BAB IPENDAHULUAN
- Latar
Belakang
Setelah wafat nya Nabi Muhammad Saw,
dalam ajaran islam banyak ditemukan aliran- aliran dan teologi-teologi. jika
sebelumnya semua masalah dikembalikan pada beliau, maka setelah Nabi wafat Al-Qur’ān
dan hadith menjadi pegangan. Namun, masalah
semakin komplit dan Al-Qur’ān masih
sangat universal. Interpretasipun dilakukan dan menjadi pegangan. Sebagai hasil
sebuah pemikiran, lahirlah berbagai perbedaan dari rujukan yang sama.
Aliran
murji’ah merupakan salah satu aliran teologi islam yang muncul pada abad
pertama hijriah. Pendirinya tidak diketahui dengan pasti, akan tetapi menurut
Syahristani dalam bukunya bahwa orang pertama yang membawa paham ini adalah
Gailan ad-Dimasyqi.[1]
Sebagaimana
halnya dengan kaum khawarij dan syiʻah, murji’ah pada mulanya juga ditimbulkan
oleh persoalan politik. Dalam suasana konflik yang ditimbulkan oleh kaum
khawarij dan syiʻah itulah muncul suatu golongan baru yang ingin bersikap
netral yang tidak mau terlibat dalam pertentangan-pertentangan yang terjadi diketika
itu dan mengambil sikap menyerahkan penentuan hukum kafir atau tidak kafirnya
orang-orang yang bertentangan itu kepada Tuhan. Bagi kaum murji’ah mereka yang
bertentangan itu merupakan orang-orang yang dapat dipercayai dan tidak keluar dari
jalan yang benar, mereka tidak menyalahkan siapa yang benar dan siapa yang
salah, mereka lebih menyerahkan semua urusan kepada Allah Swt, untuk mengampuni
atau tidak mengampuninya pada hari kiamat kelak.[2]
Keberadaan murji’ah banyak yang belum diketahui,
tidak seperti khawarij, syiʻah dan aliran lain. Keberadaanya sudah
lama tenggelam seiring perkembangan Islam. Pencetus dan pengikut murji’ah
ekstrim mungkin harus bertanggung jawab atas semuanya. Karena merekalah yang
membuat murji’ah terkesan negatif dan ditinggalkan pada masa-masa selanjutnya.
Namun, ajaran-ajarannya yang moderat masih banyak ditemukan walau tidak
dalam murji’ah formal sebagai sebuah aliran.
- Rumusan Masalah
Berdasarkan beberapa pembahasan di
atas, maka di dalam makalah ini ada beberapa pertanyaan yang dapat dirumuskan:
1. Bagaimana
latar belakang sejarah timbulnya murji’ah?
2. Apakah
aliran-aliran dan pokok pemikiran murji’ah?
3. Bagaimana
pengaruh murji’ah?
- Tujuan Pembahasan
1. Untuk
mengetahui latar belakang sejarah timbulnya murji’ah.
2. Untuk
mengetahui aliran-aliran dan pokok pemikian murji’ah.
3. Mengetahui
pengaruh murji’ah.
- Metode Penulisan
Makalah ini disusun dengan
berpedoman pada buku panduan penulisan Thesis dan Disertasi yang diterbitkan
oleh program pasca Sarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Darussalam
Banda Aceh tahun 2013.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Kelahiran Murjiah
Kata murji’ah berasal dari kata Arab arja’a yang artinya bisa bermacam-macam yaitu:
1. Menunda (menangguhkan),
2. Memberi harapan
3. Mengesampingkan.
Murji’ah
dalam arti menunda (menangguhkan) maksudnya adalah bahwa dalam menghadapi
sahabat-sahabat yang bertentangan, mereka tidak mengeluarkan pendapat siapa
yang bersalah, tetapi mereka menunda dan menangguhkan penyelesaian persoalan
tersebut di hari akhirat kelak di hadapan Allah Swt.
Murji’ah
dengan arti memberi harapan, maksudnya
adalah bahwa orang-orang islam yang berbuat dosa besar tidak menyebabkan mereka
menjadi kafir. Mereka tetap mukmin dan tetap mendapatkan rahmat Allah meskipun
mereka harus masuk lebih dahulu dalam neraka karena perbuatan dosanya. Namun
murji’ah diberikan untuk golongan ini karena mereka memberi pengharapan bagi
orang yang berdosa besar untuk masuk surga.
Sedangkan
murji’ah dalam pengertian mengesampingkan maksudnya adalah bahwa golongan ini
menganggap yang penting dan di utamakan adalah iman, sedangkan amal perbuatan
hanya merupakan soal kedua, yang menentukan mukmin atau kafirnya seseorang
adalah imannya bukan perbuatannya. Dengan demikian, iman lebih penting
dibandinkan perbuatan, sedangkan perbuatan dikesampingkan.[3]
Aliran ini di sebut murji’ah karena menunda
penyelesaian permasalahan antara Ali ibn Abi Thalib dan Muawiyyah Ibn Abi
Sufyan dan Khawarij ke hari perhitungan di akhirat nanti. Aliran ini menyatakan
bahwa orang yang berdosa tetap mukmin selama masih beriman kepada Allah SWT dan
Rasul Nya. Sedangkan orang yang melakukan dosa besar, orang tersebut di akhirat
baru ditentukan hukuman nya.
Aliran
ini muncul dilatarbelakangi oleh persoalan politik, yaitu soal khilafah (kekhalifahan).
Setelah terbunuhnya Khalifah Usman bin Affan, umat islam pada masa itu terpecah
kedalam tiga kelompok yaitu golongan Khawarij, Syiʻah dan Muawiyah. Dalam merebut
kekuasaan, kelompok muawiyyah membentuk Dinasti Umayyah. Syiʻah dan Khawarij sama-sama
menentang kekuasaannya. Syiʻah menentang Muawiyyah karena menuduh Muawiyyah
merebut kekuasaan yang seharusnya milik Ali dan keturunannya. Sementara itu Khawarij
tidak mendukung muawiyyah karena ia dinilai menyimpang dari ajaran islam. Dalam
pertikaian antara ketiga golongan tersebutlah terjadi saling mengkafirkan,
sampai akhirnya muncul sekelompok orang yang menyatakan diri tidak ingin
terlibat dalam pertentangan politik yang terjadi. Kelompok inilah yang kemudian
berkembang menjadi golongan Murji’ah.[4]
Seperti
arti dari murji’ah yang ketiga adalah mengesampingkan, jadi golongan murji’ah
berpendapat bahwa yang terpenting dalam kehidupan beragama adalah aspek iman
dan kemudian amal. Walaupun seseorang telah melakukan dosa besar, selama masih
meyakini bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusanNya, maka ia tetap
dianggap mukmin bukan kafir, adapun mengenai dosa yang dilakukannya terserah
Allah akan diampuni atau tidak, pendapat ini menjadi doktrin ajaran murjiah,
dan pendapat ini berlawanan dengan pendapat kaum khawarij yang menyatakan bahwa
orang yang berdosa besar adalah kafir.
Pendapat
yang seperti ini dapat disimpulkan bahwa yang terpenting dan yang paling
diutamakan bagi golongan murji’ah adalah iman, sedangkan perbuatan merupakan
soal kedua. Jadi, yang menentukan seseorang itu mukmin atau kafir adalah
kepercayaan atau keimanannya saja, dan bukan perbuatan dan amalannya. Akibat
dari pendapat yang demikian yang menganggap bahwa perbuatan itu tidak penting
membawa golongan murjiah ini kedalam beberapa paham-paham yang ekstrim.
B. Aliran-alian dalam Murji’ah dan Pemikirannya
Dalam
perjalanan sejarahnya, aliran ini terpecah menjadi dua kelompok, yaitu kelompok
moderat dan kelompok ekstrem. Golongan moderat ini adalah yang berpegang pada
pendapat yang telah dijelaskan sebelumnya, tokoh-tokoh nya adalah Hasan bin
Muhammad bin Ali bin Abi Thalib, Abu Hanifah, Abu yusuf dan beberapa ahli
hadist. Kelompok moderat adalah kelompok yang tetap teguh berpegang pada
doktrin murji’ah yang telah dijelaskan diatas[5].
Sedangkan golongan ekstrim terbagi kedalam beberapa kelompok diantaranya
adalah:
1. Yunusiyyah
Yunusiyyah
adalah kelompok yang dipelopori
oleh Yunus ibn ‘Aun an-Numairi. Menurut kelompok ini iman adalah mengenal Allah
dengan mentaati semua perintahNya dan menyerahkan segala urusan kepada Allah
dan mencintai Allah dengan sepenuh hati, bersikap rendah hati dan tidak kufur.
Sedangkan kufur adalah kebalikan dari itu. Iblis dikatakan kafir bukan karena tidak percaya kepada Allah Swt, melainkan
karena ketakaburannya kepada Allah. Sebagaimana fiman Allah Swt.
ابى واستكبر و كان من الكافرين
Artinya: … ia enggan dan takabur dan adalah ia
termasuk golongan orang-orang yang kafir” (Q.S. Al-Baqarah 34).
Menurut Yunus barang
siapa yang menanamkan rasa kepatuhan hanya kepada Allah semata dan mencintai
Allah dengan sepenuh hati, sekalipun ia melakukan maksiat, tidaklah hal itu
mengurangi nilai iman dan keikhlasannya kepada Allah, karena mereka meyakini
bahwa perbuatan jahat dan maksiat tidak merusak iman
seseorang[6].
Dari uraian diatas kita
telah mengetahui bahwa menurut kelompok ini selama seseorang itu masih mencintai
Allah dengan sepenuh hati, walaupun berbuat maksiat tetap akan masuk surga,
karena yang menyebabkan seseorang itu masuk surga adalah keiklasan dan
kecintaan nya kepada Allah.
2.
‘Ubaidiyyah
Kelompok ini dipelopori oleh Ubaid
al-Muktaib, menurut dia semua dosa selain syirik pasti akan diampuni. Apabila
ada yang meninggal sebagai seorang yang mengesakan (muwahhid), katanya tidak
ada dosa yang telah ia lakukan atau kejahatan yang telah ia kerjakan akan
menghancurkannya. [7]
Jadi dari urain diatas dapat disimpulkan
bahwa kelompok ‘ubaidiyah ini berpendapat hampir sama dengan pendapat Yunusiyyah. Akan tetapi mereka
mempunyai pendapat yang lain yang bahwa seseorang yang meninggal dalam keadaan masih
memiliki ketauhidan tidak akan merugikannya, karena perbuatan jahat tidak
merusak iman. Begitupun sebaliknya perbuatan baik yang dilakukan oleh
orang-orang kafir tidak akan memperbaiki posisi orang kafir.
3.
Ghassaniyyah
Kelompok Al- Ghassaniyyah adalah
mereka yang mengikuti ajaran Ghassan Al-Kafi. Menurut Ghassan, iman adalah
pengetahuan ( ma’rifat) kepada Allah dan Rasul. Jika seseorang mengatakan, saya
tahu bahwa Tuhan melarang makan babi, tetapi saya tidak tahu apakah babi yang
diharamkan itu adalah kambing ini, orang yang demikian tetap mukmin dan bukan
kafir. Dan jika seseorang mengatakan, saya tahu Tuhan mewajibkan naik haji ke
ka’bah tetapi saya tidak tau apakah Ka’bah di india atau tempat lain, orang
demikian juga tetap mukmin. Artinya keyakinan-kayakinan seperti itu berada
diluar persoalan keimanan, tidak ada hubungannya dengan iman. Jadi orang
tersebut pada dasarnya tidak meragukan hal-hal tadi, karena setiap orang yang
berakal pasti tidak meragukan dimana ka’bah dan pasti tahu perbedaan antara
kambing dan babi.[8]
4.
Tsaubaniyyah
Tsaubaniyyah dipelopori oleh Abu Tsauban
yang berpendapat bahwa iman adalah
pengenalan dan pengakuan lidah kepada Allah, mereka juga menambahkan bahwa yang
termasuk iman adalah mengetahui dan mengakui sesuatu yang menurut akal wajib dikerjakan.
Singkatnya kelompok ini mengakui adanya kewajiban-kewajiban yang dapat
diketahui akal sebelum datangnya syari’at.
Golongan ini juga berpendapat bahwa jika
Allah mengampuni seorang pendosa pada hari kiamat, Ia akan mengampuni setiap
pendosa yang beriman yang berada pada posisi yang sama. sekali lagi, jika Ia mengeluarkan
seseorang dari neraka, Ia juga akan mengeluarkan setiap orang lainnya yang
berada pada posisi yang sama.[9]
5.
Shalihiyyah
Shalihiyyah diambil dari nama
tokohnya Shalih ibn Umar Al-Shalihi. Menurut paham ini, iman adalah semata-mata
pengenalan kepada Allah sebagai sang pencipta, sedangkan kekafiran adalah
ketidaktahuan terhadap Allah, menurutnya shalat bukan ibadah, kecuali dari
orang yang beriman kepada-Nya, karena ia telah mengenal-Nya. Iman meliputi
pengenalan akan Allah. Ini merupakan kualitas yang tidak terbagi, yang tidak
bertambah dan berkurang, demikian juga kekafiran merupakan kualitas yang tidak
terbagi, yang tidak bertambah dan tidak berkurang[10].
6.
Marisiyyah
Marisiyyah dipelopori oleh Bisyar
Al- Marisy. Paham ini meyakini iman adalah selain meyakini dalam hati bahwa
tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad itu Rasul-Nya juga harus di ucapkan
secara lisan, maka tidak dikatakan iman jika tidak diyakini dalam hati dan di
ucapkan secara lisan.
7.
Karamiyyah
Karamiyyah, di rintis oleh Muhammad
bin Karram yang mempunyai pendapat bahwa iman adalah pengakuan secara lisan dan
kufur adalah pengingkaran secara lisan. Mukmin dan kafirnya seseorang dapat
diketahui melalui pengakuannya secara lisan[11].
Sebagai aliran yang berdiri sendiri,
kelompok Murji’ah ekstrem sudah tidak didapati lagi sekarang, walaupun
demikian, ajaran-ajarannya dan pengaruh-pengaruhnya masih didapati pada
sebagian umat Islam. Adapun ajaran-ajaran dari kelompok Murjiah moderat,
terutama mengenai pelaku dosa besar serta pengertian iman dan kufur, menjadi
ajaran yang umum disepakati oleh umat Islam.
C. Pengaruh Aliran Murji’ah
Sebagaimana telah diuraikan di atas
bahwa paham Murjiah banyak yang tidak ditemukan lagi sebagaimana aliran lain.
Bahkan keberadaannya seakan hilang ditelan masa dan hanya tinggal sejarah. Namun
praktik-praktik ajarannya masih banyak kita temukan dikalangan masyarakat dewasa
ini. Hanya saja tidak dinamakan lagi dengan aliran murji’ah, tetapi dinamakan dengan
aliran lain. Walaupun hal ini tidak bisa dipastikan sebagai pengaruh ajaranya,
karena tidak mungkin sesuatu yang tidak saling berinteraksi akan saling
mempengaruhi. Namun apa yang tampak tetap tidak bisa dipungkiri sebagai
pengaruh dari ajaran Murji’ah.
Diantara
pengaruh-pengaruh yang masih berkembang dewasa ini adalah:
1.
Taklid
Menjadi hal yang biasa ketika ada anak yang lahir dari orang tua muslim juga
dikatakan seorang muslim. Padahal mereka belum tahu tentang apa itu Islam
bahkan kadang sampai masa dewasanya. Khususnya mereka yang dari kecil sangat
sedikit mengenyam pendidikan keagamaan. Mereka Islam hanya ikut-ikutan atau
bisa dibilang turunan. Ketika ditanya tentang agama, mereka begitu antusias
menjawab “Islam” bahkan ada yang memberi embel-embel Ahlu Sunnah Wa Jama’ah tanpa
lebih dulu tau akan semuanya. Pada hal dalam aliran Ahlu Sunnah Wa Al-Jama’ah
sendiri tidak diperbolehkan taklid dalam akidah. Kebolehan taklid dalam akidah
hanya ditemukan dalam ajaran murji’ah sebagaimana sebagian pendapat di atas.
Secara tidak sadar sebenarnya mereka bukan Ahlu Sunnah Wa Jama’ah.
2. Penundaan
dan penangguhan
Menunda - nunda baik dalam urusan
dunia maupun akhirat sudah menjadi kebiasaan dan hal yang lumrah dan masyarakat
sekarang ini. Dalam hal pekerjaan, menunda menyelesaikan sebuah tugas sudah menjadi
biasa. Apalagi dalam hal taubat, begitu banyak dosa dan maksiat yang dilakukan
dan menunggu masa tua untuk bertaubat.
3. Iman
dan Kufur
Sudah diketahui sebelumnya bahwa termasuk
salah satu ajaran Murji’ah adalah tidak berpengaruhnya amal akan keimanan
seseorang. Meskipun mereka yang beriman tidak menjalankan syari’at bahkan
menentangnya, mereka tetap tidak kufur dan bisa masuk surga. Hal ini sudah
menjadi pegangan masyarakat dan dalih mereka ketika melakukan dosa atau bahkan
menentang agama. Tidak ada yang berhak memberikan hukuman atau menentukan iman
dan tidak imannya seseorang selain Tuhan sendiri. Dan mereka tetap memiliki
bagian di surga dengan secuil iman meskipun tanpa amal sebagai penghargaan.
4. Pengampunan
Tuhan
Di zaman sekarang, banyak ditemukan
orang yang berlebihan dan keterlaluan khususnya dalam maksiat. Bahkan mereka
tidak merasa bahwa apa yang dikerjakan adalah dosa. Mereka terlalu berlebihan
memahami sifat Ghaffar-Nya Allah atau bisa saja dibilang salah paham. Mereka
yang bergelut dengan maksiat ketika ditanya tentang apa yang dilakukannya, akan
menjawab bahwa pengampunan Allah begitu luas dan tidak terbatas. Hal ini bisa
saja merupakan pengaruh Murji’ah ekstrem yang mewajibkan pengampunan Allah
terhadap segala dosa dengan konsep penangguhannya.[12]
D. Analisis Penulis
Aliran
murji’ah muncul dalam suasana pertentangan antara muawiyah Ali, dan golongan Khawarij. Dan aliran murji’ah ini merupakan aliran teologi yang
meyakini bahwa amalan tidak mempengaruhi imannya, sehingga banyak orang
menyatakan bahwa yang penting adalah hatinya dalam berbuat kemaksiatan
seakan-akan perbuatan tersebut tidak mempengaruhi keimanan dihatinya. Membuka pintu
untuk orang-orang jahat melakukan
kerusakan dalam agama dan tidak merasa terikat dengan perintah dan larangan
syari’at. Sehingga akan memperbesar kerusakan dan kemaksiatan dimasyarakat
muslimin. Bahkan bukan tidak mungkin membuat mereka melakukan kekufuran dan
kesyirikan dengan beralasan itu adalah amalan dan tidak merasa imannya
berkurang dan hilang.
Aliran-aliran dan paham-paham murji’ah masih
banyak terdapat dikalangan masyarakat kita dewasa ini, walaupun kebanyakan dari
kita tidak menyadarinya karena kurang nya pemahaman bagaimana yang dikatakan
dengan aliran murji’ah itu sebenarnya. Contohnya seperti yang terdapat dalam aliran
murji’ah ekstrim yaitu dalam paham yang dipelopori oleh Ghassaniyah, yang
mengatakan tentang “ saya tahu bahwa Allah telah mengharamkan memakan daging
babi, tetapi saya tidak tahu apakah daging babi yang diharamkan oleh Allah itu
adalah kambing atau sesuatu yang lain. Kalimat-kalimat yang serupa ini masih
banyak terdengar dikalangan masyarakat sekarang, padahal perkataan seperti ini
tergolong kedalam murji’ah yang ekstrim. Dan kita tahu pasti bahwa seseorang
yang berakal pasti bisa membedakan yang mana kambing dan yang mana babi.
Contoh-contoh
yang lain juga telah penulis uraikan dalam pembahasan di atas, pada pengaruh
aliran murji’ah seperti taklid, penundaan dan penangguhan, iman dan kufur dan
pengampunan tuhan.
Jadi menurut penulis untuk mengubah
pemikiran-pemikiran yang ekstrim seperti itu, kita harus kembali merujuk kepada
sumber dasar agama kita yaitu Al-Qur’ān dan hadith. Agar terhindar dari
pemikiran-pemikiran yang menyimpang.
BAB
III
KESIMPULAN
Dari beberapa pendapat yang telah disampaikan
diatas bahwa aliran Murji’ah yang terpenting dalam kehidupan beragama adalah
aspek iman dan kemudian amal. Jika seseorang masih beriman, berarti dia tetap
mukmin, bukan kafir walaupun ia melakukan dosa besar. Adapun hukuman bagi dosa
besar itu terserah kepada Tuhan, akan diampuni atau tidak. Aliran Murji’ah ini
muncul sebagai reaksi atas sikapnya yang tidak mau terlibat dalam upaya kafir
mengkafirkan terhadap orang yang melakukan dosa besar, sebagaimana hal yang dilakukan oleh aliran khawarij.
Aliran murji’ah terpecah menjadi dua kelompok
yaitu kelompok moderat dan kelompok ekstrim. Kelompok ekstrem terbagi lagi
kedalam beberapa kelompok, diantaranya:
1. Yunusiyyah
2. Ubaidiyyah
3. Ghassaniyyah
4. Tsaubaniyyah
5. Shalihiyyah
6. Marisiyyah
7. Karamiyyah
Pengaruh aliran murji’ah masih
sangat banyak kita temukan dikalangan masyarakat dewasa ini, tetapi tidak
dinamakan dengan aliran murji’ah lagi, diantaranya pengaruh-pengaruhnya adalah
sebagai berikut:
1. Taklid
2. Penundaan dan penangguhan
3. Iman dan kufur
4. Pengampunan Tuhan.
DAFTAR
PUSTAKA
Asy- Syahrastani, Al-Milal Wa Al-Nihal, terj. Asywadie
Syukur,Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2006.
Ensiklopedi
Islam jilid 3, cet. X, Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2002.
Harun
Nasution, Teologi Islam,cet V, Jakarta: UI-Press, 2011.
http://
/stevensahid.blogspot.com, diakses 29 oktober 2014 pukul 17.00 wib
Imam
Muhammad, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, terj. Abd Rahman Dahlan,
cet. I,Jakarta: logos Publishing House, 1996.
M.
Amin Nurdin, Sejarah Pemikiran Islam,cet I, Jakarta: Amzah, 2012
Rosihon
Anwar, Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka Setia, 2001
[6] Asy-
Syahrastani, Al-Milal Wa Al-Nihal, terj.
Asywadie Syukur. (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2006), h.105
[7] Asy-syahrastani,
Al-Milal wa Al-Nihal, terj. Syuaidi Asy’ari. ( Bandung: Mizan
Pustaka,2004), h. 216
[8] Imam
Muhammad, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, terj. Abd Rahman Dahlan,
cet. I,( Jakarta: logos Publishing House, 1996),h.146
Tidak ada komentar:
Posting Komentar