BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Islam merupakan sebuah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan
kepada masyarakat manusia melalui Nabi Muhammad SAW. sebagai Rasul.[1]
Wahyu Tuhan itu berupa kalam Allah (perkataan Allah) yang diturunkan kepada
Muhammad melalui perantaraan Jibril as. yang tertulis dalam lembaran-lembaran
yang disampaikan kepada kita secara mutawatir. Semua ayat yang
terkandung di dalam Al-Qur’an berisi ajaran-ajaran yang memberi petunjuk kepada
umat manusia untuk menempuh jalan kebenaran. Semua ayat-ayat itu bisa sampai
kepada kita melalui perantaraan Muhammad sebagai Rasul yang diutus Allah untuk
menerangkan ayat-ayatNya. Al-Qur’an sebagai kalam Allah menjadi sumber ajaran
pertama dan utama dalam ajaran Islam.
Sementara itu Nabi Muhammad saw. sebagai Rasul yang diutus untuk
menerangkan al-Quran, semua yang disandarkan kepada beliau baik perkataan,
perbuatan maupun ketetapannya disebut Hadits/Sunnah. Sebagai mana definisi Al-Hadits/Al-Sunnah
yang ditulis DR. Sulaiman Abdullah dalam buku Sumber Hukum Islam, yaitu
semua perkataan, perbuatan dan pengakuan Rasulullah yang berposisi sebagai
petunjuk dan tasyri’.[2] Maka
menurut kedudukannya, Hadits/Sunnah dijadikan sebagai sumber kedua ajaran Islam
setelah Al-Qur’an. Hal ini sebagaimana yang telah disepakati oleh para ulama.
Hadits memiliki posisi yang penting baik sebagai sumber hukum Islam
kedua maupun terhadap al-Qur’an sebagai sumber pertama dan utama. Keduanya
memiliki posisi dan fungsi masing-masing yang akan dijelaskan secara lebih
terperinci dalam makalah ini.
B.
Rumusan Masalah
Antara al-Qur’an dan al-Hadits yang sama-sama memiliki fungsi dan
kedudukan sebagai sumber ajaran Islam tentunya memiliki hubungan keterkaitan
antara satu dan lainnya. Terkait dengan hubungan Hadits dengan Al-Quran maka di
dalam makalah ini ada tiga rumusan masalah yang akan dibahas oleh penyusun,
yaitu;
1.
Bagaimana fungsi hadits/sunnah terhadap al-Qur’an?
2.
Mana yang lebih membutuhkan apakah al-Qur’an lebih membutuhkan
hadits/sunnah atau sebaliknya?
3.
Jenis-jenis Hadits/Sunnah Qauliyah, Fi’liyah dan
seterusnya?
C.
Tujuan Penulisan Makalah
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka makalah ini disusun dengan
tujuan sebagai berikut:
1.
Mengetahui dan membahas lebih dalam mengenai fungsi Hadits/Sunnah
terhadap al-Quran
2.
Mengetahui mana yang lebih membutuhkan apakah al-Quran lebih
membutuhkan Hadits/Sunnah atau sebaliknya
3.
Mengetahui jenis-jenis Hadits/Sunnah Qauliyah, Fi’liyah
dan seterusnya.
D.
Metode Penulisan
Makalah ini disusun dengan mengumpulkan dan menelaah beberapa buku
atau literatur kepustakaan yang berkaitan dengan judul makalah ini.
E.
Tehnik Penulisan
Makalah ini disusun dengan berpedoman pada buku Panduan Penulisan
Thesis dan Disertasi yang diterbitkan oleh Program Pasca Sarjana Universitas
Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh tahun 2013.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Fungsi Hadits/Sunnah terhadap Al-Quran
Allah swt menurunkan al-Quran bagi umat manusia untuk dapat
dipahami dan diamalkan, maka untuk memahaminya diutuslah Muhammad sebagai rasul
yang menjelaskan kandungannya dan mencontohkan cara-cara melaksanakan ajarannya
kepada mereka melalui hadits-hadits. Hal ini senada dengan al-Quran surat
an-Nahl ayat 44;
وَأَنْزَلْنَا
إلَيْكَ الذِّكرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَانُزِّلَ إلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ
يَتَفَكَّرُوْنَ. )النحل:
44 (
“Dan kami turunkan kepadamu al-Quran, agar kamu menerangkan kepada
umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka
memikirkan.”(QS. an-Nahl :
44)
Mengkaji fungsi Hadits/Sunnah terhadap al-Quran tidak terlepas dari
pemahaman dan keyakinan kita terhadap kedudukan hadits/sunnah itu sendiri.
Jumhur ulama sepakat bahwa Hadits/Sunnah menempati urutan kedua setelah
al-Quran.[3] Kesepakatan itu tentunya merujuk kepada
sumber utama yaitu al-Quran. Banyak
ayat-ayat al-Quran yang dijadikan landasan untuk menetapkan kedudukan Hadits
sebagai sumber ajaran Islam, beberapa diantaranya yaitu; QS. Al-Nahl ayat 44
sebagaimana telah disebutkan di atas, QS.al-Nisa ayat 59, QS.al-Nisa ayat 80
dan QS. Ali Imran ayat 164.
Fungsi utama Hadits/Sunnah adalah penjelasan terhadap ayat-ayat alquran yang
memerlukannya. Setelah mengutip dari beberapa rujukan buku Ulumul Hadits
penyusun merangkumkan beberapa bentuk penjelasan tersebut yaitu: bayan
al-ta’kid, bayan al-tafsir, bayan al-takhshis, bayan al-ta’yin, bayan
al-tasyri’ dan bayan nasakh yang masih diperselisihkan oleh para ulama.[4] Berikut
ini akan dijabarkan masing-masing bayan tersebut.
1.
Bayan al-Ta’kid
Secara bahasa bayan berarti statement (pernyataan), tipe
(syle) dan penjelasan. Sedangkan ta’kid berarti penetapan atau
penegasan.[5] Maksud
dari Hadits/Sunnah sebagai bayan al-ta’kid adalah Hadits /Sunnah
berfungsi menetapkan atau menegaskan hukum yang terdapat di dalam al-Quran. [6] Hal
ini menunjukkan bahwa masalah-masalah yang terdapat dalam al-Quran dan
Hadits/Sunnah sangat penting untuk diimani dan dijalankan oleh setiap muslim.
Di antara masalah-masalah yang ada dalam al-Quran dan disampaikan
pula oleh Rasulullah di dalam Hadits/Sunnah ialah tentang ketentuan awal puasa
Ramadhan, di antaranya terdapat dalam al-Quran surat al-Baqarah ayat 185;
فَمَنْ
شَهِدَ مِنْكُمْ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ .(البقرة:
185)
“Barang siapa yang menyaksikan bulan maka
berpuasalah.”(QS.Al-Baqarah: 185).
Hal
ini ditegaskan dalam Hadits:
إذَا
رَأيتُمُوهُ فَصُومُوا وَإذَا رَأيتُمُوهُ فَأفْطِرُوا فَإنْ أُعْمِيَ عَلَيْكُمْ
فَعُدُّوْا ثَلَاثِيْنَ. (رواه مسلم)
“Jika kalian melihatnya (bulan) maka
berpuasalah, dan jika kalian melihatnya (bulan) maka berbukalah
(hari Raya Fitri), namun jika bulan tertutup mendung yang menyulitkan kalian
untuk melihatnya, maka sempurnakanlah sampai 30 hari.”(HR. Muslim)
2.
Bayan al-Tafsir
Tafsir secara bahasa
berarti penjelasan, interpretasi atau keterangan.[7] Maksud dari Hadits/Sunnah sebagai bayan
al-tafsir adalah Hadits/Sunnah berfungsi sebagai penjelasan atau
interpretasi kepada ayat-ayat yang tidak mudah dipahami.[8] Hal
ini dikarenakan ayat-ayat tersebut bersifat mujmal (umum) sehingga perlu
penjelasan yang bisa menjelaskannya lebih terperinci. Sebagai contoh ayat
al-Quran kewajiban shalat dalam surat al-Baqarah ayat 43;
وَأَقِيْمُوا
الصَّلَاةَ وَاتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوْا مَعَ الرَّاكِعِيْنَ. (البقرة:43)
“Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan
ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’.”(QS.Al-Baqarah: 43)
Hal ini
dirincikan tata cara pelaksanannya dalam Hadits berikut;
صَلُّوْا
كَمَا رَأَيْتُمُوْنِي أُصَلِّي. (رواه البخاري)
“Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku
shalat.” (HR.al-Bukhari)
Dalam ayat diatas hanya ada perintah melaksanakan shalat, namun
tidak dijelaskan secara rinci bagaimana cara melaksanakan shalat. Sehingga
datanglah Hadits yang menjelaskan bahwa cara melaksanan shalat adalah
sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah.
3.
Bayan al-Takhshish al-‘Amm
Takhshis berarti pengkhususan, pembatasan atau spesifikasi.[9]
Dalam hal ini Hadits/Sunnah berfungsi mengkhususkan keumuman makna yang sebutkan
al-Quran. Prof. Ramli Abdul Wahid dalam buku Studi Ilmu Hadits
menyatakan bahwa maksud takhshish disini adalah sebagai keterangan yang
mengeluarkan atau mengecualikan suatu masalah dari makna umum ayat.[10]
Contohnya ayat al-Quran tentang hukum warisan, yaitu;
يُوْصِيْكُمُ اللهُ فِي أَوْلَادِكُمْ
لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِ. (النساء:11)
“Allah telah mewasiatkan kepadamu tentang
bagian anak-anakmu, yakni laki-laki sama dengan dua orang anak perempuan”. (QS.an-Nisa:11)
Ayat
tersebut bersifat umum bahwa semua anak mewarisi harta orang tuannya.
Selanjutnya datang hadits yang mengecualikan anak atau seseorang yang
tidak bisa mewarisi, yaitu:
لَا
يَرِثُ الْمُسْلِمُ الكَافِرُ وَلَاالْكَافِرُ الْمُسْلِمُ. (رواه الجماعة)
“Seorang muslim tidak boleh mewarisi harta si
kafir dan si kafir pun tidak boleh mewarisi harta si muslim”. (HR.Jama’ah)
Berdasarkan ayat di atas diketahui bahwa semua anak baik laki-laki
maupun perempuan berhak mewarisi harta orang tuanya. Selanjutnya datang Hadits
yang mengecualikan bahwa jika anak itu kafir atau berbeda keyakinan dengan
orang tuanya maka ia tidak bisa mewarisi harta orang tuanya, demikian juga
sebaliknya.
4. Bayan al-Ta’yin
Ta’yin berarti penentu atau pembatasan.[11]
Yang dimaksud dengan bayan ta’yin adalah bahwa Hadits/Sunnah berfungsi
menentukan mana yang dimaksud di antara dua atau tiga perkara yang mungkin
dimaksud oleh al-Quran.[12]
Dalam al-Quran ada banyak ayat yang terkadang bisa memiliki beberapa
kemungkinan makna. Sehingga memungkinkan para penafsir untuk mengartikannya
dalam beberapa makna yang berbeda, contohnya lafadz quru’ dalam ayat
yang membahas tentang masa iddah wanita yang dicerai.
وَالْمُطَلَّقتُ
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ... )البقرة: 228(
“Wanita-wanita yang ditalak
hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’ ”. (QS. Al-Baqarah: 228)
Quru’ disini bisa berarti haidh dan bisa juga berarti suci.
Namun quru’ yang dimaksudkan ayat tersebut adalah masa haidh.
Adapun Hadits yang mendukung masalah tersebut yaitu;
عَنْ
ابْنِ رَضِيَ الله عَنْهُمَا )إنَّهُ طَلَّقَ إمْرَأَتَهُ -هِيَ
حَائِضٌ -فِي عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صلي
الله عَلَيْهِ وسلم( سَئَلَ عُمَرُ رَسُوْلِ اللهِ صلي الله عَلَيْهِ وسلم عَنْ
ذَلِكَ؟ قال : مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا, ثُمَّ ليُمْسِكْهَا حَتَّي تَطْهُرَ,
ثُمَّ حَائِض, ثُمَّ تَطْهُرَ, ثُمَّ إنْ شَاءَ امْسَكَ بَعْدُ, وَ إنْ شَاءَ
طَلَّقَ بَعْدُ أنْ يَمَسَّ, فَتِلْكَ الْعِدَّةُ الَّتِي أَمَرَ الله أنْ
تَطَلَّقَ نِسَاء. )متفق عليه(
“Dari Ibnu Umar bahwa ia menceraikan
istrinya ketika sedang haidh pada zaman Rasulullah SAW lalu Umar menanyakan hal
itu kepada Rasulullah SAW dan beliau bersabda: “Perintahkan agar ia kembali
padanya, kemudian menahannya hingga masa suci, lalu masa haid dan masa suci
lagi. Setelah itu bila ia menghendaki, ia boleh menahannya terus menjadi
isterinya atau menceraikannya. Itu adalah masa iddah yang diperintahkan Allah
untuk menceraikan istri.”
Berdasarkan penjelasan Hadits di atas dapatlah diketahui bahwa
maksud kata quru’ dalam QS. al-Baqarah: 228 adalah masa haidh bukan
masa suci, karena masa iddah wanita yang dijelaskan dalam Hadits tersebut dihitung dari
berapakali masa haidh wanita itu datang.
5.
Bayan al-Tasyri’
Hadits/Sunnah sebagai bayan tasyri’ berarti sunnah dijadikan
sebagai dasar penetapan hukum yang belum ada ketetapannya secara eksplisit di
dalam al-Quran.[13]
Hal ini tidak berarti bahwa hukum dalam al-quran belum lengkap, melainkan
al-Quran telah menunjukkan secara garis besar segala masalah keagamaan. Namun
hadirnya Hadits/Sunnah untuk menetapkan hukum yang lebih eksplisit sesuai
dengan perintah yang ada dalam al-Quran surat an-Nahl ayat 44. Salah satu
contoh di antaranya tentang haramnya memadukan antara seorang perempuan dengan
bibinya. Sementara al-Quran hanya menyatakan tentang kebolehan berpoligami, yaitu;
...فَانْكِحُوْا مَاطَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَي
وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ... )النساء:3(
“...Maka kawinilah wanita-wanita
(lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat...”. (QS.al-Nisa’: 3)
Hadits berikut ini menetapkan haramnya berpoligami bagi seseorang
terhadap seorang wanita dengan bibinya.
لَا
يَجْمَعُ بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَ عَمَّتِها وَلَا بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَ
خَالَتِهَا. )متفق عليه(
“Tidak boleh seseorang mengumpulkan
(memadu) seorang wanita dengan bibinya (saudari bapaknya) dan seorang wanita
dengan bibinya (saudari ibunya).” (HR. Bukhari Muslim).[14]
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Hadits di atas menetapkan hukum
syari’at yang melarang berpoligami dengan bibi dari wanita yang telah dinikahi.
6.
Bayan Nasakh
Nasakh berarti penghapusan atau pembatalan.[15] Maksudnya
adalah mengganti suatu hukum atau menghapuskannya. Hadits/Sunnah juga berfungsi
menjelaskan mana ayat yang menasakh (menghapus) dan mana ayat yang dimansukh
(dihapus).
Contohnya QS. al-Baqarah: 180
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إذَا
حَضَرَ أحَدَكُمُ الْمَوْةُ اَنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةَ لِلْوَالِدَيْنِ وَ
الْأَقْرَبِيْنَ بِالْمَعْرُوْفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِيْنَ.
“Diwajibkan atas kamu, apabila maut hendak
menjemput seseorang di antara kamu, jika dia meninggalkan harta, berwasiat
untuk kedua orang tua dan karib kerabat dengan cara yang baik, (sebagai)
kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.”
Ayat di atas menjelaskan tentang berlakunya wasiat terhadap ahli
waris. Namun selanjutnya datang Hadits yang memansukhkan hukum tersebut, yaitu;
...لَا
وَصِيَّةَ لِلْوَارِثِيْنَ...
“...Tidak ada wasiat bagi ahli waris...”
Para ulama berbeda pendapat tentang bayan nasakh ini.
Sebahagian diantara mereka ada yang membenarkannya dengan alasan bahwa hal itu
pernah terjadi. Mereka juga sepakat bahwa Hadits/Sunnah yang menjelaskan nasakh
salah satu hukum dalam al-Quran itu haruslah mutawatir. Bahkan Ibn Hazmin
berpendapat bahwa Hadits Ahad pun boleh menasakh al-Quran. Ini sejalan dengan
pendiriannya bahwa setiap Hadits adalah qath’y.[16]
Salah seorang ulama yang menolak adanya bayan nasakh ini
adalah Imam Syafi’i. Beliau berpendapat bahwa al-Quran hanya boleh dinasakh dengan
al-Quran. Tidak ada nasakh Hadits terhadap al-Quran karena Allah mewajibkan
kepada Nabi-Nya agar mengikuti apa yang diwahyukan kepadanya, dan bukan
mengganti menurut kehendak sendiri.[17]
Meskipun terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang
keberadaan nasakh Hadits terhadap al-Qur’an, namun tidak dapat
dipungkiri bahwa memang ada salah satu syari’at dalam al-Qur’an yang
dimansukhkan oleh Hadits, salah satunya adalah Hadits yang menghapus hukum
wasiat bagi ahli waris sebagaimana yang telah disebutkan di atas.
B.
Al-Quran Lebih Membutuhkan Hadits/Sunnah
Untuk menjawab pertanyaan mana yang lebih membutuhkan apakah al-Qur’an
lebih membutuhkan Hadits/Sunnah ataukah Hadits/Sunnah lebih membutuhkan
al-Qur’an, kita harus merujuk kembali kepada al-Qur’an surat an-Nahl ayat 44,
yaitu;
وَأَنْزَلْنَا
إلَيْكَ الذِّكرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَانُزِّلَ إلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ
يَتَفَكَّرُوْنَ. )النحل:
44 (
“Dan kami turunkan kepadamu
al-Quran, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan
kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.”(QS. an-Nahl : 44)
Dalam ayat tersebut Allah SWT telah mengutus Rasulullah saw untuk
menjelaskan isi al-Qur’an. Penjelasan itu disampaikan Rasulullah kepada umatnya
melalui Hadits/Sunnah. Karena al-Quran adalah kalam Allah bersifat global,
muthlak dan umum. Maka Allah mengutus rasul untuk membacakan dan menerangkan
ayat-ayatNya kepada umat manusia agar mereka bisa mengerti dan mengikuti Rasulullah
sebagai tauladan. Allah juga memerintahkan kepada orang-orang yang beriman
kepadanya untuk patuh pada perintah RasulNya.
Terlepas dari berbagai alasan atau dalil yang menunjukkan bahwa
kedudukan Hadits/Sunnah menempati posisi kedua setelah al-Quran dalam tertib
sumber hukum Islam, yang jelas di dalam al-Quran banyak ayat yang tidak dapat
dijelaskan jika tidak ada penjelasan yang dapat mengungkapkan makna yang
dimaksud oleh ayat tersebut. Dan yang bisa menjelaskan itu adalah Rasul.[18]
Pandangan klasik (ulama terdahulu) mengenai hubungan antara
al-Quran dan Sunnah secara ringkas dinyatakan dalam peribahasa, “Kebutuhan
al-Quran terhadap Sunnah lebih besar daripada Sunnah terhadap al-Quran.”
Menurut mereka al-Quran tidak dapat berdiri sendiri. Tanpa Sunnah yang bisa
menjamin maknanya, yang memperjelas maksudnya, dan yang melengkapi
perintah-perintahnya, kitab ini tidak bisa dipahami.[19] Dengan
demikian jelaslah bahwa al-Quran lebih membutuhkan Hadits/Sunnah daripada
sebaliknya.
Meskipun demikian beberapa ulama juga berpendapat bahwa antara
al-Quran dan Sunnah adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan, dan keduanya
juga saling membutuhkan. Sebagaimana yang ditulis Nuraini M.Ag dalam buku
Otentitas Sunnah, bahwa sebagian ulama mengatakan bahwa pada dasarnya Nabi
tidak pernah menetapkan Sunnah tanpa sandaran al-Qur’an. Dalam buku tersebut
juga tertulis pendapat al-Syafi’i yang menyatakan bahwa Sunnah Nabi baik yang
berfungsi menjelaskan makna perintah Allah atau yang berfungsi legislasi tanpa
nash al-Qur’an, keduanya sama-sama mengikat dalam segala keadaan.[20]
Oleh karena itu, antara al-Qur’an dan Sunnah memiliki hubungan yang saling membutuhkan
dan saling mengikat antara satu dengan lainnya sebagai sumber hukum pertama dan
kedua dalam Islam.
C.
Jenis-jenis Hadits/Sunnah
Berdasarkan bentuknya Hadits/Sunnah dibagi kepada Hadits Qauliyah,
Hadits Fi’liyah dan Hadits Taqririyah. Sebagian ulama menyebutkan Hadits Ahwali
dan Hadits Hammi sebagai bagian dari bentuk Hadits. Berikut ini akan
dijelaskan bentuk-bentuk Hadits/Sunnah tersebut.
1.
Hadits/Sunnah Qauliyah
Hadits/Sunnah Qauliyah adalah perkataan atau ucapan-ucapan
Rasul yang pernah beliau utarakan dalam berbagai kesempatan semasa ia masih
hidup.[21]
Hadits/Sunnah ini diucapkan langsung oleh Rasulullah dan didengar oleh para
sahabat. Contohnya;
عَنْ
ابْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ الله عَنْهُ قَالَ : قَالَ النَّبِيُ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْجَنَّةُ أَقْرَبُ إلَى أَحَدِكُمْ مِنْ شَرَاكِ نَعْلِهِ,
وَالنَّارُ مِثْلُ ذَلِكَ. )رواه البخاري(
Dari
Ibnu Mas ’ud ra., ia berkata: bahwa Nabi saw.
Bersabda: “Surga itu lebih dekat kepada salah seorang di antara kalian dari sandal yang dipakainya, begitu
juga neraka.”(HR. Bukhari)[22]
2.
Hadits/Sunnah Fi’liyah
Hadits/Sunnah
Fi’liyah adalah perbuatan atau tindakan Rasul yang merupakan penjelasan
praktis ajaran agama, seperti tata cara salat, wuduk dan haji.[23]
Contohnya;
عَنْ
أَوْسِ ابْنِ أَوْسِ الثَّقَفِى رَضِيَ الله عَنْهُ قَالَ: رَأَيْتُ رَسُوْلُ الله
صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ فَاسْتَوْكَفَ ثَلَاثًا أَيْ غَسَلَ
كَفَّيْهِ.
Dari
Aus Al-Tsaqafy ra., berkata: “Saya melihat Rasulullah saw. Berwudhu, beliau
mulai dengan membasuh telapak tangannya tiga kali.”(HR. Ahmad dan An-Nasai,
Al-Muntaqa 1: 85).[24]
3.
Hadits/Sunnah Taqririyah
Hadits/Sunnah
Taqririyah adalah pengakuan atau persetujuan Rasul atas perbuatan atau
perkataan sahabat yang diketahuinya.[25]
Dalam hal ini rasul tidak melarang ataupun berkomentar ketika melihat atau
mendengar perkataan maupun perbuatan sahabat-sahabatnya. Contohnya sikap
rasulullah membiarkan para sahabat dalam memberi penafsiran sabdanya tentang
shalat pada waktu peperangan, yaitu;
لَا يُصَلِّيَنَّ أَحَدُ الْعَصْرَ
إلَّا فى بَنِي قُرَيْضَة. (رواه البخاري)
Ada dua golongan sahabat yang berbeda memahami perintah tersebut.
Golongan yang pertama memahaminya dengan perlunya bersegera menuju bani
Quraidhah dan serius dalam peperangan dan perjalanan, sehingga mereka bisa
shalat tepat pada waktunya. Sedangkan golongan yang lain memahami sebagaimana
hakikat perintah tersebut, maka mereka terlambat dalam melaksanakan shalat
Ashar. Melihat sikap kedua golongan sahabat ini
Rasulullah membiarkannya tanpa menyalahkan ataupun mengingkarinya.[27]
Contoh lainnya adalah diriwayatkan bahwa Khalid Ibnu al-Walid
pernah makan dhabb (sejenis biawak) yang dihidangkan dalam suatu jamuan bersama
Rasul. Tetapi Rasul sendiri tidak memakannya dan tidak mencegah sahabat
tersebut untuk memakannya. Diamnya Rasul melihat hal tersebut sebagai bukti
persetujuannya.[28]
Maka Hadits/Sunnah Taqririyah ini bisa menjadi dasar hukum kebolehan
sesuatu yang tidak dilarang untuk melakukannya.
4.
Hadits/Sunnah Ahwali
Hadits/Sunnah Ahwali adalah Hadits/Sunnah yang menerangkan
tentang keadaan fisik dan sifat-sifat kepribadian Rasulullah saw.[29]
Contohnya;
كَانَ
رَسُوْلُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحسَنَ النَّاسِ وَجْهًا وَ أَحسَنَهُ
خَلْقًا لَيْسَ بِالطَّوِيْلِ الْبَائِنِ وَلَا بِالْقَصِيْرِ.[30]
“Rasulullah
saw. Adalah sebaik-baik wajah dan bentuk manusia, tidak tinggi dan tidak
pendek.”
5.
Hadits/Sunnah Hammi
Hadits/Sunnah Hammi adalah Hadits/Sunnah yang berupa hasrat Nabi saw. yang belum terealisasikan.[31] Contohnya
keinginan Rasulullah melaksanakan puasa pada tanggal 9 ‘Asyura. Sebagai mana
tergambar dalam riwayat Ibn Abbas berikut;
حِيْنَ صَامَ رَسُوْلُ الله صَلَّى
الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ وَأمَرَ بِصِيَامِهِ, قَالُوا يَا
رَسُوْلُ الله إنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ اليَهُوْدُ وَالنَّصَارَى فَقَالَ فَإذَا
كَانَ الَامُ الْمُقْبِلُ إنْشَاءَ الله صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ. (رواه
مسلم)
“Ketika
Rasulullah saw. berpuasa pada hari ‘Asyura dan memerintahkan para sahabat untuk
berpuasa, mereka berkata: Ya Rasulullah ini adalah hari yang diagungkan oleh
orang-orang Yahudi dan Nashrani. Rasulullah bersabda: tahun yang akan
datang insya Allah aku akan berpuasa
pada hari yang kesembilan.”(HR. Muslim)
Menurut Imam Syafi’i mengamalkan Hadits Hammi adalah sunnah
sebagaimana mengamalkan sunnah-sunnah yang lain.[32]
Terkait dengan Hadits/Sunnah Ahwali dan Hammi ada
sebagian ulama Hadits tidak menganggap kedua bentuk Hadits/Sunnah ini berdiri
sendiri. Menurut mereka Hadits/Sunnah Ahwali masuk ke dalam katagori
Hadits/Sunnah Qauli dan Hadits/Sunnah Hammi masuk ke dalam
katagori Hadits/Sunnah Fi’li. Namun di dalam makalah ini penyusun
memisahkan pengertian bentuk-bentuk Hadits/Sunnah ini agar kita bisa membedakan
maknanya secara lebih jelas.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Al-Quran dan Hadits/Sunnah merupakan dua sumber utama ajaran Islam
yang memiliki hubungan yang tidak mungkin terpisahkan antara keduanya. Hal ini
ditunjukkan oleh beberapa fungsi yang diperankan oleh Hadits/Sunnah terhadap
al-Quran, di antaranya: bayan al-ta’kid (menegaskan), bayan al-tafsir
(menjelaskan), bayan al-takhshis (mengkhususkan), bayan al-ta’yin
(menentukan), bayan al-tasyri’ (menetapkan syari’at) dan bayan
nasakh (menghapus/mengganti).
Berdasarkan semua fungsi-fungsi Hadits/Sunnah tersebut menunjukkan
bahwa al-Quran lebih membutuhkan Hadits/Sunnah dari pada sebaliknya.
Ditinjau dari bentuknya, Hadits/Sunnah dapat dibedakan menjadi lima
bentuk, yaitu: Hadits/Sunnah Qauliyyah, Hadits/Sunnah Fi’liyyah, Hadits/Sunnah Taqririyyah,
Hadits/Sunnah Ahwali dan Hadits/Sunnah Hammi.
B.
Saran
Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan,
oleh karenanya makalah ini masih perlu perbaikan dan penyempurnaan melalui
kritikan dan masukan bermanfaat dari para pembaca sekalian. Semoga makalah yang
sederhana ini dapat memberi manfaat bagi kita semua. Amin.
[2] Sulaiman
Abdullah, Sumber Hukum Islam, Cet.II, (Permasalahan dan
Fleksibilitasnya, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hal. 20
[3] Abuddin Nata, Al-Quran
dan Hadits, Cet.VII
(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2000), hal. 203
[4] Mohammad Gufran
dan rahmawati, Ulumul
Hadits: Praktis dan Mudah (Yogyakarta:
Penerbit Teras, 2013), hal.13
[5] Atabik Ali dan
Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia (Yogyakarta: Multi
Kaya Grafika, t.t.), hal.
370 &387
[6] Abuddin Nata, Al-Quran
dan Hadits ... , hal. 207
[7] Atabik Ali dan
Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab ... , hal.533
[8] Ramli Abdul
Wahid, Studi Ilmu Hadits, cet.III (Medan: Citapustaka Media Perintis,2011), hal.32
[9]Atabik Ali dan
Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab ... , hal. 436
[11] Atabik Ali dan
Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab ... , hal. 523
[13] Abuddin
Nata, Al-Quran dan Hadits ... , hal.
216
[15] Atabik Ali dan
Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab ... , hal. 1908
[16] Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam: Permasalahan dan
Fleksibilitasnya, Cet.II (Jakarta: Sinar Grafika,2004) , hal.184
[17] Abuddin Nata,
Al-Quran dan Hadits ... , hal. 215
[18] Abuddin Nata, Al-Quran
dan Hadits ... , hal. 205
[19] Daniel W.
Brown, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, terj. Jaziar
Radianti dan Entin Sriani Muslim (Bandung:
Penerbit Mizan,2000), hal.62
[20] Nuraini, S.ag, M.Ag, Otentitas Sunnah: Analisis Pemikiran Fazlur
Rahman (Yogyakarta: AK Group dan Ar-Raniry Press, 2006), hal. 36-37
[21]Ramli Abdul
Wahid, Studi Ilmu Hadits ... , hal. 9
[22] Imam Nawawi, Terjemah
Riyadhus Shalihin, Jilid I, Cet. IV (Jakarta: Pustaka Amani, 1999), hal.131
[24] Muhammad Hasbi
Ash Shiddieqy, Pedoman Shalat, Cet.VIII (Semarang: PT Pustaka Riski Putra, 2008), hal.90
[26]Muhammad Kholiq, “Hadits Qauliyah, Fi’liyah dan
Taqririyah”, Mcholieq.blogsspot.com/2014/05/hadits-qouliyah-filiyah-dan-taqririyah.html?m=1(diakse
12 Oktober 2014)
Hadits ini
dikutip dari kitab al-Sunnah al-Nabawiyah wa Makhatukha fi al-Yasyri’ karya
Abas Mutawali Hamadah (Kairo: Dar alnasyi’, 1965), hal.21 dan 22
[27]Muhammad Kholiq, “Hadits Qauliyah, Fi’liyah ...
[31] Munzier
Suparta, Ilmu Hadits (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2010), hal.21
Tidak ada komentar:
Posting Komentar