BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam
sejarah pemikiran aliran teologi Islam, Mu’tazilah merupakan salah satu aliran
yang berpegang atas dasar akal. Kemudian golongan ini disebut Mu’tazilah karena
muncul sebagai respons politik murni dan juga sebagai kaum netral politik,
khususnya dalam arti sikap lunak dalam menengenahi suatu pertentangan diantara
dua pihak antara Washil bin Atha dan ‘Amr bin ‘Ubaid dan Hasan Al-Basri di
Basah.
Menurut Harun Nasution bahwa nama
mu’tazilah telah digunakan kira-kira seatus tahun sebelum peristiwa Washil
dengan Haasan Al-Basri, yaitu dalam arti golongan yang tidak mau ikut campur
dalam pertikaian politik yang terjadi pada zamannya. Kemudian mu’tazilah juga
dikenal dengan nama-nama lain yaitu: At-Tauhid, Al-Adl, Al-Wa’d wa Al-Wa’id,
Al-Manzilah Bain Al-Manzilatain dan
Al-Amr bi Al-Ma’ruf wa An-Nahyu’an
Al-Munkar.
B. Tujuan Pembahasan
Dari masalah di
atas dapat dirumuskan beberapa tujuan pembahasan yang akan dibahas dalam
makalah ini yaitu:
1. Untuk mengetahui tentang sejarah Mu’tazilah
2.
Untuk
mengetahui mengapa terjadinya aliran Mu’tazilah
3.
Untuk
mengetahui landasan yang digunakan Mu’tazilah
4. Apa tujuan yang dinginkan dalam aliran
Mu’tazilah
BAB II
MU’TAZILAH DAN AL-USHULUL KHAMSAH
A. Sejarah Aliran Mu’tazilah
Sejarah
pemikiran aliran teologi Islam, Mu’tazilah merupakan golongan pertama dalam
Islam yang menyibukkan diri dengan merumuskan pemikiran-pemikiran teologi, berbeda
dengan golongan-golongan yang lahir sebelumnya yang memikirkan masalah-masalah
politik mereka. Disamping itu mereka juga mempelajari dan menggunakan
metode-metode pemikiran yang dipakai oleh musuh-musuh Islam.[1]
Aliran
mu’tazilah merupakan salah satu aliran teologi dalam Islam yang dapat
dikelompokkan sebagai kaum rasionalis Islam, aliran ini muncul sekitar abad pertama
hijriyah, di kota Basrah, yang ketika itu menjadi kota sentra ilmu pengetahuan
dan kebudayaan Islam. Disamping itu, aneka kebudayaan asing dan macam-macam agama
bertemu dikota ini. Dengan demikian luas dan banyaknya penganut Islam, semakin
banyak pula musuh-musuh yang ingin menghancurkannya.[2]
Golongan Mu’tazilah suatu paham yang tidak menerima pelaku dosa besar bukan mukmin dan bukan pula kafir, tetapi berada diantara posisi keduanya (al manzilah baina al-manzilataini), kemudian pengaruh agama ini secara negatif dalam hal menafikan sifat-sifat serta nama-nama yang terletak pada zat tuhan. Dalam hal ini kadang-kadang kedua sifat ini diragukan sekali dan mereka disebut juga dengan “Golongan Tauhid dan Keadilan” dengan cara yang dilakukan Mu’tazilah ini mereka merasa telah membersihkan diri dalam arti menjauhkan dari safat-sifat yang menyalahi Tuhan.[3] Jadi inilah yang mendasar pada terbentuknya aliran Mu’tazilah.
B. Sebab-sebab Terjadinya Aliran Mu’tazilah
Pada
masa selanjutnya ada yang berpendapat juga bahwa saat timbulnya kaum muktazilah antaralain disebabkan oleh
dua faktor yaitu:
1. Seputar pembahasan Hasan Al-Basri dan
kedua muridnya yaitu Washil bin Atha dan ‘Amr bin ‘Ubaid.
2. Mu’tazilah timbul juga karena dalam hal agama
semata-mata.[4]
Bila
kita pahami dalam masalah terjadinya aliran Mu’tazilah bukan hanya dari sebab
yang telah disebutkan di atas, bahkan banyak asfek lain yang kita ketahui yang
hampir semisal dengan masalah yang terjadi pada masa lalu. Seperti pada masa sekarang ini misalnya, perbedaan antara Ahlu
Sunnah wal Jama’ah dan Muhammadiyah tentang shalat subuh dengan menggunakan
qunut. Ada yang mengatakan itu sunat namun jika di tinggalkan wajib diganti
dengan sujud sahwi, dan pihak Muhammadiyah mengatakan itu merupakan suatu hal
yang dilakukan Rasul dalam masa pererangan yang dianggap sebagai do’a.
Dalam
hal ini kedua pendapat sama-sama dapat kita pahami, namun jika ada sebahagian
orang yang tidak setuju dengan kedua pendapat tersebut dan dia mengatakan itu
sunat boleh dikerjakan dan boleh tidak. Dengan alasan dia mengatakan bahwa
sunat, karena sunat apabila kita lakukan mendapat pahala dan jika ditinggalkan
tidak berdosa.
Mu’tazilah
ini timbulnya bukan hanya pada saat peristiwa Hasan Al-Basri dan kedua muridnya
yaitu Washil bin Atha dan ‘Amr bin ‘Ubaid akan tetapi kurang lebih seratus
tahun sebelum kejadian ini terjadi, sementara pada masa Washil bin Atha dan
‘Amr bin ‘Ubaid dapat menghidupkan kembali sebutan lama yang pernah mereka
sebutkan.[5]
Sedangkan
tujuan pembahasan Mu’tazilah yang dimaksud dalam makalah ini adalah aliran dan
paham disaat terjadinya dua pendapat tentang pemahaman masalah dosa besar dan
ketetapan hukum yang sebenarnya. Dalam dicontohkan pada kejadian Washil bin
Atha meninggalkan gurunya di dalam mesjid di Basrah (Irak), dengan alasan tidak
menerima kedua alasan yang bahwa orang yang melakukan dosa besar dihukumi kafir
bagi kaum khawarij sedangkan menurut murjiah mereka tetap mukmin.[6]
Kemudian Washil bin Atha meninggalkan gurunya dengan memegang landasan
Al-Qur’an Surat Al-Muzammil ayat 11:
Artinya: . .
. Jauhilah mereka dengan cara yang baik.[7]
Jadi
dari permasalahan sejarah di atas dapat kita pahami apa sebenarnya yang menyebabkan
timbulnya aliran Mu’tazilah. Beranjak dari kiasah-kisah yang kita baca dan kita
pahami dalam masalah sejarah terjadinya mu’tazilah, yaitu sebagi penengah.
Seperti kita ketahui tentang posisi seorang zina, ada yang mengatakan dia
haram, ada yang mengatakan haram itu perbuatan orang tuanya. Anak tersebut
tidak salah, dia tetap dalam posisi sebagimana anak yang lahir dalam keadaan
fitrah, namun sampai sekarag penulis belum mendapatkan hukum yang pasti tentang
hukum anak zina tersebut.
C. Landasan Kaum Mu’tazilah
Dalam hal landasan yang digunakan kaum Mu’tazilah
sebagai pegangan dasar hukum, mereka juga menggunakan Al-Qur’an dan Hadis. Namun
perbedaan-perbedan yang terjadi ini semua masih dalam ruang lingkup masalah
furu’. Perbedaan itu disebabkan oleh sikap mereka yang banyak lebih berpegang
pada akal daripada naql atau nash, dan faktor pendorong mereka membahasa
masalah-masalah tersebut adalah karena masalah-masalah tersebut tidak
dibicarakan oleh nash al-Qur’an maupun Hadits, sedangkan masalah-masalah yang
dibicarakan secara qath’i di dalam al-Qur’an dan Hadits tidak ada perbedaan diantara
mereka.[8]
Nash-nash qath’i itu mereka membuat dasar atau pokok pemikiran
yang mereka sepakati, sedang yang di luar itu mereka berikan kebebasan bagi
akal untuk membahasnya. Perkembangan pemikirannya, para penganut aliran
Mu’tazilah tidaklah selalu berada dalam satu garis yang sama namun, juga sering
terjadi perbedaan pendapat di antara sesama mereka.[9]
D. Ide dan Teologi Mu’tazilah Sesuai dengan Al-Ushlul Al-Khamsah
Ada banyak hal yang disepakati Mu’tazilah dalam
ide-ide teologinya, namun semuanya akan dibahas pada 5 masalah pokok yang
disebut al-Ushul al-Khamsah. Lima hal pokok itu merupakan standar bagi ke Mu’tazilahan
seseorang, dengan artian seseorang baru dikatakan Mu’tazilah jika dia menganut
dan mengakui kelima hal tersebut, namun jika dia tidak mengakui salah satunya
atau menambahkan padanya satu hal saja, maka orang ini tidak pantas
menyandarkan nama Mu’tazilah, yaitu:
1. At-Tauhid
At-Tauhid
(pengesaan Tuhan) merupakan prinsip utama dan inti sari ajaran Mu’tazilah.
Sebenarnya teologis dalam Islam semua memegang doktrin ini. Akan tetapi
Mu’tazilah memiliki arti yang spesifik yaitu, Tuhan harus disucikan dari segala
sesuatu yang dapat mengurangi arti kemahaesaan-Nya, Tuhan satu-satunya Esa,
yang Unik dan tidak ada satupun menyamai-Nya.[10]
Mu’tazilah
berpendapat bahwa Tuhan itu Maha Melihat, mendengar dan sebagainya, itu bukan
sifat melainkan dzat-Nya. Menurut Mu’tazilah sifat itu adalah dzat Tuhan,
seperti Tuhan mengetahui dengan ilmu dan ilmu itu adalah, berkuasa dengan
kekuasan dan kekuasaan itu adalah Tuhan. Dengan demikian penguasaan,
pengetahuan dan kekuasaan Tuhan adalah Tuhan, dzat dan esensi Tuhan, bukan
sifat yang menempel pada dzatnya, untuk memahami paham ini mereka menganut
paham qadariah.[11]
Doktrin
Menurut Mu’tazilah disini adalah Tuhan tidak ada menyerupai makhlukny-Nya, dan
juga sebaliknya. Berdasarkan Al-Qur’an Surat Asy-Syura ayat 11.
Artinya: “ . . .
Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan
Dia . . .”
Mu’tazilah menolak terhadap
antropormofisme, bahwa Tuhan dapat dilihat oleh mata kepala, sedangkan Tuhan
tuhan tidak tersusun dari unsur, tidak terikat oleh ruang dan waktu dan tidak
berbentuk. Andai kata Tuhan dapat dilihat oleh mata kepala di akhirat, tentu
saja di duniapun dapat dilihat. Al-Qur’an Surat Al-Qiyaamah ayat 23.
Artinya: “
Kepada Tuhannyalah mereka menghadap”.
Kata menghadap disini yaitu melihat.
Melihat adalah mengembalikan masalah sesuai ketentuan Tuhan atau kekuasaan-Nya
dan tidak ada yang lain. Seperti contoh “tangan” dalam Al-Qur’an surat Shad
ayat: 75, tangan yang dimaksud adalah kekuasaan dan pada suarat yang lain
Al-Maidah ayat: 64, tangan juga diartikan nikmat.[12]
Kelanjutannya dari prinsip-prinsip ke-Esaan Tuhan yang murni tersebut adalah:
a.
Tidak
mengakui sifat-sifat Tuhan sebagai suatu yang qadim, yang lain dari pada
dzat-Nya.
b.
Mengatakan
Al-Qur’an itu mutlak kalamullah, makhluk juga, yang dijadikan oleh Tuhan pada
waktu dibutuhkannya, kalam ini tidak ada pada dzat-Nya melainkan berada
diluarnya.
c.
Mengingkari
dapat melihat Tuhan dengan mata kepala.
d.
Menginggkari
arah bagi Tuhan dan menakwilkan ayat-ayat yang menegaskan adanya persamaan
Tuhan dengan manusia.[13]
2. Al-Adl
(Keadilan)
Ajaran
dasar Mu’tazilah yang kedua adalah Al-Adl yaitu Tuhan Maha Adil. Adil adalah
suatu atribut yang paling jelas untuk menunjukkan kesempurnaan, karena Tuhan
Maha sempurna sudah pasti adil. Aliran Mu’tazilah ini ingin menempatkan Tuhan
benar-benar adil menurut sudut pandang manusia. Tuhan dipandang adil apabila
bertindak hanya yang baik dan terbaik dan bukan yang tidak baik. Begitu pula
Tuhan itu adil apabila tidak melanggar janji-Nya.[14]
Semua
orang percaya akan keadilan Tuhan, tetapi Mu’tazilah seperti biasanya
memperdalamkan arti keadilan serta menentukan batas-batasnya, sehingga dapat
menimbulkan beberapa persoalan dasar keadilan yang dipengang oleh mereka antara
lain:
a. Tuhan menciptakan makhluk atas dasar
tujuan
b.
Tuhan
tidak menghendaki keburukan dan tidak pula memerintahkannya.
c.
Manusia
mempunyai kesanggupan untuk mewujudkan perbuatannya, sebab dengan cara demikian
dapat dipahami adanya perintah Tuhan, janji dan ancaman.
d. Tuhan harus mengerjakan yang yang baik
dan yang terbaik.[15]
Menurut
Mu’tazilah Tuhan disebut juga Luthf (kemurahan atau kebaikan hati), yakni
mencapai juga bantuan yang diberikan-Nya kepada seseorang hamba hingga dia tidak
melakukan keburukan.[16] Ajaran
tentang keadilan-Nya Tuhan menurut Mu’tazilah, ini berkaitan erat dengan
beberapa hal, anatara lain:
a. Perbuatan manusia
b.
Berbuat
baik dan terbaik
c.
Mengutus
Rasul.[17]
3. Al-Wa’d
wa Al-Wa’id (Janji dan Ancaman)
Ajaran
yang ketiga ini sangatlah erat hubungannya dengan ajaran kedua di atas. Al-Wa’d
wa Al-Wa’id berarti janji dan ancaman. Menurut pemahaman Mu’tazilah Tuhan itu
Mahaadil, Mahabijaksana dan tidak akan melanggar janjinya. Kemudian aliran ini
juga mengatakan bahwa Tuhan-Nya hayalah melaksanakan janji-Nya. Menurut mereka
mau tidak mau mesti terjadi sesuai dengan apa yang telah dijanjikan, perbuatan
Tuhan terikat dan dibatasi oleh janji-Nya surga dan neraka.[18]
Al-Qur’an surat Al Zalzalah ayat 7-8:
Artinya: “Barang siapa yang berbuat kebajikan seberat biji zarrah, niscayadia
akan lihat balasannya, dan barang
siapa yang berbuat keburukan seberat biji zarrah,
niscaya dia akan melihat balasannya pula.”
Mereka maksud dengan landasan ini adalah bahwa wajib bagi Allah untuk
memenuhi janji-Nya (al-wa’d) bagi pelaku kebaikan agar dimasukkan ke
dalam Al-Jannah, dan melaksanakan ancaman-Nya (al-wa’id) bagi pelaku
dosa besar (walaupun di bawah syirik) agar dimasukkan ke dalam An-Naar, kekal
abadi di dalamnya, akan tetapi siksa yang diterimanya lebih ringan daripada
siksa orang yang kafir. Tidak boleh bagi Allah untuk menyelisihkan hal ini. Dan
inilah yang mereka sebut dengan janji dan ancaman itu. Sehingga mereka sering
disebut dengan Wa’idiyyah. Logika yang digunakan adalah tidak
masuk akal jika Allah memasukkan orang mukmin ke dalam neraka dan orang kafir
ke dalam surga.[19]
4. Al-Manzila
Baina Al-Manzilatain (tempat diantara dua tempat)
Dari
sekian pembahasan namun yang menjadi inti pemasalah mula-mula menyebabkan
aliran Mu’tazilah Al-Manzila Baina Al-Manzilatain. Ajaran ini dikenal dengan status
orang beriman (mukmin) orang yang melakukan dosa besar. Seperti sejarah
khawarij menganggap seseorang disebut kafir, bahkan musyrik.[20]
Menurut murji’ah orang itu tetap mukmin dan dosanya diserahkan kepada Tuhan,
mungkin dosa itu diampuni Tuhan. Sedangkan menurut Mu’tazilah berbeda diantara
dua posisi Al-Manzila Baina Al-Manzilatain,
sehingga mengasingkan diri dan disebutlah Mu’tazilah.[21]
Pokok
pengkajian ajaran Mu’tazilah adalah mukmin yang melakukan dosa besar dan
meninggal sebelum tobat bukan disebut mukmin dan bukan pula kafir, tetapi
fasiq. Kemudian juga pelaku dosa besar tidak dapat dikatakan sebagai mukmin
secara mutlak karena iman menuntut adanya kepada Tuhan, tidak cukup hanya
pengakuan dan pembenaran, sementara orang melakukan dosa besar bukanlah
kepatuhan melainkan kedurhakaan, akan tetapi tidak dapat disebut kafir.[22]
Karena itu mereka masih percaya kepada Tuhan dan Rasul dan juga mengerjakan
yang baik dan sebaliknya orang yang melakukan dosa besar tidak dapat dikatakan
mukmin mutlak.[23]
Untuk menguatkan pendapat-pendapatnya itu, Mu’tazilah berdalil kepada
ayat-ayat Al-Qur’an, antara lain ialah:
كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِيْنَةٌ
Artinya: “Tiap-tiap jiwa terikat dengan apa yang telah diperbuatnya”
(QS. Al Mudattsir: 38)
Maksudnya adalah manusia itu mendapatkan
balasannya sesuai dengan apa yang mereka perbuat. Sementara dalam Al-Qur’an
telah dijelaskan tentang menjalani yang baik, akan tetapi ada sebahagian yang
melenceng dari pemahamannya.Dengan perbuatan tersebut manusia akan mendapat
balasan yang setimpal terhadap perbuatan yang dilakukannya.
وَأَنْ لَيْسَ لِلإِنْسَانِ إِلاَّ مَا سَعَى، وَأَنَّ سَعْيَهُ سَوْفَ يُرَى. ثُمَّ يُجْزَاهُ اْلجَزَآءَ اْلأَوْفَى
Artinya: “Dan bahwasanya tiadalah bagi manusia, kecuali apa yang telah dikerjakannya. Dan bahwasanya usahanya itu
akan diperlihatkan. Kemudian ia akan
diberi balasan yang paling sempurna”. (QS. An-Najmu: 39-41)
Artinya Selain itu, bagi aliran Mu’tazilah
menyebutkan bahwa kedudukan bagi orang yang berbuat dosa besar, maka orang
tersebut tidak dapat dikatakan sebagai mukmin secara mutlak dan tidak pula
kafir secara mutlak, melainkan dia akan ditempatkan di suatu tempat yang
terletak di antara dua tempat (al-manzilah baina al-manzilatain), ia
tidak mukmin dan tidak pula kafir, tetapi menjadi fasiq. [24]
Jadi dari pembahasan tentang al-manzilah
baina al-manzilatain menurut
aliran Mu’tazilah ini tidak dapat kita terima, karena tidak ada alasan yang
qat’i sehingga bisa membuat sutu jawaban dari antara kedua pendapat, yang
membuat mereka tidak setuju. Doktrin ini
tidak jelas sangatlah membingungkan orang lain dalam memahaminya.
5. Al-Amr
bi Al-Ma’ruf wa An-Nahy’an Al-Mungkar
Al-Amr
bi Al-Ma’ruf wa An-Nahy’an Al-Mungkar adalah menyuruh kita kepada kebajikan dan
melarang kepada kemungkaran, ajaran ini menekankan melarang keberpihakan pada
kebenaran dan kebaikan. Ini meupakan konsekuensi logis dari keimanan seseorang.
Pengakuan keimanan ini harus dibuktikan dengan perbuatan baik.[25]
Perintah berbuat baik dan larang
berbuat jahat, dianggap bukan kewajiban bagi kaum mu’tazilah saja, tetapi juga
bagi golongan Islam lainnya. Perbedaan antara golongan-golongan itu adalah
dalam segi pelaksanaannya. Apakah perintah dan larangan itu cukup dijalankan
dengan penjelasan dan seruan saja, ataukah perlu dengan kekerasan. Mu’tazilah dalam melakukan atau
melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar mereka berpegang pada hadis “siapa diantara kamu yang melihat kemunkaran
maka ubahlah dengan tanganmu”.[26]
Kaum Mu’tazilah ini sepakat
mengatakan bahwa, akal manusia sanggup membedakan yang baik dan yang buruk,
sebab sifat-sifat dari yang baik dan yang buruk itu dapat dikenal. Dan manusia
berkewajiban memilih yang baik dan menjauhi yang buruk. Untuk itu, tak perlulah
Tuhan mengutus Rasul-Nya. Apabila seseorang tidak mau berusaha untuk mengetahui
yang baik dan yang buruk itu, ia akan mendapat siksaan dari Tuhan. Begitu pula
apabila ia tahu akan yang baik tetapi tidak diikutinya, atau ia tahu mana yang
buruk tetapi tidak dihindarinya.[27]
Menurut
pemahaman penulis dari penjelesan
di atas dapat kita pahami bahwa,
Mu’tazilah mengatakan akal manusia sanggup membedakan yang baik dan yang
buruk, sebab sifat yang baik dan buruk itu dapat dikenal. Dan manusia wajib
memilih yang baik dan menjahui yang buruk. Untuk itu Allah tidak perlu mengutus
Rasul-Nya. Secara tidak langsung pemahaman mun’tazilah itu muncul, ketika kita
lihat sekarang dalam sehari-hari sudah banyak yang tidak mengikuti Rasul SAW,
terutama dari segi sogok menyogok sangat dilarang dalam Islam, dengan menggunakan
akalnya yang merasa lebih bijak dari segi memilih dan meilah mana yang baik dan
mana yang buruk, sehingga mereka banyak alasan dan cara untuk melaukannya.
E. Tujuan Mu’tazilah
Dari pemaparan tentang pemikiran
Mu’tazilah di atas, terlihat bahwa mereka mengutamakan akal satu-satunya dalam mengambil keputusan. Oleh karena itu aliran ini, terkenallah bahwa mu’tazilah adalah pengusung
teologi rasionalis. Teologi rasionaltas yang di usung kaum mu’tazilah tersebut
bercirikan:
1.
Kedudukan akal tinggi di
dalamnya, sehingga mereka tidak mau tunduk kepada arti harfiah dari teks wahyu
yang tidak sejalan dengan pemikiran filosofis dan ilmiah
2.
Akal menunjukkan
kekuatan manusia, maka akal yang kuat menggambarkan manusia yang kuat, yaitu
manusia dewasa.
3.
Pemikiran filosofis
mereka membawa kepada penekanan konsep Tuhan Yang Maha Adil.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Aliran
Mu’tazilah merupakan salah satu aliran
dalam teologi Islam yang timbul kembali dan sama halnya dengan dengan
aliran-aliran lain, dimana aliran ini
juga masih dalam lingkungan Islam dan oleh karena itu, tiap-tiap orang Islam
mempunyai kebebasan untuk memilih aliran teologi atau falsafah hidup yang
sesuai dengan jiwa dan landasan hukumnya.
Perbedaan yang kita ketahui dari aliran
Mu’tazilah dengan yang lain ini lebih pada masalah yang kelima dari Al-Ushul
Al-Khamsah yaitu, dalam hal tatanan pelaksanaan, sejauh mana mereka memahami
tentang At-Tauhid, Al-Adl, Al-Wa’d wa Al-Wa’id, Al-Manzila Baina Al-Manzilatain sehingga tergambar dari Al-Amr bi Al-Ma’ruf wa An-Nahy’an
Al-Mungkar.
B. Kritikan
dan Saran
Dalam penulisan
makalah ini penulis merasa masih jauh kesempurnaan dengan demikian, penulis
sangat mengharap atas kritikan dan saran, demi kesempurnaan dalam penulisan ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul
Rozak, & Rosihon Anwar, Ilmu Kalam,
Bandung: Pustaka Setia, 2013.
Abu Hasan
Ismail al-Asy’ari, Prinsip-prinsip Dasar
Aliran Theologi Islam, Bandung: Pustaka Setia,1998.
Hanafi, Pengantar Teologi Islam, Jakarta:
Pustaka Al-Hasan Baru, 2003.
Harun
Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai
Aspeknya, Jilid II, Jakarta: Universitas Indonesia, 2012.
Mulyono
& Bashoki, Studi Ilmu Kalam, Universitas
Islam Negeri: Pres, 2010.
Machasin, Islam Teologi Aplikatif, Yogyakarta:
Pustaka Alief, 2003.
Novan Ardy
Wiyan, Ilmu Kalam, Bumiayu, Teras
2013.
Subhi Al Saleh, Aspek-aspek Aqidah dan Perundangan Islam,
Kuala Lumpur: Al-Rahmaniah, 1988.
[1] Machasin, Prof, Islam Teologi Aplikatif, (Yogyakarta:
Pustaka Alief, 2003), hal. 23.
[2] Mulyono & Bashoki, Studi Ilmu Kalam, (Universitas Islam
Negeri: Pres, 2010), hal. 111.
[3] Subhi Al Saleh, Dr, Aspek-aspek Aqidah dan Perundangan Islam,
(Kuala Lumpur: Al-Rahmaniah, 1988), hal.144.
[4] Abu A’la Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan Khazanah Ilmu-ilmu
Islam, (Yogyakarta: Mizan, 1998), hal .281.
[5] Hanafi, MA, Teologi Islam, (Jakarta: Pustaka
Al-Husna Baru, 2003), hal. 81.
[6] Abu
A’la Al-Maududi, Khalifah dan Kerajaan . . ., hal. 283.
[7] Hanafi, Teologi . . ., hal. 90.
[8] Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya,
Jilid II, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2012), hal. 34.
[9] Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai . . .,hal.
35.
[10] Ahmad Hanafi. MA, Teologi Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,
2001), hal. 74.
[11] Abdul Rozak, Prof, Dr,
M.Ag & Rosihon Anwar, Prof, Dr, M,Ag, Ilmu
Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 2013), hal. 100.
[12] Subhi Al Saleh, Dr, Aspek-aspek Aqidah dan Perundangan . . .,
hal.147.
[13] Hanafi, MA, Pengantar Teologi Islam, (Jakarta:
Pustaka Al-Hasan Baru, 2003), hal. 90.
[14] Abdul Rozak,&
Rosihon Anwar, Prof, Dr, M,Ag, Ilmu . .
., 102.
[15] Hanafi, MA, Pengantar Teologi . . ., hal.92.
[16] Abu Hasan Ismail
al-Asy’ari, Prinsip-prinsip Dasar Aliran
Theologi Islam, (Bandung: Pustaka Setia,1998), hal. 25.
[17] Ibid, 26.
[19] Abu Hasan Ismail
al-Asy’ari, Prinsip-prinsip Dasar Aliran
Theologi . . ., hal. 28.
[20] Abdul Rozak, Prof, Dr,
M.Ag & Rosihon Anwar, Prof, Dr, M,Ag, Ilmu
. . ., hal.106.
[21] Abdul Rozak, Prof, Dr,
M.Ag & Rosihon Anwar, Prof, Dr, M,Ag, Ilmu
. . ., hal. 107.
[22] Machasin, Prof, Islam Teologi . . ., hal. 25.
[23] Machasin, Prof, Islam Teologi . . ., hal. 2526.
[24] Abdul Rozak, Prof, Dr,
M.Ag & Rosihon Anwar, Prof, Dr, M,Ag, Ilmu
. . ., hal.106
[25] Abu Hasan Ismail
al-Asy’ari, Prinsip-prinsip Dasar Aliran
Theologi . . ., hal. 29.
[26] Abu Hasan Ismail al-Asy’ari, Prinsip-prinsip Dasar Aliran Theologi . . .,
hal. 30.
[27] Hanafi, MA, Pengantar Teologi . . ., hal.101.