Selasa, 27 Oktober 2015

Sebab-sebab pokok kekeliruan dalam menafsirkan Al-quran



BAB I 

PENDAHULUAN




A.    Latar Belakang
Al-Quran adalah wahyu Allah SWT yang di turunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat jibril untuk menjadikan pedoman hidup bagi manusia. Fungsi tersebut secara tegas dinyatakan oleh Allah dalam beberapa ayat al-Qur’an. Agar fungsi tersebut dapat direalisasikan, maka tidak boleh tidak al-Quran tersebut harus dapat dipahami oleh manusia. Dalam ini upaya untuk merealisasikan fungsi tersebut, manusia berusaha untuk mencari kejelasan makna pesan-pesan al-Quran, yang salah satunya adalah menafsirkan al-Quran.
Upaya ini telah dilakukan oleh para mufassir, baik oleh Rasulullah S AW . sendiri sebagai mufassir pertama dan para pewarisnya. Rasulullah menjelaskan al-Quran dengan sunnahnya, sedang para pewarisnya menafsirkan al-Quran dengan hadits-hadits Rasulullah SAW, di samping berusaha memahami al-quran dengan penjelasan al-Quran itu sendiri, dan ijtihad mereka dengan menggunakan akal sehatnya, baik dengan menggunakan kemampuan pengetahuan bahasa, adat istiadat Arab, hal ihwal kaum yahudi-nasrani dan kekuatan daya tangkap mereka.
penafsiran al-quran sebutan pewaris ini nampaknya tertuju pada para sahabat, perkembangan pola penafsiran telah menunjukkan karakteristik yang berbeda dengan pola yang menonjol pada masa sahabat. Dalam memahami arti ayat-ayat al-Quran dan menafsirkannya, para Tabi'in di samping melandaskan pada ayat-ayat al-Quran itu sendiri, hadits-hadits Rasulullah SAW serta penafsiran yang diberikan oleh para sahabat Nabi SAW dengan bantuan cerita-cerita dari para ahli kitab telah menggunakan ra'yu sebagai alat menalar.
Pada tahap penalaran yang digunakan inilah terjadinya suatu yang aneh dan juga menjadi suatu kekeliruan untuk di pahami. Sehingga dalam memahami ayat-ayat yang kurang jelas dan kiranya perlu penafsira, maka ada sebahagian dari mufassir tesebut menyesuaikan dengan pemikirannya sendiri, mazhab, dan juga rendahnya tingkat penguasaan bahasa arab, sehingga terjadi masalah-masalah yang tidak sesuai.
Jadi, sesuai dengan kemampuan mufassir ini dapat menimbukan beberapa dampak yang melenceng/kekeliruan dalam penafsiran Al-qur’an antara lain:
1.      Dari segi mufassir (orangnya)
2.      Dari segi materinya (sasarannya)
3.      Dari segi produknya (karyanya)

B.      Rumusan Masalah

1.      Apa yang dimaksud dengan kekeliruan dari segi mufassir?
2.      Apa yang dimaksud dengan kekeliruan dari segi materi?
3.      Apa yang dimaksud dengan kekeliruan dari segi produknya?

C.    Tujuan Pembahasan

Dari masalah di atas dapat dirumuskan beberapa tujuan pembahasan yang akan dibahas dalam makalah ini yaitu:
1.      Untuk mengetahui bagaimana kekeliruan dari segi mufassir?
2.      Untuk mengetahui kekeliruan dari segi materi?
3.      Untuk mengetahui kekeliruan dari segi produknya?



BAB II 

PEMBAHASAN




A.    Syarat-syarat Mufassir

           Dalam penafsiran Al-qur’an para ulama telah menetapkan syarat-syarat yang harus dimiliki oleh setiap mufassir yaitu sebagai berikut:
1.      Akidah yang benar, sebab akidah sangat berpengaruh terhadap jiwa pemiliknya dan seringkali mendorongnya untuk mengubah nas-nas dan berkianat dalam penyampaian berita.
2.      Bersih dari hawa nafsu, sebab hawa nafsu akan mendorong pemiliknya untuk membela kepentingan mazhabnya sehingga ia menipu manusia dengan kata-kata halus dan keterangannya menarik  seperti dilakukan golongan qadariah, syi’ah dan para pendukung fanatik mazhab lainnya.
3.      Menafsirkan, lebih dahulu qur’an dengan qur’an, karena sesuatu yang masih global pada suatu tempat telah di perincikan pada tempat yang lain, dan sesuatu yang dikemukakan secara ringkas di suatu tempat telah diuraikan di tempat lain.
4.      Mencari penafsiran dari sunnah, karena sunnah berfungsi sebagai pensyarah Qur’an dan penjelasnya.
5.      Apabila tidak didapatkan penafsiran dalam sunnah, hendaklah meninjau pendapat para sahabat karena mereka lebih mengetahui tentang tafsir Qur’an. Karena para sahabat lebih mengetahui tanda-tanda keadaan waktu turunnya Al-qur’an. Bahkan mereka mempunyai kepahaman yang sempurna, ilmu yang lurus dan baik pula.
6.      Apabila tidak ditemukan juga penafsiran dalam Qur’an, sunnah maupun dalam pendapat para sahabat maka hendalah meninjau pendapat para imam. Yaitu tabi’in (pengikut sahabat).[1]


B.     Sebab-sebab Pokok Kekeliruan dalam Menafsirkan Al-qur’an

Menafsirkan Al-Qur`an bukanlah suatu perkara yang mudah, karenanya ia memerlukan persyaratan-persyaratan yang ketat melalui proses penguasaan berbagai ilmu alat sehingga seseorang layak disebut mufassir. Penguasaan ilmu alat saja tidak cukup, apabila mufassir tidak memahami metode penafsiran. Ketidak pahaman akan metode ini akan menyebabkan kesulitan mufassir dalam menafsirkan Al-Qur`an. Bahkan cendrung pada kesalahan.[2]
Adz-dzahabi menyebutkan kemungkinan kekeliruan para mufassir dalam menafsirkan ayat A-qur’an tersebut dalam dua faktor penting yaitu:
1.      Kecenderungan untuk meyakini kebenaran salah satu makna di antara banyak makna yang mungkin diterapkan, kemudian memakai keyakinannya untuk menafsirkan semua lafal al-Qur’an.
2.      Kecenderungan untuk menafsirkan al-Quran berdasarkan makna yang dipahami oleh tutur bahasa arab saja, tanpa memperhatikan siapa yang berbicara dengan (menggunakan) al-Qur’an itu, kepada siapa diturunkannya dan siapa yang dibicarakan oleh al-Qur’an itu.[3]
Dari kedua macam uraian di atas, dapat kita pahami bahwa, meskipun secara teori para ulama telah memberikan batasan-batasan ideal, sebagaimana hasil kesimpulan yang kita peroleh dari pernyataan Ibnu Abbas, dan juga mungkin patokan-patokan yang dijelaskan oleh para mufassir itu berbuat keliru dalam menafsirkan al-Qur’an. Penyebab pokok kekeliruan penafsiran Al-quran dapat ditinjau dari tiga segi:

1.      Ditinjau darisegi mufassir (pelakunya)

Sebagaimana penjelasan Quraish Shihab dan Adz-dzahabi tersebut di atas, kita bisa memperkirakan dan melihat bentuk-bentuk penyimpangan penafsiran al-Quran. Pertama: Berkaitan dengan subyektivitas mufassir, kita bisa melihat kecenderungan-kecenderungan para mufassir untuk menafsirkan menurut seleranya, mungkin berkaitan dengan madzhabnya, bidang kajian yang diminatinya atau bahkan kecenderungan lain yang berkaitan keinginan-keinginan pribadi atau kelompoknya.[4]
a.       Subyektifitas si mufassir yang bermula dari perbedaan kemampuan, orientasi, sistem berfikir, keyakinan atas kebenaran pendapat atau madzhab yang di anutnya, kepentingan dan keinginannya.
Dalam kasus ini bisa kita lihat contoh penafsiran yang dilakukan oleh Az-Zamakhsyari, ketika ia menafsirkan kata: Nadhirah dalam surah al-Qiyamah 23:
                                                                                        ناظرة ربها لىإ
Ia tafsir kata nadhirah dalam ayat dengan pandangannya yang selaras dengan doktrin madzhabnya (Mu'tazilah) dan keahlian bahasanya. Kata Nadhirah yang secara umum diterjemahkan dengan melihat, ia tafsirkan dengan peryataan: "Memandang di sini bukan berarti melihat, dan melihat bukanlah salah satu maksud dari kata nadhirah tersebut. Namun nadhar memiliki arti yang banyak, antara lain: Menggerakkan biji mata ke arah satu benda untuk melihatnya, menunggu, simpati dan berbaik hati dan berpikir atau merenung.
Oleh karena itu, ia berpendapat bahwa kata nadhar di dalam ayat tersebut lebih tepat diartikan dengan menunggu, karena kita tidak mungkin melihat Allah.
b.      Tidak menguasai ilmu alat, seperti nahwu, sharaf, dan lain-lain.
Contoh: Kekeliruan orientasi menafsirkan Surat maryam 19:
Artinya:“Ia (Jibril) berkata: sesungguhnya aku ini hanyalah seorang utusan        Tuhan Mu,untuk memeberimu seorang anak laki-laki yang suci.”(Q.S.          Maryan:19)

2.      Ditinjau dari segi materi (sasarannya)

a.       Kurang memperhatikan siapa yang menjadi Mukhattab ayat, untuk ini perlu diperhatikan ayat-ayat sebelumnya.
Berkaitan dengan konteksnya, baik pembicaraan, ruang dan waktu atau dalam konteks sosial kemasyarakatan yang lebih luas, kita melihat beberapa kasus, di antaranya penafsiran kata mubshirah dalam surat Al-Isra’ ayat 59:
          مبصرة فة النا ثمود وأتينا . . .
Kata mubshirah di dalam ayat tersebut memiliki makna kontekstual. Sehingga tidak mungkin diberi makna dengan arti orisinalnya. Jika kata mubshirah di dalam ayat tersebut ditafsirkan sesuai dengan makna orisinalnya melihat dengan mata kepala, yang menerapkan kata Naqah (Onta Betina), maka penafsiran itu tidak kontekstual lagi karena kata mubshirah yang dimaksudkan dalam ayat tersebut adalah sebuah mukjizat yang dapat membuktikan kebenaran Nabi Shaleh terhadap kaum Tsamud pada saat itu.
b.      Tidak memperhatikan siapa yang mutakallim yang dibicarakan ayat.
c.       Mendahulukan yang mutlaq dari yang muqoyyad.
d.      Tidak memperhatikan munasabah ayat.
e.       Tidak menguasai masalah yang di tafsirkan.
f.       Mendahulukan yang mutasyabih dari yang muhkam.

3.      Ditinjau dari segi produk (karyanya)
Berkaitan dengan kekurangan penguasaan ilmu pokok dan bantu dalam menafsirkan al-Quran, sebagaimana yang dipaparkan oleh Quraish Shihab, bisa kita lihat pada kasus penafsiran yang dilakukan oleh para ilmuwan yang tidak memiliki Ilmu pokok (dalam menafsirkan al-Quran) secara memadai atau mufassir yang memiliki kemampuan penguasaan ilmu pokok, tetapi kurang menguasai ilmu bantu.[5]          Misalnya, jika seorang ilmuwan berupaya mengaitkan kebenaran penemuan ilmiahnya dengan statemen-statemen al-Quran, sebenarnya merupakan usaha mulia. Tetapi dapat dikatakan sebagai satu kecerobohan ynng bermakna kecenderungan untuk menyimpang andaikata al-Quran dengan seperangkat statemennya justru diuji oleh kebenaran Ilmiah yang mereka temukan.[6]
 Sebab, hasil suatu penelitian bukanlah sesuatu yang bernilai final, sementara kebenaran yang ada didalam al-Qur’an bernilai universal. Demikian juga, misalnya, seorang mufassir tidak boleh begitu saja menafikan hasil penelitian ilmiah. Misalnya, dalam kasus penafsiran ayat-ayat kauniah, tentu saja peristilahan keilmuan harus tetap menjadi perhatian para mufassir, demikian juga pengetahuan eksakta, misalnya dalam ilmu kedokteran, harus menjadi perhatian para mufassir ketika menafsirkan ayat yang berkaitan dengan masalah kedokteran.[7]
Dua contoh kasus penafsiran ketika dipaparkan oleh adz-dzahabi, ketika menafsirkan kata faqtha’u pada surat Al-Maidah 38:
                                                      . . . أيديهما فاقطعوا  والسارقةوالسارق
Ada ilmuwan yang menafsirkan bahwa kata tergesebut bukan menunjukkan hukum wajib, tetapi ibadah. Di sini adz-Dzahabi bertanya: Kapan si mufassir dapat menafsir amar tersebut bukan suatu kewajiban? Kemudian, ketika menafsirkan ayat 61 dari surat al-Baqarah:
                                          . . .  لن يموسى  وإذقلتم
Thanthawi Jauhari. menguraikan dengan teori-teori medis, yang terlalu jauh. Sehingga penafsirannya justru membias sangat jauh. Cara inilah yang dianggap mengkhawatirkan untuk terjadinya penyimpangan penafsiran, bila tidak terkontrol dengan baik.




BAB III

PENUTUP



A.    Kesimpulan

Dari pembahasan bab sebelumnya, kita dapat memperoleh sebuah kesimpulan tentang pengertian bahwa penjelasan terhadap makna al-Quran meruapakan suatu keharusan. Tetapi keharusan tersebut, di samping memerlukan kehati-hatian, juga memerlukan persyaratan yang tidak selayaknya dilanggar. Meskipun beberapa persyaratan yang dikemukakan oleh para ulama tersebut merupakan hasil ijtihad, tetapi minimal dapat dipahami sebagai patokan dasar yang selayaknya diperhatikan dalam penafsiran. Pelanggaran terhadap patokan-patokan dasar tersebut, memang, adakalanya tidak menimbulkan kesalahan interpretasi, tetapi kemungkinan terjadinya keasalahan akan menjadi lebih besar.
Di samping itu, sejauh yang telah diupayakan oleh para ulama untuk menaati syarat-syarat yang menjadi patokan dasar sebagi mufassir, tetapi dalam realitasnya kesalahan interpetasi terhadap al-Quran pun masih mungkin terjadi. Untuk itu, apa yang dinyatakan oleh adz-Dzahabi dan Quraish Shihab perlu diperhatikan, di samping beberapa pelajaran tentang kesalahan dan kemungkinan salah yang telah dilakukan oleh para mufassir. Dapat kita lihat dari segi tiga hal yaitu:
1.      Dari segi mufassirnya
2.      Dari segi materinya dan
3.      Dari segi karyanya

B.     Saran
Dalam penulisan makalah ini penulis sangat mengharap saran-saran yang bersifat membangun untuk dapat memperbaiki kedepannya, karena kita manusia masih banyak terdapat kekurangan-kekurang, dalam hal ini kami menyadari kekuranagn akan kesempurnaan dalam penulisaan makalah ini.


DAFTAR PUSTAKA


Ahmad von Denffer, 1lmu al-Quran, Jakarta: Rajawali, 1988.
Az-Zarqani, 'Abdul Adhim, Ulum al-Qur an, Kairo: Isa al Babiy al Halaby, tt.
Muhammad Husin az Dzahabi, Penyimpangan-penyimpangn Dalam Penafsiran al Quran, Jakarta: Rajawali, 1986.
Manna’ al-Qaththan, Mabahits fi ' Ulum al-Quran, Makkah: Dar al-Sudiyah, 1971.
Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, Bandung: Mizan. 1992.



[1] Manna’ al-Qaththan, Mabahits fi ' Ulum al-Quran (Makkah: Dar al-Sudiyah, 1971), hal. 280.
[2] Muhammad Husin az Dzahabi, Penyimpangan-penyimpangn Dalam Penafsiran al Quran, (Jakarta: Rajawali, 1986), hal. 7.
[3] Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, (Bandung: Mizan. 1992). hal.83

[4] Muhammad Husin az Dzahabi, Penyimpangan-penyimpangn . . ., hal. 10.

[5] Manna’ al-Qaththan, Mabahits fi ' Ulum . . ., hal. 183.
[6] Manna’ al-Qaththan, Mabahits fi ' Ulum . . ., hal. 184.

[7] Muhammad Husin az Dzahabi, Penyimpangan-penyimpangn . . ., hal. 186.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar