BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Al-Quran adalah wahyu Allah SWT yang
di turunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat jibril untuk menjadikan
pedoman hidup bagi manusia. Fungsi tersebut secara tegas dinyatakan oleh Allah
dalam beberapa ayat al-Qur’an. Agar fungsi tersebut dapat direalisasikan, maka
tidak boleh tidak al-Quran tersebut harus dapat dipahami oleh manusia. Dalam
ini upaya untuk merealisasikan fungsi tersebut, manusia berusaha untuk mencari
kejelasan makna pesan-pesan al-Quran, yang salah satunya adalah menafsirkan
al-Quran.
Upaya ini telah dilakukan oleh para
mufassir, baik oleh Rasulullah S AW . sendiri sebagai mufassir pertama dan para
pewarisnya. Rasulullah menjelaskan al-Quran dengan sunnahnya, sedang para
pewarisnya menafsirkan al-Quran dengan hadits-hadits Rasulullah SAW, di samping
berusaha memahami al-quran dengan penjelasan al-Quran itu sendiri, dan ijtihad
mereka dengan menggunakan akal sehatnya, baik dengan menggunakan kemampuan
pengetahuan bahasa, adat istiadat Arab, hal ihwal kaum yahudi-nasrani dan
kekuatan daya tangkap mereka.
penafsiran al-quran sebutan pewaris
ini nampaknya tertuju pada para sahabat, perkembangan pola penafsiran telah
menunjukkan karakteristik yang berbeda dengan pola yang menonjol pada masa
sahabat. Dalam memahami arti ayat-ayat al-Quran dan menafsirkannya, para
Tabi'in di samping melandaskan pada ayat-ayat al-Quran itu sendiri,
hadits-hadits Rasulullah SAW serta penafsiran yang diberikan oleh para sahabat
Nabi SAW dengan bantuan cerita-cerita dari para ahli kitab telah menggunakan
ra'yu sebagai alat menalar.
Pada tahap penalaran yang digunakan
inilah terjadinya suatu yang aneh dan juga menjadi suatu kekeliruan untuk di
pahami. Sehingga dalam memahami ayat-ayat yang kurang jelas dan kiranya perlu
penafsira, maka ada sebahagian dari mufassir tesebut menyesuaikan dengan
pemikirannya sendiri, mazhab, dan juga rendahnya tingkat penguasaan bahasa arab,
sehingga terjadi masalah-masalah yang tidak sesuai.
Jadi, sesuai dengan kemampuan
mufassir ini dapat menimbukan beberapa dampak yang melenceng/kekeliruan dalam
penafsiran Al-qur’an antara lain:
1.
Dari segi mufassir (orangnya)
2.
Dari segi materinya (sasarannya)
3.
Dari segi produknya (karyanya)
B. Rumusan Masalah
1.
Apa
yang dimaksud dengan kekeliruan dari segi mufassir?
2.
Apa
yang dimaksud dengan kekeliruan dari segi materi?
3.
Apa
yang dimaksud dengan kekeliruan dari segi produknya?
C. Tujuan Pembahasan
Dari masalah di
atas dapat dirumuskan beberapa tujuan pembahasan yang akan dibahas dalam
makalah ini yaitu:
1.
Untuk
mengetahui bagaimana kekeliruan dari segi mufassir?
2.
Untuk
mengetahui kekeliruan dari segi materi?
3.
Untuk
mengetahui kekeliruan dari segi produknya?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Syarat-syarat Mufassir
Dalam
penafsiran Al-qur’an para ulama telah menetapkan syarat-syarat yang harus
dimiliki oleh setiap mufassir yaitu sebagai berikut:
1.
Akidah
yang benar, sebab akidah sangat berpengaruh terhadap jiwa pemiliknya dan
seringkali mendorongnya untuk mengubah nas-nas dan berkianat dalam penyampaian
berita.
2.
Bersih
dari hawa nafsu, sebab hawa nafsu akan mendorong pemiliknya untuk membela
kepentingan mazhabnya sehingga ia menipu manusia dengan kata-kata halus dan
keterangannya menarik seperti dilakukan
golongan qadariah, syi’ah dan para pendukung fanatik mazhab lainnya.
3.
Menafsirkan,
lebih dahulu qur’an dengan qur’an, karena sesuatu yang masih global pada suatu
tempat telah di perincikan pada tempat yang lain, dan sesuatu yang dikemukakan
secara ringkas di suatu tempat telah diuraikan di tempat lain.
4.
Mencari
penafsiran dari sunnah, karena sunnah berfungsi sebagai pensyarah Qur’an dan
penjelasnya.
5.
Apabila
tidak didapatkan penafsiran dalam sunnah, hendaklah meninjau pendapat para
sahabat karena mereka lebih mengetahui tentang tafsir Qur’an. Karena para
sahabat lebih mengetahui tanda-tanda keadaan waktu turunnya Al-qur’an. Bahkan
mereka mempunyai kepahaman yang sempurna, ilmu yang lurus dan baik pula.
6.
Apabila
tidak ditemukan juga penafsiran dalam Qur’an, sunnah maupun dalam pendapat para
sahabat maka hendalah meninjau pendapat para imam. Yaitu tabi’in (pengikut
sahabat).[1]
B. Sebab-sebab Pokok Kekeliruan dalam Menafsirkan Al-qur’an
Menafsirkan
Al-Qur`an bukanlah suatu perkara yang mudah, karenanya ia memerlukan
persyaratan-persyaratan yang ketat melalui proses penguasaan berbagai ilmu alat
sehingga seseorang layak disebut mufassir. Penguasaan ilmu alat saja tidak
cukup, apabila mufassir tidak memahami metode penafsiran. Ketidak pahaman akan
metode ini akan menyebabkan kesulitan mufassir dalam menafsirkan Al-Qur`an.
Bahkan cendrung pada kesalahan.[2]
Adz-dzahabi menyebutkan kemungkinan kekeliruan para
mufassir dalam menafsirkan ayat A-qur’an tersebut dalam dua faktor penting yaitu:
1.
Kecenderungan untuk meyakini kebenaran salah satu
makna di antara banyak makna yang mungkin diterapkan, kemudian memakai
keyakinannya untuk menafsirkan semua lafal al-Qur’an.
2.
Kecenderungan untuk menafsirkan al-Quran berdasarkan
makna yang dipahami oleh tutur bahasa arab saja, tanpa memperhatikan siapa yang
berbicara dengan (menggunakan) al-Qur’an itu, kepada siapa diturunkannya dan
siapa yang dibicarakan oleh al-Qur’an itu.[3]
Dari kedua macam uraian di atas, dapat
kita pahami bahwa, meskipun secara teori para ulama telah memberikan
batasan-batasan ideal, sebagaimana hasil kesimpulan yang kita peroleh dari
pernyataan Ibnu Abbas, dan juga mungkin patokan-patokan yang dijelaskan oleh
para mufassir itu berbuat keliru dalam menafsirkan al-Qur’an. Penyebab pokok kekeliruan penafsiran
Al-quran dapat ditinjau dari tiga segi:
1. Ditinjau darisegi mufassir (pelakunya)
Sebagaimana penjelasan Quraish Shihab dan
Adz-dzahabi tersebut di atas, kita bisa memperkirakan dan melihat bentuk-bentuk
penyimpangan penafsiran al-Quran. Pertama: Berkaitan dengan subyektivitas
mufassir, kita bisa melihat kecenderungan-kecenderungan para mufassir untuk
menafsirkan menurut seleranya, mungkin berkaitan dengan madzhabnya, bidang
kajian yang diminatinya atau bahkan kecenderungan lain yang berkaitan
keinginan-keinginan pribadi atau kelompoknya.[4]
a.
Subyektifitas si mufassir yang
bermula dari perbedaan kemampuan, orientasi, sistem berfikir, keyakinan atas
kebenaran pendapat atau madzhab yang di anutnya, kepentingan dan keinginannya.
Dalam kasus ini bisa kita lihat contoh penafsiran
yang dilakukan oleh Az-Zamakhsyari, ketika ia menafsirkan kata: Nadhirah dalam
surah al-Qiyamah 23:
ناظرة ربها لىإ
Ia tafsir kata nadhirah dalam ayat dengan
pandangannya yang selaras dengan doktrin madzhabnya (Mu'tazilah) dan keahlian
bahasanya. Kata Nadhirah yang secara umum diterjemahkan dengan melihat, ia
tafsirkan dengan peryataan: "Memandang di sini bukan berarti melihat, dan
melihat bukanlah salah satu maksud dari kata nadhirah tersebut. Namun nadhar
memiliki arti yang banyak, antara lain: Menggerakkan biji mata ke arah satu
benda untuk melihatnya, menunggu, simpati dan berbaik hati dan berpikir atau
merenung.
Oleh karena itu, ia berpendapat bahwa kata nadhar di
dalam ayat tersebut lebih tepat diartikan dengan menunggu, karena kita tidak
mungkin melihat Allah.
b. Tidak
menguasai ilmu alat, seperti nahwu, sharaf, dan lain-lain.
Contoh: Kekeliruan orientasi menafsirkan
Surat maryam 19:
Artinya:“Ia
(Jibril) berkata: sesungguhnya aku ini hanyalah seorang utusan Tuhan Mu,untuk memeberimu seorang anak
laki-laki yang suci.”(Q.S. Maryan:19)
2. Ditinjau dari segi materi (sasarannya)
a.
Kurang memperhatikan siapa yang menjadi
Mukhattab ayat, untuk ini perlu diperhatikan ayat-ayat sebelumnya.
Berkaitan dengan konteksnya, baik
pembicaraan, ruang dan waktu atau dalam konteks sosial kemasyarakatan yang
lebih luas, kita melihat beberapa kasus, di antaranya penafsiran kata mubshirah
dalam surat Al-Isra’ ayat 59:
مبصرة فة النا ثمود وأتينا . . .
Kata mubshirah di dalam ayat tersebut
memiliki makna kontekstual. Sehingga tidak mungkin diberi makna dengan arti
orisinalnya. Jika kata mubshirah di dalam ayat tersebut ditafsirkan sesuai
dengan makna orisinalnya melihat dengan mata kepala, yang menerapkan kata Naqah
(Onta Betina), maka penafsiran itu tidak kontekstual lagi karena kata mubshirah
yang dimaksudkan dalam ayat tersebut adalah sebuah mukjizat yang dapat membuktikan
kebenaran Nabi Shaleh terhadap kaum Tsamud pada saat itu.
b.
Tidak memperhatikan siapa yang
mutakallim yang dibicarakan ayat.
c.
Mendahulukan yang mutlaq dari yang
muqoyyad.
d.
Tidak memperhatikan munasabah ayat.
e.
Tidak menguasai masalah yang di
tafsirkan.
f.
Mendahulukan yang mutasyabih dari
yang muhkam.
3. Ditinjau
dari segi produk (karyanya)
Berkaitan dengan kekurangan penguasaan
ilmu pokok dan bantu dalam menafsirkan al-Quran, sebagaimana yang dipaparkan
oleh Quraish Shihab, bisa kita lihat pada kasus penafsiran yang dilakukan oleh
para ilmuwan yang tidak memiliki Ilmu pokok (dalam menafsirkan al-Quran) secara
memadai atau mufassir yang memiliki kemampuan penguasaan ilmu pokok, tetapi
kurang menguasai ilmu bantu.[5] Misalnya, jika seorang ilmuwan berupaya mengaitkan
kebenaran penemuan ilmiahnya dengan statemen-statemen al-Quran, sebenarnya
merupakan usaha mulia. Tetapi dapat dikatakan sebagai satu kecerobohan ynng
bermakna kecenderungan untuk menyimpang andaikata al-Quran dengan seperangkat
statemennya justru diuji oleh kebenaran Ilmiah yang mereka temukan.[6]
Sebab, hasil
suatu penelitian bukanlah sesuatu yang bernilai final, sementara kebenaran yang
ada didalam al-Qur’an bernilai universal. Demikian juga, misalnya,
seorang mufassir tidak boleh begitu saja menafikan hasil penelitian ilmiah.
Misalnya, dalam kasus penafsiran ayat-ayat kauniah, tentu saja peristilahan
keilmuan harus tetap menjadi perhatian para mufassir, demikian juga pengetahuan
eksakta, misalnya dalam ilmu kedokteran, harus menjadi perhatian para mufassir
ketika menafsirkan ayat yang berkaitan dengan masalah kedokteran.[7]
Dua contoh kasus penafsiran ketika dipaparkan oleh
adz-dzahabi, ketika menafsirkan kata faqtha’u pada surat Al-Maidah 38:
. . . أيديهما فاقطعوا والسارقةوالسارق
Ada ilmuwan yang
menafsirkan bahwa kata tergesebut bukan menunjukkan hukum wajib, tetapi ibadah.
Di sini adz-Dzahabi bertanya: Kapan si mufassir dapat menafsir amar tersebut
bukan suatu kewajiban? Kemudian, ketika menafsirkan ayat 61 dari surat
al-Baqarah:
. . . لن
يموسى وإذقلتم
Thanthawi Jauhari.
menguraikan dengan teori-teori medis, yang terlalu jauh. Sehingga penafsirannya
justru membias sangat jauh. Cara inilah yang dianggap mengkhawatirkan untuk
terjadinya penyimpangan penafsiran, bila tidak terkontrol dengan baik.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan bab sebelumnya, kita dapat
memperoleh sebuah kesimpulan tentang pengertian bahwa penjelasan terhadap makna
al-Quran meruapakan suatu keharusan. Tetapi keharusan tersebut, di samping
memerlukan kehati-hatian, juga memerlukan persyaratan yang tidak selayaknya
dilanggar. Meskipun beberapa persyaratan yang dikemukakan oleh para ulama
tersebut merupakan hasil ijtihad, tetapi minimal dapat dipahami sebagai patokan
dasar yang selayaknya diperhatikan dalam penafsiran. Pelanggaran terhadap
patokan-patokan dasar tersebut, memang, adakalanya tidak menimbulkan kesalahan
interpretasi, tetapi kemungkinan terjadinya keasalahan akan menjadi lebih
besar.
Di samping itu, sejauh yang telah diupayakan oleh
para ulama untuk menaati syarat-syarat yang menjadi patokan dasar sebagi
mufassir, tetapi dalam realitasnya kesalahan interpetasi terhadap al-Quran pun
masih mungkin terjadi. Untuk itu, apa yang dinyatakan oleh adz-Dzahabi dan
Quraish Shihab perlu diperhatikan, di samping beberapa pelajaran tentang
kesalahan dan kemungkinan salah yang telah dilakukan oleh para mufassir. Dapat kita lihat dari segi tiga hal yaitu:
1.
Dari
segi mufassirnya
2.
Dari
segi materinya dan
3.
Dari
segi karyanya
B. Saran
Dalam penulisan
makalah ini penulis sangat mengharap saran-saran yang bersifat membangun untuk
dapat memperbaiki kedepannya, karena kita manusia masih banyak terdapat
kekurangan-kekurang, dalam hal ini kami menyadari kekuranagn akan kesempurnaan
dalam penulisaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad von Denffer, 1lmu al-Quran, Jakarta: Rajawali, 1988.
Az-Zarqani, 'Abdul
Adhim, Ulum al-Qur an, Kairo: Isa al
Babiy al Halaby, tt.
Muhammad Husin az
Dzahabi, Penyimpangan-penyimpangn Dalam
Penafsiran al Quran, Jakarta:
Rajawali, 1986.
Manna’ al-Qaththan, Mabahits fi ' Ulum al-Quran, Makkah: Dar
al-Sudiyah, 1971.
Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, Bandung: Mizan.
1992.
[1] Manna’
al-Qaththan, Mabahits fi ' Ulum al-Quran
(Makkah: Dar al-Sudiyah, 1971), hal. 280.
[2] Muhammad
Husin az Dzahabi, Penyimpangan-penyimpangn
Dalam Penafsiran al Quran, (Jakarta: Rajawali, 1986), hal. 7.
[4] Muhammad
Husin az Dzahabi, Penyimpangan-penyimpangn
. . ., hal. 10.
[5] Manna’
al-Qaththan, Mabahits fi ' Ulum . . ., hal.
183.
[6] Manna’
al-Qaththan, Mabahits fi ' Ulum . . ., hal.
184.
[7] Muhammad
Husin az Dzahabi, Penyimpangan-penyimpangn
. . ., hal. 186.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar