BAB I
PENDAHULUAN
Nabi
Muhammad seorang manusia yang maksum dari segala perbuatan buruk, sehingga
perkataan, perbuatan, persetujuan beliau menjadi salah satu landasan bagi hukum Islam yang
kemudian disebut dengan Hadits. Hadits pada masa awal Islam mengalami
perkembangan yang agak lambat dan bertahap dibandingkan dengan al-Quran. Hal
ini wajar, karena al-Quran pada masa Nabi sudah tercatat walaupun sangat
sederhana, dan mulai dibukukan pada masa Abu Bakar, Khalifah pertama dari
Khulafaur Rasyidin sekalipun dalam penyempurnaannya dilakukan pada masa Ustman
bin Affan yang dikenal dengan Tulisan Ustmani (Rasam Usmani). Sedangkan
penulisan Hadits pada masa Nabi secara umum justru dilarang sehingga
penghimpunan dan pengkodifikasi Hadits mengalami proses perkembangan yang
lamban, melibatkan banyak orang dari masa ke masa dan menghadapi kendala serta
permasalahan yang banyak.
Hadits
pada masa Nabi sendiri sudah mulai diikuti oleh para sahabat, mereka sangat
antusias menghadiri kegiatan Rasul dimanapun berada serta tanpa merasa enggan
menanyakan sesuatu yang mereka belum tahu hukumnya. Hal ini menyebabkan Nabi
Muhammad harus memiliki kemampuan serta usaha dalam menyampaikan risalah kenabiannya. Disamping itu, peran para sahabat dalam
menjaga keshahihan Hadits sangat diperlukan, untuk menjaga dari kekeliruan dan
kesalahan dalam Hadits tersebut.
Berdasarkan
uraian diatas, penulis ingin menjelaskan bagaimana sejarah Hadits pada masa
awal Islam mencakup peran Nabi Muhammad sebagai Rasul yang membawa risalah
kenabiannya serta peran para sahabat dalam pemeliharaan Hadits.
BAB IISejarah Hadits Pada Masa Awal Islam
A. Metode Nabi Muhammad Dalam Menyampaikan
Hadits Kepada Sahabat
Nabi Muhammad Saw
merupakan seorang Rasul yang sangat disegani dan ditaati oleh para sahabat, sebab
mereka sadar bahwa mengikuti Rasul dan sunnahnya adalah kewajiban dalam
berbakti kepada Allah. Oleh karena itu, mereka sangat bersungguh-sungguh dalam
menerima segala yang diajarkan Nabi Saw baik yang berupa al-Quran maupun dari Hadits
Nabi sendiri.
Hadits Nabi yang
diterima para sahabat berkaitan dengan kehidupan sehari-hari, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Penerimaan Hadits
secara langsung berupa majelis ilmiyah yang mana perbuatan, ucapan, penuturan
isyarat, dan diamnya menjadi pedoman bagi kehidupan umat. Misalnya saat Nabi
Saw sedang memberikan ceramah, pengajian, khutbah dan jawaban atas pertanyaan
para sahabat. Adapun yang tidak langsung seperti mendengar dari sahabat yang
lain atau dari utusan-utusan yang datang kepada nabi.[1]
Dengan perkataan lain, segala
ucapan, perbuatan dan penyetujuan Nabi
terhadap suatu peristiwa menjadi contoh teladan bagi para sahabat. Dalam hal
ini, Nabi memliki metode-metode khusus dalam penyampaian hadits[2].
Diantaranya yaitu;
1. Penyampaian hadits secara lisan
Nabi Muhammad adalah
guru atas sunnah-sunnahnya. Beliau sering mengadakan ceramah atau pidato di
tempat terbuka, diskusi, dan pengajian kepada para sahabat semua hal yang
berkaitan dengan kehidupan, Nabi berperan yang menyampaikan Hadits, para sabahat
mendengar serta memahami apa yang beliau sampaikan secara lisan.
Dalam banyak kesempatan pula, Nabi
menyampaikan Haditsnya melalui para sahabat tertentu saja, kemudian mereka
menyampaikannya kepada sahabat lain. Hal
ini dikarenakan ketika Nabi mewurudkan Hadits, para sahabat yang hadir hanya
beberapa orang saja[3].
2. Penyampaian hadits secara tertulis
Walaupun kepandaian
tulis baca dikalangan para sahabat sudah bermunculan, hanya saja sangat
terbatas. Penyampaiam hadits secara tertulis terjadi dalam situasi tertentu.
Misalnya, Nabi Muhammad mengirim surat kepada para raja atau penguasa yang
mencakup masalah muamalah atau ibadah.
3. Penyampaian hadits secara demontrasi
Dalam hal ini, Nabi
memberikan intruksi yang jelas terhadap
sesuatu atau perbuatan Nabi langsung disaksikan oleh para sahabatnya. Seperti
yang berkaitan dengan ibadah dan muamalah. Beliau bersabda, “Shalatlah kalian
seperti kalian melihatku shalat”. Dengan demikian, perilaku Nabi adalah
tauladan bagi umat manusia.
Adapun beberapa cara
yang digunakan Rasulullah dalam menyampaikan hadits kepada para sahabat[4]
adalah:
1.
Pengajaran
bertahap; berangsung-angsur dalam menyampaikan Hadits.
2.
Disampaikan
di dalam majlis al-ilm. Pada masa awal islam di Mekkah, Nabi menyampaikan
dakwahnya secara sembunyi-sembunyi di Dar al-Arqam bin Abdi Manaf. Tempat ini
dikenal dengan Dar al-Islam.
3.
Menyampaikan
Hadits dengan menggunakan pendekatan dan pendidikan, yakni menyampaikannya
dengan tutur kata yang halus hingga menyenangkan yang mendengarnya; menggunakan
bahasa yang jelas dan tegas; serta mengulangnya lebih dari satu kali, agar
Hadits tertanam kuat dalam ingatan para sahabat.
4.
Menyampaikan
Hadits tidak terlalu
panjang, karena beliau khawatir para sahabat bosan.
5.
Rasulullah
memberikan suri tauladan pada kehidupan sehari-hari.
6.
Rasulullah
menyampaikan sabdanya dengan melihat situasi dan kondisi, sehingga orang pedalaman
dengan kekerasan karakter mampu memahami sabda Rasul, demikian juga orang kota.
7.
Rasulullah
juga mengajarkan orang wanita, baik istrinya atau kaum muslimat di majlis.
8.
Dalam
banyak kesempatan, beliau juga menyampaikan banyak Hadits melalui para sahabat
tertentu.
9.
Melalui
khotbah terbuka, misal haji wada’ dan fathul Makkah.
Dengan demikian, metode
penyampaian Hadits yang dilakukan sahabat dapat mempermudah Hadits menyebar ke
seluruh masyarakat, dengan begitu Islam menjadi luas.
B. Cara-Cara Sahabat Memperoleh
Hadits Nabi
Hadits-Hadits Nabi yang
terhimpun di dalam kitab-kitab yang ada sekarang ini adalah hasil kesungguhan
para sahabat dalam menerima dan memelihara Hadits di masa Nabi dulu. Cara
penyampaian Hadits di masa Rasul tidak sama dengan cara penyampain Hadits di
masa generasi-generasi sesudahnya. Rasul hidup di tengah-tengah masyarakat
sahabatnya. Mereka bebas bertemu dan berinteraksi dengan Nabi di rumah, di
mesjid, di pasar, dan dalam perjalanan. Seluruh perbuatan, ucapan, gerak-gerik
dan tutur kata Nabi menjadi tumpuan perhatian sahabat.
Ada beberapa cara yang
ditempuh oleh para sahabat untuk memperoleh Hadits Nadi Saw yang dikutip oleh
Nawir Yuslem[5], yaitu;
1. Menghadiri majelis-majelis taklim yang
diadakan oleh Rasulullah. Rasul selalu menyediakan waktunya untuk mengajarkan
ajaran Islam kepada sahabatnya, demikian juga sahabat berusaha menghadiri
majlis tersebut meskipun mereka sibuk bekerja.
2. Ketika Rasulullah menghadapi masalah
tertentu, beliau menjelaskan hukumnya kepada para sahabat. Kadangkalanya juga Rasulullah
melihat atau mendengar sahabat melakukan kesalahan, kemudian beliau mengoreksinya.
Ø seperti kejadian di Hudaibiyah, Rasul menyuruh para
sahabat untuk mencukur rambut. Mula-mula mereka mereka tidak mau
mengerjakannya. Sesudah nabi sendiri mengerjakannya, barulah para sahabat
menurutinya.
Ø Begitu juga, apabila Nabi tidak dapat berkata
terus-terang dalam memberikan sesuatu jawaban. Nabi meminta istrinya untuk menerangkan
dengan sejelas-jelasnya. Pernah seorang wanita datang kepada nabi bertanya tentang mandi haidh. Nabi
menjawab:
خذي فرصة ممسكة فتوضئي بها
“Ambillah sepotong kain perca
yang sudah dikasturikan, lalu berwudhu’lah dengannya.”
Mendengar
jawaban Nabi demikian, wanita itu mengulangi pertanyaan,
“Betapa saya berwudhu dengan itu?” Nabi menjawab seperti sebelumnya. Oleh karena
wanita penanya tidak memahami perkataan Nabi, Nabi meminta Aisyah untuk
menerangkannya. Maka Aisyah berkata:
خذي
قطعة قطن نظيفة فضعيها في مكان الدم، فإن خرجت بيضاء كان ذلك علامة طهرك.
“Ambillah sepotong kapas yang
bersih, lalu letakkan di tempat darah, jika kapas itu tetap putih, tanda haidh
sudah habis.” (H.R al-Bukhari dan Muslim dan an-Nasai dari Aisyah)[6]
3. Sejumlah peristiwa terjadi pada diri
sahabat, kemudian mereka menanyakan hukumnya kepada Rasulullah dan Rasul
menjelaskan hukum tentang peristiwa tersebut.
Ø Seperti yang diriwayatkan oleh Malik ibn
Atha ibn Yassar bahwa seorang laki-laki dari sahabat mengirimkan istrinya untuk
bertanya kepada Rasul tentang hukum mencium istri ketika berpuasa. Maka Ummu
Salamah memberitahukan kepada wanita tersebut bahwa Nabi pernah menciumnya
ketika berpuasa. Wanita tersebut menerangkan hal demikian kepada suaminya.
Kemudian berkata, “Aku bukan seperti Rasulullah, Allah menghalalkan bagi
Rasulnya apa yang dikehendaki.” Perkataan tersebut sampai kepada Nabi, kemudian
Nabi berkata[7] :
إني
أتقاكم لله وأعمالكم بحدوده
“Bahwasany aku lebih taqwa kepada Allah daripada kamu, dan lebih
mengetahui hukum-hukumnya.”
Ø Seperti diberitakan al-Bukhari dalam
shahihnya dari Uqbah ibn al-Harits, bahwa seseorang wanita menerangkan kapada
Uqbah, bahwa dia telah menyusui Uqbah dan istrinya. Mendengar hal itu, Uqbah
yang kala itu berada di Mekkah berangkat menuju Madinah. Sesampai di Madinah
kapada Nabi, Uqbah pun bertanya tentang hukum mengenai seseorang yang
memperistrikan saudara sesusunya, tanpa mengetahuinya, kemudian baru
diterangkan oleh yang menyusui mereka. Maka nabi menjawab kaifa wa qad qila
(betapa, padahal telah diterangkan orang). Mendengar itu, Uqbah dengan serta
merta menceraikan istrinya, kemudian istrinya kembali menikah dengan orang
lain.[8]
4. Para sahabat menyaksikan Rasulullah
melakukan sesuatu perbuatan yang berhubungan dengan pelaksanaan syariah
Islamiyah, baik menyangkut ibadah dan akhlak.
Berdasarka uraian di
atas, dapat disimpulkan bahwa para sahabat menerima Hadits dari Rasul Saw,
adakalnya langsung dari beliau sendiri, yakni mereka langsung mendengar sendiri
Rasul, baik karena ada suatu permasalahan, lalu Rasul menjawabnya. Ataupun Nabi sendiri yang memulai pembicaraan. Adakala
juga tidak langsung yaitu mereka menerima dari sahabat, atau mereka menyuruh seseorang bertanya
kepada Nabi, jika mereka sendiri malu bertanya.
C. Kehati-hatian Sahabat Dalam Menerima
Periwayatan Hadits
Perhatian sahabat pada
masa awal Islam terfokus pada usaha memelihara dan menyebarkan al-Quran. Ini
terbukti bahwasanya al-Quran telah dibukukan pada masa Abu Bakar. Usaha
tersebut terulang kembali pada masa Ustman bin Affan sebagai kesempurnaan sehingga
melahirkan Mushaf Usmani. Walaupun begitu, bukan berarti mereka lalai dan tidak
menaruk perhatian terhadap Hadits.
Pada masa Khalifah Abu
bakar, Umar, Utsman
dan Ali, mereka sangat berhati-hati dalam menerima periwayatan Hadits. Jika
mereka menerima Hadits dari sahabat lainnya mereka meminta untuk bersumpah dan meminta
saksi atas kebenaran Hadits tersebut.[9]
Kehati-hatian tersebut juga muncul karena kekhawatiran terjadinya kekeliruan
dan kesalahan pada Hadits. Sebagaimana mereka sadari bahwa Hadits merupakan
hukum tasyri’ setelah al-Quran yang harus dijaga dari kekeliruan dan kesalahan
sebagaimana al-Quran.
Abu Bakar sebagai khalifah
pertama yang menunjukkan perhatiannya dalam pemeliharaan Hadits dan menerima Hadits
dengan sangat hati-hati. Diriwayatkan oleh Ibn Syihab dari Qabisah ibn Zuaib,
bahwa seorang nenek bertanya kepada Abu Bakar tentang bagian warisan untuknya.
Ketika ia menanyakan bahwa hal itu tidak ditemukan hukumnya, baik al-Quran
maupun Hadits. Al-Mughirah menyebutkan, bahwa Rasul SAW memberinya perenam. Abu
bakar kemudian meminta al-Mughirah mengajukan saksi lebih dahulu baru kemudian Haditsnya
diterima.[10]
Sikap kehati-hatian
juga ditunjukkan oleh Umar ibn Khattab yang tidak suka membanyakkan periwayatan
Hadits, dan suka meminta saksi jika ada orang yang meriwayatkan Hadits. Begitu
juga Ustman dan Ali, mereka berdua menggunakan saksi bagi orang yang meriwayatkan
Hadits, namun terkadang mengujinya dengan sumpah.[11]
Pada masa awal Islam, Hadits tidak
seperti al-Quran yang secara resmi telah dihimpun menjadi satu kitab. Hal ini
disebabkan agar umat Islam
tidak memalingkan perhatian atau kekhususan mereka dalam mempelajari al-Quran.
Sebab lain adalah kebanyakan para sahabat yang telah menerima banyak Hadits
sudah tersebar ke berbagai daerah kekuasaan Islam, dengan kesibukan
masing-masing sebagai pembina masyarakat. Sehingga kondisi seperti itu
menyulitkan mengumpulan Hadits secara lengkap.
D. Cara-Cara Pemeliharaan Hadits
Pada Masa Nabi
1. Melalui Hafalan
Untuk memelihara
kemurnian dan mencapai kemaslahatan al-Quran dan Hadits sebagai sumber ajaran
Islam, Rasul menyuruh para sahabat untuk menghafal al-Quran serta menulisnya. Sedangkan
Hadits, Nabi hanya menyuruh menghafalnya dan melarang menulisnya secara resmi.
Pelarangan tersebut dimaksud untuk menjaganya dari pencampuran antara alQuran
dan Hadits. Semua Hadits yang diterima para sahabat diingatnya secara
sungguh-sungguh dan hati-hati. Mereka sangat khawatir dengan ancaman Rasul
untuk tidak terjadi kekeliruan tentang apa yang diterimanya.
Kesungguhan para
sahabat dalam menghafal Hadits juga tercermin pada anjuran-anjuran mererka
terhadap sahabat lainnya atau murid-muridnya. Keinginan para sahabat untuk
menghafal hadits juga didorong oleh motivasi yang kuat, sehingga mereka
memaksimalkan kegiatan dan kekuatan hapalannya. Pertama, menghafal
merupakan warisan bangsa Arab yang terkenal dengan kuat hafalannya, dan mereka
sangat kuat hapalannya; kedua, Rasul banyak memberikan semangat dan
motivasi melalui doa-doanya; ketiga, Rasul menjanjikan kebahagian dunia
akhirat bagi mereka yang menghafal Hadits dan menyampaikannya kepada yang lain.[12]
2. Melalui Tulisan
Hadits pada masa Rasulullah
telah banyak dihafal oleh para sahabat, namun ada beberapa sahabat yang mulai
menulis hadits. Seperti halnya mereka menulis ayat-ayat al-Quran, budaya tulis
menulis pada masa nabi relatif sedikit jumlahnya, bahkan Nabi sendiri tidak
pandai menulis. Secara resmi Nabi melarang menulis Hadits bagi umum, seperti beberapa
alasan yang dikemukakan oleh Dr. Mushthafa As-Sabi’i tentang larangan penulisan
al-Quran[13], yaitu:
1.
Al-Quran
masih turun kepada Nabi Muhammad dan kondisi penulisnya masih sangat sederhana,
ditulis diatas pelepah kurma, kulit, tulang binatang, dan batu-batuan dan belum
dibukukan.
2.
Kemampuan
tulis masih sangat langka dapat dihitung dengan jari.
3.
Ingatan
orang Arab sangat kuat dan diandalkan oleh Rasulullah.
Dengan demikian, pelarangan
Hadits dimaksud untuk menjaga kemurnian Hadits dari kekhawatiran akan
bercampurnya al-Quran dan hadits jika ditulis secara bersamaan. Ini berdasarkan
Hadits diriwayatkan oleh Muslim yang bersumber dari Abi Said al-Khudri berikut[14]:
لا تكتبوا عنى غير القرآن ومن كتب غنى غير القرآن
فليمحه , رواه مسلم
“Janganlah kalian
menulis sesuatu dariku selain al-Quran. Barang siapa yang telah telanjur
menulis sesuatu, hendaklah kalian menghapusnya”.
Adapun terdapat
larangan penulisan Hadits, larangan tersebut tidaklah mutlak. Kenyataannya ditemukan
beberapa sahabat yang memiliki catatan-catatan dan melakukan penulisan terhadap
Hadits Nabi. Diantaranya[15]:
1.
Abdullah
ibn Amr al-‘Ash. Ia suka menulis sabda-sabda Nabi, sehingga diberi nama al-sahifah
al shadiqah. Peristiwa tersebut diketahui oleh para sahabat lain dan
memperingatkannya agar tidak menulisnya lagi, sebab besar kemungkinan akan
tertulis kata-kata yang tidak ada sangkut-pautnya dengan hukum syara’ padahal Rasul
itu manusia, yang bisa saja bicara dalam keadaan marah. Pengaduan dan kritikan ini disampaikan kepada Rasul,
dan Rasul mengatakan:
اكتب فوالذي
نفسي بيده ما يخرج منه إلا الحقّ ، رواه البخارى
“Tulislah! Demi zat
yang diriku berada di tangan-Nya, tidak ada yang keluar daripadanya kecuali yang
benar ”.(HR. Bukhari)
Rasulullah
mengizinkan kepada Abdullah ibn Amr al-‘Ash untuk menulis apa-apa yang didengarnya
dari Nabi, karena beliau adalah salah seorang penulis yang baik.
2.
Abu
Syah (Umar ibn Sa’ad al-Anmari) seorang penduduk Yaman. Ia meminta kapada Rasul
dicatatkan Hadits yang disampaikan ketika pidato pada peristiwa futuh Makkah
sehubungan dengan peristiwa pembunuhan. Dalam riwayat al-Bukhari yang bersumber dari
Abu Hurairah menengaskan bahwa pembunuhan tersebut terjadi antara bani Khuza’ah
dan bani Laits sebagai pembalasan di masa lalu. Kemudian Nabi berkhutbah dan bersabda:
اكتبوا
لأبى شاة، رواه البخاري
3. Jabir bin Abdullah al-Anshari (16 – 78
H). Ia memeiliki catatan Hadits dari Rasul tentang manasik haji. Haditsnya
kemudian diriwayatkkan oleh Muslim. Hadits
Jabir bin Abdullah al-Anshari dinamai Sahifah Jabir. Hadits-Hadits
tersebut dikumpulkan dalam satu naskah yang dinamai ash-shahifah
ash-shahihah.
4.
Abu
Hurairah al-Dausi (w. 59H). Ia memiliki catatan Hadits yang dikenal dengan Sahifah
Sahihah. Hasil karyanya ini diwariskan kepada anaknya bernama Hammam.
5.
Anas
ibn Malik, ia menulis dan menghapal Hadits. Seperti Hadits Rasulullah, “Ikatlah
ilmu dengan buku.”[16]
Selain itu, ia juga mendorong putra-putranya untuk menulis Hadits.
Di samping nama-nama
diatas, masih banyak lagi nama-nama sahabat lainnya yang mengaku memiliki
catatan Hadits dan dibenarkan oleh Rasul SAW, seperti Abu Bakar ash-Shiddiq, Rafi’
bin Khadij, Amr ibn Hazm, Ali ibn Abi Thalib,Abdullah bin Abbas, Abu Ayyub
al-Anshari dan Ibn Mas’ud.
E.
Pendapat Ulama Tentang Pencatatan Hadits pada Masa Nabi
dan Sahabat dan Sanggahannya
Dengan adanya
pelarangan dan pembolehan penulisan Hadits yang kelihatannya terjadi
kontradiksi, seperti Hadits dari Abu Said al-Khudri di satu pihak, dan Hadits dari
Abdullah ibn Amr al-‘Ash di pihak lainnya. Berhubungan dengan kontradiksi
tersebut, para ulama berpendapat bahwasanya; pertama, terjadi pengguguran salah
satu atau adanya nasikh dan mansukh; kedua, adanya usaha pengkompromian antara
keduannya.
Dengan demikian, ‘Ajjaj
al-Khatib menyimpulkan bahwa pembolehan penulisan Hadist yaitu[17]:
1. Hadits dari Abu Said al-Khudri bernilai
mauquf, karena itu tidak bisa dijadikan sebagai hujjah.
2. Larangan penulisan Hadits terjadi pada
masa awal Islam, sedangkan pembolehan penulisannya terjadi pada masa umat Islam
sudah bertambah banyak.
3. Pelarangan ini juga berkenaan dengan menulis
Hadits dan al-Quran dalam lembaran yang sama, sehingga dikhawatirkan terjadi
pencampuran antara keduanya.
4. Larangan tersebut pada dasarnya bagi orang
yang kuat hafalan dengan menghilangkan ketergantungan kepada penulisan.
Sedangkan kebolehan diberikan bagi mereka yang hafalannya kurang baik, seperti
Abu Syah.
5. Larangan tersebut dalam bentuk umum,
yang sasarannya masyarakat banyak. Tetapi yang memiliki keahlian menulis dan
membaca adalah diperbolehkan, seperti Abdullah bin Amr al-‘Ash.
Maka dengan demikian.
Hilanglah kesan kontradiksi antara nash yang melarang dan membolehkan, Ini
dikarenakan adanya perbedaan terjadinya di masa awal saja. Dan kemudian para
ulama sepakat membolehkan penulisan Hadits pada masa akhir hayat Rasul.
BAB
III
KESIMPULAN
Muhammad merupakan
Rasul Allah yang memiliki tugas untuk menyampaikan risalah kenabiannya.Metode
yang digunakan untuk menyampaikan Hadits kepada para sahabat, yaitu secara
lisan dan langsung dengan mengadakan majlis ilmu atau pertemuan atau ceramah
serta praktik Nabi terhadapa sesuatu, Dan juga secara tidak langsung seperti
mendengar dari sahabat dan utusan-utusan yang datang menemui Rasul, ataupun
melalui surat yang beliau tulis kepada raja-raja, dengan harapan segala
permasalahan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari dapat terselesaikan. Ada beberapa cara yang
ditempuh para sahabat dalam memperoleh Hadits Nabi yaitu menghadiri majlis yang
diadakan oleh rasul dan jawaban atau penjelasan terhadap suatu hukum
permasalahan yang dihadapai Rasul dan sahabat. Karena Islam telah
menyebar luas, tidak mengherankan bahwasanya timbul kehati-hatian para sahabat
dalam menerima dan meriwatkan Hadits. Seperti meminta sumpah dan saksi bagi yang meriwayatkannya untuk menjaga dan memelihara Hadits dari terjadinya
kekeliruan dan kesalahan. Pemeliharaan Hadits
yang diterima sahabat pada masa Nabi yaitu dengan menghafal dan menulisnya. Walaupun sekilas
terdapat perbedaan mengenai pelarangan dan pembolehan penulisan Hadis, para
ulama berpendapat; pertama, terjadi pengguguran salah satu atau adanya nasikh
dan mansukh; kedua, adanya usaha pengkompromian antara keduannya. Seperti
pelarangan terjadi pada masa awal Islam yang mana al-Quran masih turun, yang
dikhawatirkan akan terjadi pencampuran, dan pada masa akhir hayat nabi
penulisan Hadits diperbolehkan. Pelarangan juga ditujukan bagi yang kuat
hafalannya dengana alasan tidak ketergantungan dengan tulisan, dan pembolehan
ditujukan bagi yang lemah haapalannya dan bagi yang pandai menulis sebagai
catatan bagi dirinya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul
Majid Khon, Ulumul Hadis, Jakarta: Amzah,2009.
Alfatih
Suryadilaga, dkk, Ulumul hadits, Yogyakarta; Teras, 2010.
Badri
Khaeruman, Otentisitas Hadis, Bandung; Remaja Rosdakarya, 2004.
Endang
Soetari, Ilmu Hadits, Bandung; Amal Bakti Press, 1997.
Fatchur
Rahman, Ikhtishar Mushthalahu’l Hadits, Bandung: Alma’arif, 1974.
Mohammad Gufron,
Rahmawati, Ulumul Hadits: Praktis dan Mudah, Yogyakarta: Teras, 2013.
Munzier
Suparta, Ilmu Hadits, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.
Nawir
Yuslem, Ulumul Hadits, Jakarta; Mutiara Sumber Widya, 2003.
Sohari Sahrani,
Ulumul Hadits, Bogor: Ghalia Indonesia, 2010.
Syaikh Manna
al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadits (terj) Mifdhol Abdurrahman
judul asli Mabahsu fi Ulumu al-Hadits, Jakarta: Pustaka al-Kautsar,
2005.
Teungku
Muhammad Hasbi ash-Shiddiqiey, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadit, Semarang:
Pustaka Rizki, 2001.
[3]Sohari Sahrani, Ulumul
Hadits, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hal. 51.
[4]Mohammad Gufron,
Rahmawati, Ulumul Hadits: Praktis dan Mudah, (Yogyakarta: Teras, 2013),
hal. 22.
[5]Nawir Yuslem, Ulumul
Hadits, (Jakarta; Mutiara Sumber Widya, 2003), hal. 89-92
[6]Teungku Muhammad Hasbi
ash-Shiddiqiey, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadit (Semarang: Pustaka
Rizki Putra, 2009), hal. 29.
[9]Mohammad Gufron,
Rahmawati, Ulumul Hadits: Praktis dan Mudah, (Yogyakarta: Teras, 2013),
hal. 28.
[10]Munzier Suparta, Ilmu Hadits,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 81.
[11]Munzier Suparta, Ilmu Hadits
..., hal. 82.
[13]Abdul Majid Khon, Ulumul
Hadis, (Jakarta: Amzah,2009), hal. 44.
[15]Munzier Suparta, Ilmu
. . . , hal. 76-77.
[16] Syaikh
Manna al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadits (terj) Mifdhol
Abdurrahman judul asli Mabahsu fi Ulumu al-Hadits, (Jakarta: Pustaka
al-Kautsar, 2005), hal. 48.
[17]Nawir Yuslem, Ulumul
Hadit ...., hal. 103-104, Syaikh Manna al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu
Hadits (terj) Mifdhol Abdurrahman judul asli Mabahsu fi Ulumu al-Hadits,
(Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005), hal. 49, dan Fatchur Rahman, Ikhtishar
Mushthalahu’l Hadits, (Bandung: Alma’arif, 1974), hal. 49-50
http://www.ajiersa.com/2016/08/sejarah-hadist-pada-awal-islam.html
BalasHapus