BAB IPENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam sejarah perkembangan filsafat sejak zaman
pra-Yunani kuno hingga abad XX sekarang ini, telah banyak aliran filsafat
bermunculan. Setiap aliran filsafat memiliki kekhasan masing-masing sesuai
dengan metode yang dijalankan dalam rangka memperoleh kebenaran.
Filsafat zaman modern berfokus pada manusia,
bukan kosmos (seperti pada zaman kuno), atau Tuhan (pada abad
pertengahan). Dalam zaman modern ada periode yang disebut Renaissance (kelahiran
kembali). Kebudayaan klasik warisan Yunani-Romawi dicermati dan dihidupkan
kembali; seni dan filsafat mencari inspirasi dari sana.
Para filsuf zaman modern menegaskan bahwa
pengetahuan tidak berasal dari kitab suci atau ajaran agama, tidak juga dari
para penguasa, tetapi dari diri manusia sendiri. Namun tentang aspek mana yang
berperan ada Perbedaan pendapat. Aliran rasionalisme beranggapan bahwa sumber
pengetahuan adalah rasio: kebenaran pasti berasal dari rasio (akal).
Aliran empirisme, sebaliknya, meyakini pengalamanlah sumber pengetahuan itu,
baik yang batin, maupun yang inderawi. Lalu muncul aliran kritisisme, yang
mencoba memadukan kedua pendapat berbeda itu.
BAB IIPEMBAHASAN
A.
Konservatis
Konservatisme merupakan
paham politik yang ingin mempertahankan tradisi dan stabilitas sosial,
melestarikan pranata yang sudah ada, menghendaki perkembangan setapak demi
setapak, serta menentang perubahan yang radikal. Definisi lain mengatakan,
konservatisme adalah sebuah filsafat politik yang mendukung nilai-nilai
tradisional. Istilah ini berasal dari bahasa Latin, conservare, yang
berarti melestarikan, menjaga, memelihara, mengamalkan. Di lain sumber,
konservatisme diartikan sebagai ideologi dan filsafat yang menjunjung tinggi
nilai-nilai tradisional. Samuel Francis mendefinisikan konservatisme yang
otentik sebagai “bertahannya dan penguatan orang-orang tertentu dan
ungkapan-ungkapan kebudayaannya yang dilembagakan”. Dari beberapa pengertian,
dapat disimpulkan bahwa konservatisme merupakan salah satu ideologi politik,
yang menghendaki tradisi atau budaya tetap dilestarikan, terjaga, dan
terpelihara.
Inti pemikiran
konservatisme adalah memelihara kondisi yang ada, mempertahankan kestabilan,
baik berupa kestabilan yang dinamis maupun berupa kestabilan yang statis, tidak
jarang pula bahwa pola pemikiran ini dilandasi oleh kenangan manis mengenai
kondisi kini dan masa lampau (romantic nostalgia, a earning for the good old time). Menurut filsafat konservatisme, perubahan
tidak selalu berarti kemajuan. Oleh karena itu, perubahan sebaiknya berlangsung
tahap demi tahap, tanpa menggoncang suatu struktur politik dalam negara atau
masyarakat yang bersangkutan.
Biasanya ideologi ini,
hanya diterapkan sebagai dasar golongan tertentu, tidak sebagai dasar negara.
Politik konservatif dinilai cenderung "kolot" oleh para liberalis,
karena konservatif selalu menjunjung tinggi nilai-nilai tradisional tanpa
satupun dilewatkan, akibatnya banyak ketidakseragamnya dengan hukum di zaman
sekarang. Bagi kaum konservatif, konservatisme merupakan bentuk skeptis dari
kritik atas pemerintahan.
1.
Konservatisme
Pendidikan
Konservatisme pada dasarnya adalah posisi yang
mendukung ketaatan terhadap lembaga-lembaga dan proses-proses budaya yang sudah
teruji oleh waktu (sudah cukup tua dan mapan), didampingi dengan rasa hormat
mendalam terhadap hukum dan tatanan, sebagai landasan perubahan
sosial yang konstruktif. Sejalan dengan itu ditingkat politisi, orang-orang
konservatif cukup mewakili dalam tulisan-tulisan para tokoh seperti Edmund
Burke, james medison, dan para penulis The Federalis Paper.[1]
Dalam Dunia Pendidikan,
seorang konservatif beranggapan bahwa sasaran utama sekolah adalah pelestarian
dan penerusan pola-pola sosial serta tradisi-tradisi yang sudah mapan. Ada dua
ungkapan dasar Konservatif pendidikan. Yang pertama adalah konservatisme
pendidikan religius, yang menekankan pada sentral pelatihan rohaniyah sebagai
landasan pembangunan karakter moral yang tepat. Yang kedua adalah konservatisme
pendidikan sekuler, yang memusatkan perhatiannya pada perlunya melestarikan dan
meluruskan keyakinan-keyakinan dan praktik-praktik yang sudah ada, sebagai cara
untuk menjamin pertahanan hidup secara sosial serta efektifitas secara kuat
oleh orientasi pendidikan yang bersifat Al-kitabiah dan Evangelis (mendakwahkan
agama).[2]
Faham
ideology Konservatisme ini memandang,
bahwa ketidak sederajatan masyarakat merupakan suatu hukum keharusan alami, suatu
hal yang mustahil bisa dihindari serta sudah merupakan ketentuan sejarah.
Perubahan sosial bagi penganut faham ini bukanlah sesuatu yang harus
diperjuangkan, karena perubahan hanya akan membuat manusia lebih sengsara saja.
Dalam bentuknya yang paling klasik, kaum konservatif berkeyakinan bahwa
masyarakat pada dasarnya tidak bisa merencanakan perubahan atau paling tidak
mempengaruhi perubahan sosial, hanya Tuhanlah yang merencanakan keadaan masyarakat
dan hanya Dia yang tahu makna dibalik semua itu. Dengan demikian, kaum
konservatif tidak menganggap rakyat memiliki kekuatan atau kekuasaan untuk
merubah kondisi mereka. Dalam pandangan kaum ini, mereka yang menderitasepe rti
mereka yang termasuk kelompok miskin, buta huruf, tertindas, gelandangan
menjadi demikian disebabkan karena kurang beruntung. Kaum miskin dan kurang
beruntung tadi haruslah bersabar dan belajar untuk menunggu sampai giliran
mereka datang, karena pada akhirnya kelak semua orang akan mencapai kebebasan
dan kebahagiaan. Kaum konservatif sangat menjunjung tinggi harmoni serta
menghindari konflik.
Adapun
dua ungkapan dasar konservatisme dalam pendidikan yaitu:
a) Konservatisme
pendidikan religius, yaitu menekankan peran sentral pelatihan rohaniah sebagai
landasan pembangunan karakter moral yang tepat.
b)
Konservatisme pendidikan sekuler, yaitu memusatkan
perhatiannya pada perlunya melestarikan dan meneruskan keyakinan-keyakinan dan
praktek-praktek yang sudah ada, sebagai cara untuk menjamin pertahanan hidup
secara sosial serta efektifitas secara kuat oleh orientasi pendidikan yang
bersifat lebih religius yang secara teologis jelas kurang liberal. Sedangan
konservatisme sekuler cenderung terwakili oleh para kritisi yang tajam oleh kalangan
progesifisme pendidikan.[3]
2.
Ciri- ciri umum Konservatisme Pendidikan
Ciri-ciri konservatisme pendidikan secara umum,
antara lain:
a)
Menganggap bahwa nilai dasar pengetahuan ada pada
kegunaan sosialnya, bahwa pengetahuan adalah sebuah cara untuk mengajukan
nila-nilai sosial yang mapan.
b)
Menekankan peran manusia sebagai warganegara;
manusia dalam perannya sebagai anggota sebuah negara yang mapan.
c)
Menekankan penyesuaian diri bernalar; menyandarkan
diri pada jawaban-jawaban terbaik dari masa silam sebagai tuntunan yang paling
bisa dipercaya untuk memandu tindakan di masa kini.
d)
Memandang pendidikan sebagai sebuah pembelajaran
(sosialsasi) nilai-nilai sistem yang mapan.
e)
Menganggap bahwa wewenang intelektual tertinggi
adalah budaya dominan dengan segenap
sistem keyakinan dan perilaku yang mapan.
f)
Memusatkan perhatian kepada tradidi-tradisi dan
lembaga-lembaga sosial yang ada, menekankan situasi sekarang (yang dipandang
melalui sudut pandang kesejarahan yang relatif dangkal dan berpusat pada
etnisnya sendiri).
g)
Menekankan stabilitas budaya melebihi kebutuhan
akal pembaharuan atau perombakan budaya, hanya menerima perubahan-perubahan
yang pada dasarnya cocok dengan tatanan sosial yang sudah mapan.
h)
Berdasarkan sebuah sistem budaya
tertutup(etnosentrime), menekankan tradisi-tradisi sosial yang dominan, dan
menekankan perubahan secara bertahap di dalam situasi sosial yang secara umum
stabil.
i)
Mengakar pada kepastian-kepastian yang sudah teruji
oleh waktu, dan meyakini bahwa gagasan-gagasan serta praktik-praktik kemapanan
lebih sahih dan handal ketimbang gagasan serta praktik yang lahir dari
spekulasi yang relatif tak terkendali.
j)
Menganggap bahwa wewenang intelektual tertinggi
adalah budaya yang dominan dengan segenap sistem keyakinan dan prilakunya yang
mapan.[4]
B.
Liberalisme
Secara etimologi
liberalisme pendidikan terdiri dari dua suku kata yaitu “liberalisme” dan
“pendidikan”. Kedua kata tersebut memiliki definisi yang berbeda antara yang
satu dengan yang lainnya.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia liberalisme adalah usaha perjuangan
menuju kebebasan. Dan dalam istilah asing liberalisme diambil dari bahasa
Inggris, yang berarti kebebasan. Kata ini kembali kepada kata “liberty” dalam
bahasa Inggrisnya , atau “liberte” menurut bahasa Perancis, yang bermakna bebas.
Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al Barry mendefinisikan liberalisme sebagai
paham yang menekankan kebebasan individu atau partikelir, filsafat sosial
politik, dan ekonomi yang menekankan atau mengutamakan kebebasan individu untuk
mengadakan perjanjian, produksi, konsumsi, tukar-menukar, dan bersaing serta
hak milik partikelir (swasta) terhadap semua macam barang.[5]
1. Liberalisme Pendidikan
Bagi seorang pendidik
liberal, tujuan jangka panjang pendidikan adalah untuk melestarikan dan
memperbaiki tatanan sosial yang ada dengan cara mengajar setiap siswa bagaimana
caranya menghadapi persoalan-persoalan dalam kehidupannya sendiri secara
efektif.[6]
Dalam arti yang lebih rinci, seorang pendidik liberalis menganggap bahwa
sekolah sebagai suatu lembaga pendidikan yang khususnya mesti berupaya untuk:
a)
Menyediakan informasi dan keterampilan yang diperlukan siswa untuk belajar
sendiri secara efektif.
b) Mengajar para siswa
bagaimana cara memecahkan persoalan-persoalan praktis melalui penerapan
proses-proses penyelesaian masalah secara individual maupun berkelompok, dengan
berdasar kepada tatacara-tatacara ilmiah-rasional bagi pengujian dari
pembuktian gagasan.[7]
2. Corak Liberalisme
Pendidikan
Liberalisme pendidikan memiliki tiga corak utama, yaitu :
a)
Liberalisme metodis, yaitu bersifat non ideologis dan memusatkan
diri pada cara-cara baru dan cara-cara yang telah diperbaiki untuk melancarkan
pencapaian sasaran-sasaran pendidikan yang ada sekarang. Penganut kaum
liberalisme metodis, mengambil sikap bahwa metode-metode pengajaran (cara-cara
belajar-mengajar) harus disesuaikan dengan zaman supaya mencakup
renungan-renungan psikologis baru dan hakikat belajar manusia.
b)
Liberalisme direktif (liberalisme terstruktur), pada dasarnya kaum
liberal direktif menginginkan pembaharuan mendasar dalam tujuan sekaligus dalam
hal cara kerja sekolah-sekolah sebagaimana ada sekarang. Mereka menganggap
bahwa wajib belajar adalah perlu. Kemudian juga diperlukan kepiawaian memilih
beberapa keperluan mendasar tertentu serta mengajukan penetapan lebih dulu
tentang isi pelajaran-pelajaran yang akan diberikan pada siswa.
c)
Liberalisme non-direktif (libealisasi pasar bebas). Kaum liberalisme
non-direktif sepakat dengan pandangan bahwa tujuan dan cara-cara pelaksanaan
pendidikan perlu diarahkan kembali secara radikal dari orientasi orotiratian
tradisional ke arah sasaran pendidikan yang mengajar siswa untuk memecahkan
masalah-masalah sendiri secara efektif.[8]
Penganut
ideologi ini berangkat dari keyakinan bahwa dalam masyarakat terjadi banyak
masalah termasuk urusan pendidikan, namun masalah dalam pendidikan tidak ada
kaitannya dengan persoalan politik dan ekonomi masyarakat. Sehingga tugas
pendidikan tidak ada sangkut pautnya persoalan politik dan ekonomi.
Namun demikian, proses pendidikan tidak boleh lepas sama sekali dengan
kondisi-kondisi eksternal, dalam hal ini ekonomi dan politik.
Pendidikan harus bisa menyesuaikan diri terhadap kondisi-kondisi
external tersebut, dengan cara memecahkan berbagai masalah internal melalui
mereformasi diri secara “kosmeti”.
3.
Ciri-ciri Umum Liberalisme pendidikan
Adapun ciri-ciri umum
liberalisme pandidikan adalah sebagai berikut:
a) Menganggap bahwa pengetahuan
terutama berfungsi sebagai sebuah alat untuk digunakan dalam pemecahan masalah
secara praktis, bahwa pengetahuan adalah sebuah jalan kearah tujuan berupa
prilaku efektif dalam menangani situasi-situasi sehari-hari.
b) Menekankan kepribadian
unik dalam diri tiap individu, atau ketunggalaan (singularitas) setiap pribadi
sebagai sebuah pribadi.
c) Menekankan pemikiran
efektif (kecerdasan praktis), mengarahkan perhatian utamanya kepada kemampuan
setiap individu untuk menyelesaikan persoalan-persoalan personalnya sendiri
secara efektif.
d) Memandang pendidikan
sebagai perkembangan dari keefektifan personal.
e) Memusatkan perhatian
kepada tatacara pemecahan masalah secara individu maupun berkelompok,
menekankan situasi sekarang dan masa depan
yang dekat sebagaimana dipahami berdasarkan kebutuhan-kebutuhan serta
problema-problema individu yang ada.
f) Menekankan perubahan
sosial secara tak langsung, melalui perkembangan kemampuan tiap orang
berprilaku praktis dan efektif dalam mengejar sasaran-sasaran personalnya sendiri.
g) Didirikan diatas
tatacara-tatacara pembuktian secara ilmiah-rasional.[9]
C.
Kritisme
Secara
harfiah, kata kritik berarti pemisahan. Filsafat Kant berusaha membeda-bedakan
antara pengenalan yang murni dan yang tidak murni, yang tiada kepastiannya. Ia ingin
membersihkan pengenalan dari keterikatan kepada segala penampakan yang bersifat
sementara. Jadi filsafatnya dimaksud sebagai penyadaran atas
kemampuan-kemampuan rasio secara obyektif dan menentukan batas-batas
kemampuannya untuk memberi tempat iman dan kepercayaan.
Filsafat Kant merupakan titik tolak periode
baru bagi filsafat barat. Ia menyimpulkan dan mengatasi aliran rasionalisme dan
empirisme.[10]
Pada awalnya, Kant mengikuti rasionalisme, tetapi kemudian tepengaruh oleh
empirisnya (Hume). Walaupun demikian, Kant tidak begitu mudah
menerimanya karena ia mengetahui bahwa empirisme terkadang skep-tisisme. Untuk
itu, ia tetap mengakui kebenaran ilmu, dan dengan akal manusia akan dapat
mencapai kebenaran.[11]
Akhirnya Kant mengakui peranan akal dan
keharusan empiri, kemudian dicobanya mengadakan sintesis. Walaupun pengetahuan
bersumber dari akal (rasionalisme), tetapi adanya pengertian timbul dari benda
(empirisme). Ibarat burung terbang harus mempunyai sayap (rasio) dan udara
(empiri).
Jadi, metode berpikirnya disebut kritis.
Walaupun ia mendasarkan diri pada nilai yang tinggi dari akal, tetapi ia tidak
mengingkari adanya persoalan-persoalan yang melampaui akal. Sehingga akal
mengenal batas-batasnya. Karena itu aspek irrasionalitas dari kehidupan dapat
diterima kenyataanya.[12]
Adapun ciri-ciri Kritisisme adalah adalah
sebagai berikut:
a)
Menganggap obyek pengenalan berpusat pada
subyek dan bukan pada obyek.
b)
Manegaskan keterbatasan kemampuan rasio manusia
untuk mengetahui realitas atau hakikat sesuatu, rasio hanya mampu menjangkau
gejalanya atau fenomenanya saja.
c)
Menjelaskan bahwa pengenalan manusia atas
sesuatu itu diperoleh atas perpaduan antara peranan unsur a priori yang
berasal dari rasio serta berupa ruang dan waktu dan peranan unsure aposteriori
yang berasal dari pengalaman yang berupa materi.[13]
DAFTAR PUSTAKA
Anton Baker, Metode-metode Filsafat, Jakarta: Ghalia Indonesia,1986
Asmoro Achmadi, Filsafat Umum, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2008
Atang Abdul Hakim, Filsafat Umum
dari Metologi sampai Teolologi, Bandung: Pustaka Setia, 2008.
Soleh Subagja. Gagasan Liberalisme
Pendidikan Islam. Malang: Madani, 2010
William F. O’neil, “Ideologi-ideologi Pendidikan”, Yogyakararta:
Pustaka Pelajar, 2001
[13] Atang Abdul
Hakim, Filsafat Umum dari Metologi sampai Teolologi, (Bandung: Pustaka
Setia, 2008), hlm. 283