BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur’an merupakan
kitab suci Islam.Untuk lebih memahami isi dan makna Al-Qur’an, kajian tafsir
Al-Qur’an sangat diperlukan gunua mengetahui pesan Allah dibalik teks-teksnya
yang terdapat dalam semua perintah dan larangan yang telah ditetapkan-Nya bagi
sekalian manusia, dan untuk menemukan serta memahami petunjuk Allah di segala
bidang. Al-Qur’an memiliki posisi sentral dalam membentuk ajaran, pemikiran dan
peradaban.
Metode penafsiran
Al-Qur’an sebenarnya tidak dapat dipisahkan dari pembahasan tentang paradigma
Al-Qur’an itu sendiri.Paradigma pertama, memandang
Al-Qur’an adalah kalam Allah yang kebenaran maknanya hanya diketahui Allah
semata. Paradigma kedua, memandang
Al-Qur’an sebagai kalam Allah, namun yang dapat mengetahui maknanya bukan hanya
Allah semata, tetapi juga orang-orang yang mempunyai kemampuan mendalam (ar-rasikhun); dalam literatur klasik
adalah para filusuf, ulama, imam Syi’ah dan orang arif. Sedangkan dalam era
modern lebih berkonotasi pada orang-orag yang mempunyai pengetahuan mendalam,
baik dalam agama maupun pengetahuan dan teknologi.Paradigma ketiga, memandang Al-Qur’an sebagai
kalam Allah dan dalam pengertian biasa, juga mempunyai sifat manusiawi,
sehingga pandangan terhadap Al-qur’an terus meningkat ke taraf yang lebih
humanis.[1]
Kajian
Al-Qur’an sebenarnya selalu mengalami perkembangan yang cukup dinamis, seiring
dengan akselerasi perkembangan kondisi social-budaya dan peradaban manusia.Hal
ini terbukti dengan munculnya karya-karya tafsir, mulai dari yang klasik sampai
kontemporer, dengan berbagai corak, metode dan pendekatan yang digunakan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penulisan makalah ini
yaitu:
1. Apa
yang dimaksud dengan ilmu tafsir Al-Qur’an?
2. Bagaimana
metode, corak dan bentuk penafsiran Al-Qur’an oleh Ulama Mutaqaddimin,
Mutaakhkhirin dan Modern?
3. Apa
sebab-sebab pokok kekeliruan penafsiran Al-Qur’an?
C.
Tujuan
Pembahasan
1. Untuk
mengetahui ilmu tafsir Al-Qur’an.
2. Untuk
mengetahui metode, corak dan bentuk penafsiran Al-Qur’an oleh Ulama
Mutaqaddimin, Mutaakhkhirin dan Modern.
3. Untuk
mengetahui sebab-sebab pokok yang melatar belakangi kekeliruan penafsiran
Al-Qur’an.
D. Metode
Penelitian
Metode
penulisan makalah ini menggunakan metode penelitian dengan pendekatan library research, yaitu mengumpulkan
data-data yang berkaitan dengan judul makalah ini dengan menggunakan literatur
kepustakaan.Mengambil beberapa kutipan pembahasan yang berkaitan dengan makalah
ini dari buku-buku tertentu.
E. Teknik Penulisan
Dalam penulisan makalah
ini penulis menggunakan buku “Panduan
Penulisan Tesis dan Disertasi Program Pasca Sarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh”
tahun 2013.
Dalam
penulisan daftar pustaka ditulis sesuai dengan nama pengarang buku tanpa
mengubah susunan katanya, kemudian judul buku, tempat terbit, penerbit dan
tahun terbitnya
BAB
II
PENAFSIRAN
AL-QUR’AN
A. Kelahiran Tafsir
Al-Qur’an
Tafsir dari segi bahasa
bermaksud menyatakan sesuatu atau menjelaskannya. Para ulama mempunyai beberapa
pendapat tentang pengertian ilmu tafsir yaitu:
1. Tafsir
ialah ilmu yang mengkaji tentang ayat-ayat Al-Qur’an dari segi lafaznya,
mengikuti perintah Allah, sesuai kemampuan manusia[2].
2. Tafsir
adalah ilmu untuk memahami Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dari
segi makna, hukum dan hikmah yang ada didalamnya.[3]
3.
Tafsir adalah
ilmu yang mempelajari tentang asbabunnuzul
ayat, surah-surah, kisah, susunan ayat makiyah
dan madaniah, muhkam dan mutasyabih, nasikh mansukh, khas dan ‘am, muthlaq dan
muqayyad, mujmal dan mufassar.[4]
Maka, dapat disimpulkan
tafsir adalah ilmu yang membahas/mengkaji Al-Qur’an dari segi makna sesuai
kemampuan manusia.
Penafsiran Al-Qur’an
telah dimulai sejak Al-Qur’an itu disampaikan Nabi Muhammad saw kepada umatnya.
Pertama kali Al-Qur’an turun, ia langsung ditafsirkan oleh Alah yang
menurunkannya. Artinya, sebagian ayat yang turun itu menafsirkan (menjelaskan)
bagian yang lain, sehingga pendengar atau pembaca dapat memahami maksud secara
baik berdasarkan penjelasan ayat yang turun itu. Sebagai contoh, pada wahyu
pertama dalam Surah al-‘Alaq, yang artinya berbunyi:[5]
“Bacalah dengan
(menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia Telah menciptakan manusia dari
segumpal darah.” (Q.S. Al-‘Alaq: 1-2)
Ayat kedua merupakan penafsiran bagi
kata “Tuhanmu” yang ada pada ayat pertama.Penafsiran serupa demikian ulama
tafsir menyebutnya dengan Tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an.
Sejak
Rasulullah, sebenarnya sudah dikenal dua cara penafsiran Al-Qur’an, yaitu
penafsiran berdasarkan petunjuk wahyu (tafsir
bi al-ma’sur) dan penafsiran berdasarkan ijtihad (tafsir bi ar-ra’yi).[6]
B. Metode, Bentuk
dan Corak Tafsir
Al-Farmawi telah
memetakan metode penafsiran Al-Qur’an menjadi empat bagian pokok:[7]
1 . Tahlili,
suatu metode yang menjelaskan makna-makna yang dikandung ayat Al-Qur’an, yang
urutannya disesuaikan dengan tertib ayat yang ada dalam Al-Qur’an.
2 . Ijmali,
yaitu menafsirkan ayat Al-Qur’an dengan cara mengemukakan makna ayat secara
global.
3 . Muqaran,
yaitu menafsirkan ayat dengan cara perbandingan, dalam 3 hal: antar-ayat,
perbandingan ayat Al-Qur’an dengan Hadist, dan perbandingan antar-mufasir.
4. Maudlu’i,
yaitu menafsirkan ayat Al-Qur’an secara sistematis. Metode ini mempunyai 2
bentuk, yaitu pertama, membahas satu Surah Al-Qur’an dengan menghubungkan
maksud antar-ayat serta pengertiannya secara menyeluruh. Kedua, menghimpun ayat
Al-Qur’an yang mempunyai kesamaan arah dan tema, kemudian dianalisis dan
diambil kesimpulan.
Nashruddin Baidan lebih lanjut mengkategorikan
bentuk dan corak tafsir:[8]
-
Bentuk
Tafsir, dalam kajian ilmu tafsir dijelaskan bahwa bentuk
tafsir yang berkembang sejak dulu sampai sekarang hanya ada 2, yaitu: Al-Ma’sur
dan Ar-Ra’yu. Bentuk yang pertama:
uraiannya didominasi oleh peninggalan atau fakta sejarah yang diwariskan oleh
Nabi dan sahabat, didalam tafsir ini tetap ada pemikiran, tetapi porsinya hanya
sedikit sekali. Sebaliknya, pada tafsir dalam bentuk kedua (pemikiran) didominasi oleh pemikiran rasional, tetapi tidak
menutup pintu bagi masuknya riwayat atau hadist.
-
Corak
Tafsir, Corak penafsiran yang dipilih oleh mufasir menjadi
sedikit lebih bebas, mereka dapat memilih corak apa saja selama didukung oleh
keahlian masing-masing, baik dibidang tasawuf, fiqih, filsafat, ilmiah, bahasa,
maupun sosial kemasyarakatan. Semua itu bergantung pada keahlian dan
kecenderungan masing-masing mufasir.
C. Perkembangan
Tafsir Al-Qur’an
Perkembangan tafsir
Al-Qur’an dapat dikelopokkan dalam beberapa periode sebagai berikut:[9]
1.
Periode Ulama
Mutaqaddimin (abad ke 3-8 H/9-13 M)
Zaman para penulis tafsir Al-Qur’an
gelombang pertama, yang mulai memisahkan tafsir dari hadis (generasi setelah tabi’in dan tabi’ tabi’in).keistimewaan
tafsir pada zaman ini adalah disebutkannya sanad dari tabi’in, sahabat, sampai Rasulullah saw. sumber Tafsirnya meliputi;
Al-Qur’an, hadist Nabi saw, riwayat para sahabat, riwayat para tabi’in, riwayat para tabi’ tabi’in, cerita ahli kitab, dan
ijtihad. Tafsir pada periode ini memiliki dua bentuk (al-ma’sur dan ar-ra’yu), periode ini menggunakan metode tahlili dan muqarin walaupun dalam
bentuk yang masih sederhana.Sistematika penafsirannya sesuai dengan urutan ayat
dalam mushaf.Ruang lingkup tafsir periode ini mulai terfokus, seperti tafsir Al-Kasysyaf karya Imam Zamakhsyari yang
difokuskan dalam bidang bahasa dan pemikiran teologis, khususnya Muktazilah.
2.
Periode Ulama
Mutaakhkhirin (abad ke 9-12 H/13-19 M)
Zaman para ulama mufasir gelombang
ke-empat/ generasi ke-dua yang menuliskan tafsir terpisah dari hadis, yang muncul
pada zaman kemunduran Islam. Sumber tafsirnya banyak mengambil dari sumber
tafsir periode mutaqaddimin yang disesuaikan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan masa itu; Al-Qur’an, hadist Nabi saw, riwayat para sahabat, riwayat
para tabi’in, riwayat para tabi’ tabi’in, kaidah bahasa arab dan
segala cabangnya, ilmu pengetauan yang berkembang, kekuatan ijtihad, dan
pendapat para mufasir terdahulu. Bentuk tafsir pada periode ini adalah
perpaduan antara tafsir al-Ma’sur dan ar-Ra’yu (izdwaj). Metode yang digunakan
masih sama yaitu tahlili dan muqarin, sistematika nya memakai pola penafsiran
yang terdiri atasbeberapa uraian dan masing-masing terpisah dengan memberi
judul dan sub-judul, tetapi masih tetap diurutkan. Ruang lingkup penafsiran
sudah lebih mengacu kepada spesialisasi ilmu, seperti al-Jami’ li Ahkamil Qur’ankarangan Qurthubi dalam bidang fiqh.
3.
Periode Ulama
Modern (abad ke 16 H/19 M – sekarang)
Kitab-kitab tafsir zaman modern ini
aktif mengambil bagian mengikuti garis perjuangan dan jalan pikiran umat Islam
zaman ini.Sumber tafsirnya adalah perpaduan antara riwayah dan dirayah, begitu pula bentuk tafsirnya. Metode
penafsiran pun masih sama yaitu tahlili
dan muqarin, namun pada periode ini muncul pula metode baru yang disebut
metode maudlu’I (tematik), yaitu
menafsirkan ayat dengan topic atau tema yang dipilih. Sistematika tafsirnya
sebagian besar menggunakan sistematika yang telah disebutkan yaitu dari Al-Fatihah-An-Naas, kecuali yang
menggunakan metode tematik, diambil ayat-ayat yang bersangkutan saja.Ruang
lingkup penafsirannya lebih banyak diarahkan pada bidang adab (sastra, budaya)
dan bidang social kemasyarakatan, terutama politik, dan perjuangan.
D. Awal
Pembelajaran Al-Qur’an dan Tafsir di Indonesia
Sistem pendidikan Islam
pertama di Indonesia memperlihatkan bagaimana Al-Qur’an telah diperkenalkan
pada setiap muslim sejak kecil melalui kegiatan pengajian Al-Qur’an disurau,
langgar dan masjid. Mahmud Yunus mengklaim bahwa pendidikan Al-Qur’an, waktu
itu, adalah pendidikan Islam pertama yang diberikan kepada anak-anak didik,
sebelum diperkenalkan dengan praktik-praktik ibadah fiqih.[10]
Karel
A. Steebrink, lebih jauh menjelaskan bahwa
pengajaran Al-Qur’an merupakan pelajaran membaca beberapa bagian Al-Qur’an.
Untuk permulaan anak diajarkan Surah
Al-Fatihah dan kemudian Surah-Surah pendek dalam Juz 30. Dalam pengajian
ini, para murid mempelajari huruf-huruf arab dan menghafalkan teks-teks yang
ada dalam Al-Qur’an itu. Setelah menamatkan dalam pengajian Al-Qur’an para
murid kemudian melanjutkan ke pengajian kitab, yang mengkaji beberapa kitab
dari berbagai disiplin ilmu keislaman. Dalam pengjian kitab inilah, Al-Qur’an
diperkenalkan dengan lebih mendalam, melalui kajian kitab tafsir Al-Qur’an.[11]
Sejak pertama Islam
masuk ke Aceh tahun 1290M, pengajaran Islam mulai lahir dan tumbuh, pengajian
Al-Qur’an terjadi cukup meyakinkan. Merujuk kepada naskah-naskah yang ditulis
ulama Aceh, dapat dilihat bahwa abad
ke-16M telah muncul upaya penafsiran Al-Qur’an. Tidak hanya di Aceh, ini juga
terjadi di berbagai daerah lain, seperti di wilayah Sumatera lainnya para generasi muda Muslimnya yang bersekolah
di Madrasah Sumatra Thawalib mulai berkenalan dengan Tafsir Al-Manar, Tafsir
Jalalayn, dan Tafsir Baydlawi.[12]
Di Jawa, penyebaran
Islamyang dilakukan oleh Wali Songo juga terkait dengan upaya pengajaran
Al-Qur’an. Pengajaran Al-Qur’an semakin nyata pada abad-abad selanjutnya, ini
ditandai dengan bermunculan berbagai lembaga-lembaga pendidikan Islam di
berbagai daerah, seperti pesantren Tebuireng, pesantren Rejoso Jombang, Pondok
Modern Gontor, dan beberapa pesantren lain di jawa Timur. Di wilayah
JawaTengah, muncul beberapa madrasah, seperti Madrasah Aliyatus Saniyah
Mu’awanatul Muslimin Kanepan dan Madrasah Qudsiyah, Madrasah Tasywiqut Tullab
Balai Tengah School, dan Madrasah Ma’ahidud DiniyahAl-Islamiyah Al-Jawiyah.
Untuk wilayah Yogyakarta telah berdiri Pondok Pesantren Krapyak dan Madrasah
Mu’allimin Muhammadiyah. Di Universitas Cokroaminoto Surakarta, pengajaran
tentang kandungan al-Qur’an meujuk kepada Tafsir
Al-Qur’an Al-‘Azhim (Ibnu Katsir), Tafsir Al-Baydlawi dan Tafsir Al-Shawi,
sedangkan Madrasah Manba’ul Ulum merujuk pada Tafsir Jalalayn dan Baydlawi.Di wilayah Jawa Barat, berdiri
Madrasah Mu’allimin Majalengka, Pesantren Gunung Puyuh Sukabumi, Sekolah Guru
PUI, Pesantren Persis Bandung dan Madrasah Khairiyah Banten. Di Jakarta,
berdiri Madrasah Jami’at Kheir, Madrasah Al-Irsyad, Madrasah Dakwah Islamiyah,
dan Perguruan Tinggi Islam.[13]
Di
bagian timur Indonesia seperti di Sulawesi pun terdapat Madrasah Amiriah Bone,
dan Madrasah Tarbiyah Islamiyah.Di Nusa Tenggara ada Madrasah Nahdlatul Wathan.
Di Kalimantan berdiri Madrasah An-Najah wal Falah, Madrasah Perguruan Islam
As-Sulthaniyah dan Madrasah Al-Raudlatul Islamiyah, dan beberapa lembaga-lembaga
pendidikan Islam yang lain yang mengenalkan Al-Qur’an sampai mengkaji beberapa
kitab tafsir.[14]
Faktor-faktor yang
mempengaruhi perkembangan tafsir pemikiran (ar-ra’yu) di Indonesia, antara
lain:[15]
1. Kondisi
mufasir, yang dimaksud ialah latar belakang keahlian yang dimiliki oleh ulama
yang mengajarkan Islam kepada masyarakat setempat.
2. Kondisi
umat, mufasir harus mengikuti kondisi umat yang dia hadapi, baik dari segi
bahasa maupun lain-lain.
3.
Letak geografis,
salah satu faktor kendala yang membuat ajaran Al-Qur’an terlambat sampai ke
Negeri Indonesia, misalnya, adalah karena kepulauan Indonesia terletak amat
jauh dari tempat kelahiran Islam. Untuk mencapainya membutuhkan persiapan yang
lebih matang dan prima. Berdasarkan kodisi yang demikian, wajar jika tafsir tidak
berkembang di Indonesia karena memang dari semula tidak pernah diperkenalkan,
kecuali pada abad ke-19 sampai abad ke-20 setelah banyak pesantren yang berdiri
dibawah asuhan para kiai di Jawa ataupun di Sumatera.
Setelah Perguruan
Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) didirikan di Yogyakarta pada September 1951,
melalui aturan pemerintah No. 34 tahun 1950, kemudian disusul berdirinya
Institut Agama Islam Negeri pada 9 Mei 1960, melalu Peraturan Presiden Repubilk
Indonesia No. 11 Tahun 1960, kajian Al-Qur’an dilakukan umat Islam secara
formal dan semakin intens. Pada tahun 1980-an muncul Lembaga Pedidikan
Tilawatil Qur’an (LPTQ) dan Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) di Jakarta. Demikian
juga buku-buku yang menjadi bahahan acuan pengajaran dalam perkembangannya menjadi
sangat beragam.Dapat dilihat dari silabi untuk kurikulum nasional IAIN
se-Indonesia yang diterbitkan oleh Ditjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam
Departemen Agama RI Tahun 1995, kitab-kitab tafsir yang menjadi rujukan sebagai
bahan ajar tidak lagi terbatas pada tiga kitab tafsir :Jalalayn, Al-Baydhawi dan
Al-Manar, tetapi telah merambah pada
literatur tafsir secara luas. Karya tafsir yang bercorak fiqih, seperti: Tafsir Ayat Al-Ahkam karya ‘Ali Al-Says, Rawa’I Al-Bayan Tafsir Ayat
Al-Ahkam, karya Muhammad ‘Ali
Al-Shabuni, Ahkam Al-Qur’an karya
Al-Jashshash, Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an karya Al-Qurthubi, dan Ahkam
Al-Qur’an karya Ibn Al-‘Arabi.[16]
Tampak juga keragaman
dari segi aliran teologi penafsirnya, seperti: Tafsir Al-Kasysyaf karyaal-Zamakhsyari yang cenderung
Muktazilian dan Al-Mizan fi Tafsir
Al-Qur’an karya Al-Thabathaba’i yang Syi’i.[17]
Beberapa tafsir karya
anak negeri, seperti: Tafsir Al-Azhar
karya Hamka, Tafsir Al-Fatihah dan Tafsir Al-Amanah karya M. Quraish
Shibab, Al-Qur’an dan Tafsirnya karya
Tim Departemen Agama RI, dan Tafsir
An-Nur karya T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy.[18]Selain
itu, ada satu karya tafsir kontemporer yang menjadi rujukan, yaitu Tema Pokok Al-Qur’an yang ditulis Fazlur
Rahman, intelektual muslim asal Pakistan yang besar di Cicago. Buku ini pun
menjadi rujukan dalam kajian tafsir di Indonesia.[19]
E. Sebab-sebab
Kekeliruan Penafsiran dalam Al-Qur’an
Bagi seseorang yang
ingin menafsirkan dengan tafsir bi ra’yi, hendaknya memiliki tiga syarat utama di
bidang-bidang berikut:
a. Berpegang
kepada hadis yang dinukil dari Rasulullaj atau sahabat dalam penafsirannya.
b. Menguasai
ilmu bahasa arab.
c.
Memahami
hokum-hukum Islam
Berbagai faktor dapat
menimbulkan keragaman/kekeliruan penafsiran Al-Qur’an yaitu; kecenderungan,
interest dan motivasi mufassir;
perbedaan misi yang diemban; perbedaan kedalaman dan ragam ilmu yang dikuasai;
perbedaan masa dan lingkungan yang mengitari; perbedaan kondisi yang dihadapi
dan sebagainya, menimbulkan berbagai corak, lengkap degan metodenya
sendiri-sendiri.[20]
Kekeliruan ini seperti
misalnya dalam karya Mahmud Mustafa, Muhawalah
li fahm ‘Asr, yang menafsirkan Ya’juj dan Ma’juj.[21]
Tafsir
sebagai usaha memahami dan menerangkan maksud dan kandungan ayat-ayat suci
Al-Qur’an, telah mengalami perkembangan yang cukup bervariasi.Sebagai hasil
karya manusia, terjadinya keaneka-ragaman dalam corak penafsiran adalah hal
yang tak terhindarkan.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ilmu tafsir adalah ilmu
yang membahas/mengkaji Al-Qur’an dari segi makna sesuai kemampuan
manusia.Penafsiran Al-Qur’an telah dimulai sejak Al-Qur’an itu disampaikan Nabi
Muhammad saw kepada umatnya.
Metode, corak dan bentuk
penafsiran Al-Qur’an oleh Ulama Mutaqaddimin, Mutaakhkhirin dan Modern, adalah:
-
Periode Ulama
Mutaqaddimin (abad ke 3-8 H/9-13 M)
Tafsir pada periode ini
memiliki dua bentuk (al-ma’sur dan
ar-ra’yu), periode ini menggunakan metode tahlili dan muqarin walaupun dalam bentuk yang masih
sederhana.Sistematika penafsirannya sesuai dengan urutan ayat dalam
mushaf.Corak/ruang lingkup tafsir periode ini mulai terfokus, seperti tafsir Al-Kasysyaf karya Imam Zamakhsyari yang
difokuskan dalam bidang bahasa dan pemikiran teologis, khususnya Muktazilah.
-
Periode Ulama
Mutaakhkhirin (abad ke 9-12 H/13-19 M)
Bentuk tafsir pada
periode ini adalah perpaduan antara tafsir al-Ma’sur dan ar-Ra’yu (izdwaj).
Metode yang digunakan masih sama yaitu tahlili
dan muqarin, sistematika nya memakai pola penafsiran yang terdiri
atasbeberapa uraian dan masing-masing terpisah dengan memberi judul dan
sub-judul, tetapi masih tetap diurutkan. Corak/ruang lingkup penafsiran sudah
lebih mengacu kepada spesialisasi ilmu, seperti al-Jami’ li Ahkamil Qur’ankarangan Qurthubi dalam bidang fiqh.
-
Periode Ulama
Modern (abad ke 16 H/19 M – sekarang)
Sumber tafsirnya adalah
perpaduan antara riwayah dan dirayah,
begitu pula bentuk tafsirnya. Metode penafsiran pun masih sama yaitu tahlili dan muqarin, namun pada periode
ini muncul pula metode baru yang disebut metode maudlu’I (tematik), yaitu menafsirkan ayat dengan topic atau tema
yang dipilih. Sistematika tafsirnya sebagian besar menggunakan sistematika yang
telah disebutkan yaitu dari Al-Fatihah-An-Naas,
kecuali yang menggunakan metode tematik, diambil ayat-ayat yang bersangkutan
saja.Ruang lingkup penafsirannya lebih banyak diarahkan pada bidang adab
(sastra, budaya) dan bidang social kemasyarakatan, terutama politik, dan
perjuangan.
Faktor dapat menimbulkan
keragaman/kekeliruan penafsiran Al-Qur’an yaitu; kecenderungan, interest dan
motivasi mufassir; perbedaan misi
yang diemban; perbedaan kedalaman dan ragam ilmu yang dikuasai; perbedaan masa
dan lingkungan yang mengitari; perbedaan kondisi yang dihadapi dan sebagainya,
menimbulkan berbagai corak, lengkap degan metodenya sendiri-sendiri.[22]Kekeliruan
ini seperti misalnya dalam karya Mahmud Mustafa, Muhawalah li fahm ‘Asr, yang menafsirkan Ya’juj dan Ma’juj.
B.
Saran
Berdasarkan makalah di atas, adapun saran
yang dapat saya kemukakan antara lain:
Kajian tafsir Al-Qur’an agar lebih dinamis sesuai dengan
perkembangan zaman, sehingga ketika umat Islam mempelajarinya terlebih bagi
orang awwam mendatangkan pengaruh dan
bekas dalam dirinya bahwa Islam itu Rahmatan
lil ‘alamin.
[1]Nasaiy Aziz, Penafsiran Al-Qur’an Kontemporer, (Banda Aceh: Ar-Raniry
Press-NASA, 2012), hal. 2-4.
[2]Muhammad Abdul Azim al-Zarqani, Manahil al-‘Irfan Fi ‘Ulum Al-Qur’an, (Kairo
Dar Ihya’ al-Kutub al-Arabiah, t.t.), hal. 471.
[3]Jalaluddin al-Suyuti, Al-Itqan Fi ‘Ulum Al-Qur’an, (Kairo:
Matba’ah al-Mashhad al-Husayn, t.t.), hal. 169.
[4]Badr al-Din al-Zarkashi, Al-Burhan Fi ‘Ulum Al-Qur’an, (Kairo:
Matba’ah Isa al-Babi al-Halabi, t.t.), hal. 148.
[5]Nashruddin Baidan, Perkembangan Tafsir Al-Qur’an di Indonesia, (Solo:
Tiga Serangkai, 2003), hal. 5-6.
[6]Nasaiy Aziz, Penafsiran Al-Qur’an Kontemporer, (Banda Aceh: Ar-Raniry
Press-NASA, 2012), hal. 257-258.
[7]Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermaneutika
hingga Ideologi, (Jakarta: TERAJU, 2003), hal. 113-115.
[8]Nashruddin Baidan, Perkembangan Tafsir Al-Qur’an…, hal.
90-92.
[9]Nashruddin Baidan, Perkembangan Tafsir Al-Qur’an…, hal.
13-22.
[10]Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermaneutika
hingga Ideologi, (Jakarta: TERAJU, 2003), hal. 42.
[11]Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia …, hal. 42-43.
[12]Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia …, hal. 43.
[13]Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia …, hal. 44-46.
[14]Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia …, hal. 47.
[15]Nashruddin Baidan, Perkembangan Tafsir Al-Qur’an…, hal.
45-48.
[16]Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia …, hal. 48.
[17]Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia …, hal. 48
[18]Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia …, hal. 49.
[19]Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia …, hal. 49.
[20]Nasaiy Aziz, Penafsiran Al-Qur’an…, hal. 257.
[21]Jawiah Dakir, Kewibawaan Al-Tafsir dan Al-Hadis, (Malaysia,
UKM, 1998), hal.18-25.
[22]Nasaiy Aziz, Penafsiran Al-Qur’an…, hal. 257.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar