukum islam
yang dapat memenuhi kebutuhan umat manusia. Oleh karena itu, semenjak muncul
hingga dewasa ini perhatian ulama terhadap hadist cukuplah besar, sehingga
muncul berbagai ilmu untuk mengungkap segala rahasia yang dikandungnya.Dan
dalam kesempatan ini penulis ingin mengungkapkan sedikit ilmu tentang ikhtilaf
dan dalam kesempatan ini penulis ingin mengungkapkan sedikit ilmu tentang
iktilaf al hadist yang menjadi bagian dari ilmu hadist.Ilmu ini adalah suatu
ilmu yang membahas hadist- hadist yang secara lahiriah berlawanan.[1]
Dalam
makalah ini akan dipaparkan secara singkat tentang pengertian Ikhtilaf al
hadist dan pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam penyelesaian
hadist-hadist yang secara lahiriah tersebut dianggap berlawanan. Pendekatan ini
ditempuh melalui pengkajian kepustakaan yang berkaiatn dengan topik yang
diangkat dalam pembahasan ini. Namun,
diharapkan mudah-mudahan dapat menjadi amal kebaikan dalam ranah ilmu
pengetahuan Islam.
B.Rumusan
Masalah
1.Apa yang
dimaksud dengan ikhtilaf al-Hadist?
2.Bagaimana
pendekatan-pendekatan dalam penyelesaian ikhtilaf al-Hadist?
2. Tujuan penulisan
1.Mengetahui pengertian
Ikhtilaf al-Hadist
2.Mengetahui pendekatan-pendekatan
dalam penyelesaian ikhtilaf al-Hadist
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN IKHTILAF HADIST
Ikhtilafberasal dari bahasa arab yang berarti ketidaksamaan,
ketidakserasian, atau ketidak cocokan.
Ikhtilaf hadist yanggg berarti
hadist-hadist antara satu sama lain mengandung ketidaksaman, ketidakserasian,
ketidakcocokan.[2] Ilmu mukhtalif hadist adalah ilmu yang
membahas hadist- hadist yang tanpaknya
saling bertentangan, lalu menghilangkan pertentangan itu atau
mengkompromikannya disamping membahas hadist yang sulit difahami atau
dimengerti lalu menghilangkan kesulitan itu dan menjelaskan hakikatnya.[3]
Definisi lain menyebutkan sebagai berikut, ilmu ikhtilaf hadist
adalah ilmu yang membahas hadist-hadist yang menurut lahirnya saling
bertentangan, karena adanya kemungkinan dapat dikompromikan, baik dengan cara
mentaqyid kemutlakannya, atau membawanya ke beberapa kejadian yang relevan
dengan hadist tersebut dll.[4]
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Ilmu Ikhtilaf hadist adalah
ilmu yang membahas hadist-hadist yang lahirnya saling berlawanan, lalu
menghilangkan pertentangan atau mempertemukan antara satu dengan yang lainnya.
Dalam ulumul hadist pembahasan tentang Iktilaf al hadist disebut
juga ilmu Mukhtalifulhadist dan ada
sebagian ulama menyebutnya dengan ilmu
musykilul hadist, bahkan sebagian ulama yang lain menyebut dengan ilmu ta’wilul
hadist. Disamping itu ada yang menamakan denag ilmu talfiqul hadist, namu
memiliki pengertian yang sama.[5]
Ilmu Mukhtalif al-Hadist adalah termasuk salah satu bagian dari
ilmu hadist yang sangat diperlukan oleh muhaddisin, fuqaha dan lain
sebagainya.Bagi seorang yang ingin mengistimbatkan suatu hokum dari
dalil-dalilnya, hendaklah mempunyai pengetahuan yang cukup, pemahaman yang kuat
tentang hadsit Rasulullah SAW sebagi salah satu sumber hukum.Ia tidak cukup
menghafal hadist, sand-sanadnya dan lafadh-lafadhnya tanpa mengetahui
ketentuan-ketentuannyadan tanpa memahami berbagai ilmu hadist itu dengan baik.[6]
Ilmu Mukhtalif al hadist ini awalnya hanya ada dalam bentuk
praktisnya saja, belum merupakan suatu teori yang dapat diwarisi. Barulah
kemudian al Syafi’I membuka lembaran baru sejarah perkembangannyayang
sebelumnya tidak tertulis menjadi sebuah warisan tertulis dan dapat dipelajari
denag menuangkan hadist-hadist mukhtalifnya dalam sebuah karya ikhtilaf al
hadist, bahkan kitabnya yang secara khusus membahas hadist-hadist mukhtalif dan
juga terdapat dalam kitabnya al Risalah. Dan padaakhirnya langkah Al Syafi’I
tersebut diikuti oleh Ibnu Qutaybah,
yang juga menulis kitab khusus tentang hadist-hadist mukhtalif dan
penyelesaiannya dengan judul Ta’wil mukhtalif al hadist. Setelahnya tampil pula
Al-Thahawi dengan kitabnya Musykil al- atsari Ibnu Faurak denagn kitabnya
Musykil al hadist wa bayanuh, dan sejumlah tokoh lainnyan.[7]
B.
Pendekatan dan Metode Penyelesaian Iktilaf al Hadist Menurut Para
Ulama
Sebagi Ulama pertama yang membicarakan
masalah ini adalah al Iman al-Syafi’i dalam kitabnya dalam bab mukhtalif
al-hadist, dia menawarkan metode al-jam’u sebagai upaya untuk mempertemukan
kedua hadist itu. Perlu digaris bawahi bahwa pertentangan yang terjadi dalam
hadist tersebut adalah pertentangan dalam arti dhahiri, sedangkan secara
substantive , sama sekali tidak bertentangan, bahkan saling mendukung sesuai
dengan kebutuhan situasi dan kondisi. Dapat dikatakan bahwa dalam penyelesaian
pertentangan hadist ini, metode pertama yang ditempuh oleh para ulama fiqh dan
hadist adalah jam’u (al- taufiq,
al-talfiq atau al-ta’lif), [8]barulah
setelah itu menempuh langkah lain secara bertahap seperti al-naskh, al-tarjih dan al- tawaqquf, yang akan
dijelaskan dalam pembahasan berikut ini satu persatu.
a. Ikhtilaf al-Hadist dengan Pendekatan al-Jam’u wal Taufiq
Al- jam’u bermakna mengumpulkan atau manggabungkan. Kata ini semakna
dengan al-taufiq, Al-talfiq,dan al-ta’lif
yang semuanya kira-kira bermakna mengkompromikan. Al-jam’u dalam
pengertian yang diberikan oleh ulama ushul adalah mengalihkan makna dari setiap
dalil kepada makna yang lain sehingga tidak terdapat perlawanan lagi. Berbeda
dengan tarjih, dalam taufiq ini kedua dalil yang berlawanan tersebut masih
digunakan semuanya.dengan demikian,
dalam pengertian yang diberiakan lebih mengarah pada usaha mencari makna yang
laindibalik pertentangan tersebut.[9]
Imam Syafi’I juga memakai metode
al-Jam’u sebagai prioritas di atas metode yang lain. Hal ini mungkin karena
Syafi’I menganggap bahwa pada dasarnya tidak adapertentangan dalam
hadist.Pertentangan itu hanya lahir karena keternatasan kemampuan para pegiat
hadist dalam khazanah hadist yang dikuasainya. Langkah yang digunakan Syafi’I dengan metode ini adalah
mengklarifikasikan suatu hadist dalam kategori am dan khasatau mutlak dan
muqayyad. Suatu hadist dilihat dari cakupan makna dan kondisi serta situasi
yang melatarbelakangi sutau hadist.[10]namun yang perlu dicatat adalah penyelesaian ikhtilaf al-hadist sangat
erat kaitanya dengan asbabul wurud hadist. Hal ini adalah masuk akal , karena
mungkin saja suatu hadist dating karena situasi tertentu, ditujukan kepada
orang-orang tertentu yang tidak termasuk orang lain secara secara keseluruhan,
sebab kondisi keimanan kaum musliminketika itu tidak sama, maka kadangkala
terhadap orang yang masih labil imanya nabi member semacam rukhsah dan
kejadian-kejadian seperti ini tentu orang-orang tertentu saja yang mengetahuinya.
Adapun cara jam’u wa taufiq pada dua dalil yang berilawana adalah
sebagaimana yang dikatkan mukhtar yahya dan Fatchur Rahman :
1.
Menakwilakan salah satu nash itu sehingga tidak berlawanan dengan nash
yang lain.
Adapun contoh hadist mukhtalif yang diselesaikan secara jam’u wal taufiq
adalah sebagai berikut :
“nabi ditanyai tentang air yang berada ditanah lapang dan silih nerganti
dimanfaatkan (diminum,
dimandi,dikencingi dan lain-lain) oleh binatang peliharaan dan binatang
buas. Maka rasulullah saw menjawab; “bila iar itu mencapai dua kulah, maka
tidak mengandung najis”.
Pengertian yang dapt ditangkap dari hadist ini adalh air sebanyak
dua kulah dianggap suci secara mutlak,
baik berubah rasa,bau atau warnanaya maupun tidak berubah sama sekali. Namun
ada hadist lain yang seolah-olah mengandung makna menentang hadist ini, yakni
hadist yang diriwaratkan oleh Ibnu
Mas’ud dalam masalh yang sama, yakni kesusian air yang artinya.
“Allah menciptakan air dalam keadaan suci, tidak ada sesuatupun yang
menjaisinya kecuali telah berubah
rasa,warna dan bau.
Kaedah yang dipakai oleh para
ulama, dalam menyelesaikan pertentangan ini adalah dengan jam’u dengan metode
takhsish, dimana salah satu dari hadist ini mengkhususkan keumuman yang
terkandung hadist yang lainnya.Hadist pertama menyatakan bahwaair dianggap suci
apabila air mencapai jumlah tertentu tanpa memandang pada perubahan rasa dan
warnanya.Sedangkan hadist ke dua air dianggap suci dibawah ukuran dua kula
sepanjang tidak ada perubahan pada sifat-sifat kesuciannya. Masing-masing dari
dua hadist berfungsi sebagai pentakhsis bagi yang lain dan pertentangan di
dalamnya terselesaikan. Jadi, sebenarnya kedua hadist ini tidak saling
bertentangan.
b.
Ikhtilaf
al-hadist dengan pendekatan Tarjih
Tarjih sebagaimana disebutkan oleh Hasbi Ash-Shiddiqie adalah menampakkan
suatu kelebihan salah satu dari dua dalil yang serupa dengan sesuatu yang
tidak berdiri sendiri.[12]maka apabila telah nyata kerajihan salah satunya, hendaklah kita mengamal
yang rajah itu. Tarjih dalam ulama ushul adalah menjadikan sesuatu lebih kuat
atau mempunyai kelebiahan. Sedangkan ulama Hanafiah menyatakan bahwa tarjih
adalah menyatakan keistimewaan salah satu dari dua dalil yang sama, dengan
suatu sifat yang menjadikan lebih utama dilihat dari yang lain.[13]Tarjih merupakan jalan terakhir yang ditempuh untuk menyelesaikan
problema hadist mukhtalif setelah menempuh jalan al-jam’u dan jalan
nasakh.Tarjih merupakan jalan terakhir dilakukan sebelum tawaquf.[14]
Dalam
mentarjihkan hadist ada beberapa aspek antara lain:
Mentarjihkan dengan memperhatikan kualitas sanad.Apa yang diperhatikan
dalam tarjih sanad ini adalah mendeteksi ittisalnya
hadist, kemudian jumlah periwayat dan jalur periwayatan hadist. Disamping
jumlah periwayat, kualitas ketinggian sanad termasuk aspek terpenting yang
harus diperhatikan, apakah sanad hadist tersebut tergolong hadist mutawatir, masyur, ahad, atau mursal.
Mentarjih dengan memperhatikan sifat-sifat periwayat. Sifat-sifat
periwayat yang utama adalah adl dan dhabt , periwayat yang tidak dhabt mudah
sekali terjebak dalam kesalahan menyampai riwayat, demikian pula dengan
periwayat yang tidak adl, tidak segan-segan dalam melakukan kebohongan. Oleh
karena itu, sasaran utama yang menjadi perhatian dalam persoalan sifat-sifat
periwayat ini adalah masalah keadilan dan kedhabitan periwayat.
Mentarjih
dengan memperhatikan keadaan matan.Oleh karena suatu matan hadist mesti
terhindar dari syadz dan Illah, maka yang tidak memiliki syadz dan Illah yang lebih utama digunakan.
Mentarjih dengan
memperhatikan perkara(persoalan hukum) yang keluar dari sebuah hadist. Perkara
yang keluar dari sebuah hadist harus sejalan dengan kandungan ayat Al-Qura’an,
Hadist dan Qiyas.Jika berlawanan dengan ketiganya, maka yang dipegang yang
tidak berlawanan.[15]
c.
Ikhtilaf al
hadist dengan Pendekatan Nasikh wal Mansukh
Secara etimologi kata naskh mengandung arti pembatalan (al- ibthal),
penghapusan (al-izalah), dan memidahkan (an-naql) dan memalingkan (al ta’wil).[16] Sedangkan secara terminology arti dari naskh adalah mengangkat atau
menghapuskan hukum syara’ dengan dalil hukum syara’ yang lain.[17] Maksudnya adalah suatu hukum yang sebelumnya berlaku , kemudian hukum
tersebut menjadi hilang dengan datangnya dalil hukum yang baru. Hukum yang lama
dinamakan mansukh dan dalil yang
dating kemudian dinamakan nasikh.
Pada
dasarnya kajian tentang naskh merupakan objek kajian ilmu ushul fiqh, karena
hakikatnya untuk mengetahui tentang naskh secara komprehensif dapat dilihat
dari kitab-kitab ushul fiqh.kendati demikian naskh dalam hadist- hadist
rasulullah juga dibicarakan.yang pada akhirnya melahirkan suatu ilmu yang
dinamakan ilmu naskh al-hadist wa
mansukh.
Keterangan
tegas dari Rasulullah SAW atau sahabat, seperti hadist :
“aku dulu pernah melarangmu berziarah kubur, maka kini berziarah
kuburlah”.
Ijma’
umat bahwa ayat ini adalah nasikh dan
itu adalah mansukh
Mengetahui
mana yang terlebih dahulu dan mana yang dating kemudian berdasarkan sejarah.
Berikut adalh contoh hadist mukhtalif yang diselesaikan dengan cara naskh dan mansukh oleh Al- Syafi’I
yang artinya :
“Hadist Syaddad Ibn Aws, dai berkata : aku pernah bersama nabi pada tahun
memasuki kota Mekkah, nabi melihat seseorang berbekam yaitu pada hari ke 18
bulan Ramadhan. Sambil memegang tangan ku beliau bersabda”Yang berbekam dan
yang dibekam batal puasanya”( H.R Al-Syafi’i
Hadist
yang ke dua yang artinya:
“Hadist dari Ibn Abbas, bahwa rasulullah SAW
pernah berbekam sedang dia dalam keadaan ihram dan berpuasa”. (H.R al-
Syafi’i)
Hadist yang pertama menyata bahwa
berbekam membatalkan puasa, baik yang berbekam atau yang dibekamkan.Namun
ketentuan ketentuan ini berbeda dengan hadist yang ke dua, yaitu menyatakan
bahwa berbekam tidak membatalkan puasa.Jadi menurut Al-Syafi’I kedua hadist ini
tidak mungkin dikompromikan, sehingga salah satu dari hadist tersebut haruslah
dihapuskan secara hukum atau dinasakh. Menurutnya hadist yang pertama terjadi tahun ke 8 hijriah, dimana waktu itu
rasulullah belum pernah mengerjakan ihram, sementara hadist yang ke dua
rasulullah mengerjakan ihram sambil berpuasa yang terjadi pada tahun yang ke 10
H.oleh karena itu hadist yang kedua menjadi nasikh dan hadist yang pertama
menjadi mansukh.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari uraian yang telah disampaikan di atas, maka dapat
disimpulkan sebagai berikut:
Ikhtilaf al-hadits, berasal dari bahasa Arab yang berarti ketidaksamaan,ketidakserasian,
atau ketidakcocokan. Ilmu ikhtilaf al-hadits adalah ilmu yang membahas tentang
hadits-hadits yang lahirnya saling berlawanan, lalu menghilangkan pertentangan
atau mempertemukan antara satu dengan yangl ainnya, sebagaimana juga membahas
hadits-hadits yang sulit dipahami lalu menghilangkan kesukaran dan menjelaskan
hakikatnya
Dalam menyelesaikan hadits-hadist yang mukhtalif ada
beberapa pendekatan yang dilakukan olehpara ulama yaitu
Al- Jam’u (mengkompromikannya)
Tajih (menguatkan salah satu dari kedua hadist)
An-naskh (menghapus salah satu dari hadist)
DAFTAR
PUSTAKA
Rahman, Fatchur, Ikhtisar
Musthalah al hadist, (Bandung :
Al-Ma’arif, 1985)
Ansyar,i Saifullah,
Khazanah pemikiran Al-Syafi’I dan Ibn
Taimiyah dalam memahami hadist mukhtalif, Tesis program Magister Banda
Aceh, IAIN Ar Raniry, 2002
Nur, Qodirun dan Musyafiq ,Ahmad, Ushul Al hadist, Jakarta, Gaya
Media Pratama, 1998
Suparta, Munzier, Ilmu
Hadist,Jakarta, PT Raja Grafinda Persada, 2002
As Shalih, Subhi, Membahas ilmu-ilmu hadist, Jakarta, Pustaka
Firdaus, 1995.
Moh.Isom
yoesqi, Inklusivitas hadist nabi Muhammad
SAW menurut Ibn Taimiyyah, Jakarta:Pustaka Mapan.2006
Djuned, Daniel,
Paradigma baru studi ilmu hadist,
rekonstruksi fiqh al hadist,Banda Aceh:Citra Karya, 2002
Yahya, Mukhtar
dan Rahman, Fatchur, Dasar-dasar
Pembinaan hukum Islam, Bandung: Al-ma’rif,1997
Hasbi Ash-Siddiqie, Muhammad,
Pengantar Hukum Islam, Semarang:Pustaka Rizki Putra,2001.
al-Qatthan, Manna, Pengantar
Studi Ilmu Al-Qur’an.Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007
[1]Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalah al hadist, (Bandung
: Al-Ma’arif, 1985), hlm. 294
[2] Saifullah Ansyari, Khazanah pemikiran Al-Syafi’I dan Ibn
Taimiyah dalam memahami hadist mukhtalif, Tesis program Magister (Banda
Aceh, IAIN Ar Raniry, 2002),hlm.24
[3] Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq,
Ushul Al hadist, (Jakarta, Gaya Media Pratama, 1998), hlm. 254
[4]Munzier Suparta, Ilmu Hadist, (Jakarta, PT Raja Grafinda
Persada, 2002), hlm. 42
[5] Subhi As Shalih, Membahas
ilmu-ilmu hadist, (Jakarta, Pustaka Firdaus1995),hlm. 104
[6] Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalah al hadist…, hlm.
294
[7] Moh.Isom yoesqi, Inklusivitas hadist nabi Muhammad SAW
menurut Ibn Taimiyyah, (Jakarta:Pustaka Mapan.2006), hlm. 160
[8] Daniel Djuned, Paradigma baru studi ilmu hadist,
rekonstruksi fiqh al hadist,(Banda Aceh:Citra Karya, 2002), hlm. 77
[9] Mukhtar Yahya dan Fatchur
Rahman, Dasar-dasar Pembinaan hukum
Islam, (Bandung:Al- ma’rif,1997), hlm. 477
[10]Daniel Djuned,Paradigma baru studi ilmu hadist,
rekonstruksi fiqh al hadist…,hlm. 77
[11]Mukhtar Yahya dan Fatchur Rahman,
Dasar-dasar Pembinaan hukum…, hlm.477
[12] Muhammad Hasbi Ash-Siddiqie, Pengantar Hukum Islam,
(Semarang:Pustaka Rizki Putra,2001), hlm. 284
[13]Mukhtar Yahya dan Fatchur Rahman,
Dasar-dasar Pembinaan hukum…, hlm.
469
[14] Daniel Djuned, Paradigma baru studi…,hlm102-103
[15]Saifullah Ansyari, Khazanah pemikiran Al-Syafi’I…, hlm. 44
[16] Ali Hasbalah, Ushul tasryri’
al-islam, , (Mesir: Darul Ma’rif, 1976) hlm. 212
[17]Manna al-Qatthan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an.(Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2007), hlm. 285
[18] Manna al-Qatthan, Pengantar Studi Ilmu…,hlm. 288
Tidak ada komentar:
Posting Komentar